"Penyebutan itu baru ada di saat fenomena ini naik lagi di era digital. Kalau dulu ya disebutnya hilang begitu saja karena enggak bisa ditrack."
Ia menyebut bila ghosting subur dilakukan di era digital karena minimnya interaksi langsung, minimal risiko, dan tak perlu harus mempertanggungjawabkan tindakannya.
Baca Juga: Perubahan Kata Percakapan: Pertanda Berakhirnya Hubungan Percintaan
Leah LeFebvre dan tim dari University of Alabama menulis dalam jurnal Imagination, Cognition and Personality (Vol.39(2) tahun 2019), bahwa ghosting dilakukan sebagai salah satu bentuk mediasi menghindari permasalahan. Mereka melakukan survei kepada 99 orang yang pernah menjadi 'korban' dan pelaku ghosting.
"Ghosting menyerupai strategi pembubaran tarik dan ulur [penghindaran], meskipun secara khusus berfokus pada strategi tidak langsung melalui cara yang memiliki wadah."
"Ghosting menawarkan proses berurutan, terutama dalam komunikasi tak sinkron yang dimediasi; penjedaan komunikasi mungkin menawarkan ruang kogintif antara inisiator (pelaku) dan non-insiator," tulis mereka .
Ada pun ghosting dibagi dua jenis penyebabnya menurut jangka waktu (pendek dan panjang). Pada ghosting jangka pendek ditujukan sebagai alasan yang beriorentasi pada diri sendiri. Sedangkan ghosting jangka panjang, pelaku memilih untuk mengakhiri hubungan tanpa memberika sisa harapan, atau tak ada keinginan kembali melanjutkan hubungan.
"Tetapi gini, kembali pada tangan si yang punya hubungan ini. Kalau yang punya hubungan ini menghilang tanpa pesan apakah ini sudah umum? Karena ada yang enggak langsung curiga." tanggap Ariel pada penelitian itu.
"Ada yang sekali dua kali masih mentoleransinya, belum bisa diisukan ke ghosting. Ada juga yang insecure, posesif ketika ga bales. Itu relatif."
Berbeda dengan hasil studi, Ariel berpendapat ada empat alasan utama ghosting:
Source | : | academia.edu,Sage Journals |
Penulis | : | Afkar Aristoteles Mukhaer |
Editor | : | Mahandis Yoanata Thamrin |
KOMENTAR