Nationalgeographic.co.id—Ghosting mengacu pada praktik mengakhiri hubungan dengan menghentikan semua komunikasi secara tiba-tiba, tanpa memberikan penjelasan.
“Sayangnya, ini menjadi metode yang semakin umum digunakan untuk memutuskan hubungan,” tulis Vinita Mehta, Ph.D., di Psychology Today. Mehta adalah seorang psikolog klinis yang berbasis Washington DC, Amerika Serikat.
Meskipun ghosting telah banyak dibahas di media-media populer, kata Mehta, ghosting kurang mendapat perhatian di kalangan akademisi.
Namun setidaknya ada studi yang dipimpin oleh Leah LeFebvre dari University of Alabama yang telah berusaha menjelaskan secara ilmiah fenomena ini, untuk membantu mengungkap mengapa dan bagaimana para pelaku ghosting memilih untuk mengakhiri hubungan dengan cara ini.
Selain itu, studi ini juga mengungkap bagaimana para pelaku ghosting menerapkan metode pemutusan hubungan ini.
Dalam studi ini para peneliti merekrut para peserta yang "akrab" dengan ghosting. Pada penghitungan akhir, sampel sebagian besar berkulit putih, straight, berpendidikan perguruan tinggi, dan berusia antara 18 dan 30 tahun. Para peneliti kemudian meminta para peserta itu melengkapi kuesioner tentang pengalaman mereka terkait dengan ghosting, baik sebagai inisiator atau pemicunya maupun non-inisiatornya.
Para peneliti juga mewawancarai para peserta itu secara langsung dan melalui media tatap muka, misalnya Skype. Mereka menyelidiki pengalaman para peserta terkait dengan ghosting dari perspektif pelaku ghosting dan korban ghosting.
Baca Juga: Bagaimana Lingkungan Lembaga Mempengaruhi Psikologi Tindakan Korupsi?
Dari perspektif pelaku ghosting, para peserta ditanyai pertanyaan-pertanyaan yang mengeksplorasi keputusan mereka untuk melakukan ghosting, seperti, "Mengapa Anda tega memilih untuk melakukan ghosting daripada secara langsung menyampaikan keinginan Anda tersebut?" Dan "Kapan Anda memutuskan (atau pada titik apa) untuk melakukan ghosting?"
Apa yang ditemukan para peneliti? Setidaknya ada lima tema yang muncul terkait mengapa orang-orang melakukan ghosting.
1. Kenyamanan
Para peserta menyatakan preferensi atas kepraktisan ghosting dibandingkan metode pelepasan lainnya. Seperti yang dijelaskan oleh seorang pria berusia 22 tahun, "Ghosting lebih mudah dilakukan daripada menyiapkan waktu untuk mengakhiri hubungan atau mengatasi emosi diri sendiri atau pasangan saat ini." Dari perspektif ini, ghosting menawarkan kemudahan dibandingkan dengan strategi break-up (pemutusan hubungan) lainnya.
Baca Juga: Mengapa Kita Cenderung Emosional Saat Membahas Masalah Politik?
2. Daya tarik
Tema ini mengacu pada proses pemilihan pasangan, yang berkisar pada daya tarik fisik, emosional, dan/atau intelektual. Kencan online dan aplikasi seluler memberikan lebih banyak kesempatan bagi orang-orang untuk berkencan dengan orang di luar wilayah geografis mereka. Apalikasi kencan online juga bisa memberikan informasi di awal terkait calon pasangan mereka sehingga mereka dapat menunda untuk benar-benar bertemu secara langsung dan mengenal satu sama lain lebih jauh.
Memiliki informasi tentang calon pasangan ini berfungsi sebagai "fitur gerbang", yang membantu pengguna memutuskan apakah akan mengejar atau menghindari calon pasangan mereka. Seperti yang dikatakan oleh seorang pria berusia 21 tahun, "Saya memilih melakukan ghosting karena saya tidak lagi tertarik, dan hubungan itu tidak cukup serius untuk diteruskan melalui medium yang lebih pribadi." Dengan kata lain, ketika minat atau daya tarik mereka terhadap calon pasangan mereka berkurang, mereka kemudian melakukan ghosting atau penghindaran diri dan itu bisa mereka lakukan dengan mudah berkat kecanggihan teknologi.
3. Interaksi negatif
Tema ini mengacu pada ketidaktertarikan pelaku ghosting kepada korban ghosting sebagai akibat dari perilaku pihak yang disebutkan terakhir. Pelaku ghosting menggambarkan adanya interaksi negatif dengan para korban ghosting yang menyebabkan munculnya rasa marah, frustrasi, dan hubungan yang toxic. Ini kemudian menyebabkan mereka untuk melepaskan dan mengakhiri komunikasi dengan pasangan mereka tersebut.
Sebagaimana yang diungkapkan oleh seorang peserta pria berusia 22 tahun, "Perubahan dalam perasaan seseorang terhadap orang lain, mungkin rasa malu atau ketidaksukaan tiba-tiba pada orang lain yang ternyata sebenarnya tidak mereka sukai." Jenis logika ini memberikan alasan mereka untuk melakukan ghosting demi menghindari interaksi yang canggung atau negatif.
Baca Juga: Ingin Hubungi Mantan Selama Karantina? Psikolog Ungkap Alasannya
4. Status hubungan
Tema ini menangkap jenis hubungan antara pihak-pihak yang terlibat, termasuk hubungan romantis, persahabatan, atau kenalan, serta lamanya hubungan (jumlah waktu hubungan tersebut bertahan). Ghosting tidak terbatas pada hubungan romantis. Ini terjadi di berbagai jenis hubungan.
Ketika para pelaku ghosting memutuskan untuk putus dari suatu hubungan, mereka memperhitungkan investasi waktu dan keterlibatan mereka dalam hubungan tersebut ketika memutuskan bagaimana melanjutkannya. Perhatikan penjelasan yang diberikan oleh seorang wanita berusia 27 tahun: “Saya memilih untuk melakukannya, karena saya baru satu kali kencan dan tidak ingin terus melanjutkannya tetapi merasa canggung melakukan percakapan itu, jadi saya malah berhenti berbicara dengannya. "
5. Keselamatan
Tema ini membahas masalah seputar keamanan, situasi berbahaya, perlindungan diri, atau kesejahteraan pribadi. Dalam hal ini, ghosting memungkinkan metode yang mudah dan sekaligus praktis untuk menjaga keamanan diri.
Seperti yang dikatakan seorang anak berusia 21 tahun, "takut orang itu menjadi gila" membenarkannya untuk melakukan ghosting. Ini terutama dianggap pantas dilakukan "jika seseorang tersebut (yang menjadi korban ghosting) dianggap tidak layak, menyeramkan, atau aneh", kata seorang perempuan berusia 18 tahun. Mengakhiri hubungan dengan ghosting ini memberi mereka rasa aman yang tidak dapat mereka peroleh dari pemutusan hubungan melalui interaksi tatap muka.
Baca Juga: Ghosting: Alasan, Cara Bekerja, dan Dampaknya dalam Hubungan
Jennice Vilhauer, Ph.D, psikolog yang berbasis di Los Angeles, juga pernah menulis di Psychology Today mengenai beberapa pengakuan dari orang-orang yang pernah melakukan ghosting. Berikut ini adalah alasan sebagian orang melakukan ghosting dan perasaan mereka setelah melakukannya:
"Aku tidak mengerti persis bagaimana perasaanku saat itu, jadi alih-alih mencoba membicarakannya, aku malah melakukan ghosting."
"Saya dulu menghilang ketika semua yang saya pikir itu [telah menjadi hubungan asmara], atau saya takut menemukan apa yang saya inginkan ... Atau semacam faktor ketakutan yang muncul dari hubungan masa lalu."
“Melihat dari sudut pandang seorang pengecut, penarikan pasif dari kencan ini sepertinya rute termudah dan terbaik… sampai itu dilakukan terhadap Anda.”
“Menurutku itu adalah bagian dari apa yang membuat dunia kencan online begitu menarik. Karena kamu tidak memiliki teman yang sama atau tidak terhubung melalui saluran lain, ini bukanlah akhir dari dunia jika kamu berhenti begitu saja."
“Saya, misalnya, menganggap diri saya orang yang jujur dan terus terang. Namun saya telah melakukan ghosting ... Dan saya telah mengatakan kepada diri saya sendiri, berkali-kali, bahwa itu semua adalah kesalahan budaya kencan beracun yang telah kita ciptakan. Dan pada akhirnya, saya pikir itulah yang kita semua katakan pada diri kita sendiri."
Source | : | Psychology Today |
Penulis | : | Utomo Priyambodo |
Editor | : | Mahandis Yoanata Thamrin |
KOMENTAR