Cerita dan Foto oleh Reynold Sumayku
Nationalgeographic.co.id—Dari maharaja yang juga keturunan maharaja, yang beristrikan cucu dari maharaja, yang memiliki kandang berisi seribu ekor gajah, yang di wilayahnya terdapat dua sungai yang mengairi tanaman gaharu, rempah-rempah, pala, dan kamper yang semerbaknya tercium dari jarak 12 mil.
Kepada Raja Arab yang tidak mengenal Tuhan lain selain Allah. Aku mengirimkan hadiah yang tak seberapa, sekadar perlambang persahabatan. Aku berharap engkau mengirimkan seseorang yang dapat mengajarkan Islam dan menjelaskan hukum-hukumnya kepadaku.”
Demikian transliterasi dari surat seorang “maharaja” kepada Khalifah Umar bin Abdul Aziz di Kekhalifahan Umayyah, Damaskus. SQ Fatimi, seorang cendekiawan Islam, yang mengungkapkan perihal surat ini. Naskah Fatimi diterbitkan oleh Islamic Research Institute, International Islamic University di Islamabad, 1963.
Menurut Fatimi yang menelusuri banyak manuskrip Arab, isi surat itu dikutip oleh Ibnu Abdul Rabbih (860-940). Dalam hitungan Fatimi, surat itu diterima oleh khalifah pada 718. “Dua sungai” dalam surat diperkirakannya Musi dan Batanghari. Sedangkan maharaja pengirim surat adalah Raja Sriwijaya, Sri Indrawarman.
Dalam kronik Cina, Sri Indrawarman dicirikan sebagai Shih-li-t’o-pa-mo. Ia tiga kali mengirim utusan: 702, 716, dan 724. Pada 724, di antara hadiah darinya terdapat seorang budak perempuan berkulit hitam. Tampaknya Sri Indrawarman menerima budak semacam itu dari Bangsa Arab.
Surat ini sangat mencengangkan. Bayangkan, raja Sriwijaya meminta agar dikirimi seorang mubalig pada abad-abad awal penyebaran Islam. Terbit pertanyaan, apakah Khalifah Umar bin Abdul Aziz (berkuasa 717-720) mengabulkan permintaan Sri Indrawarman? Apakah Indrawarman memeluk agama Islam? Tidak ada petunjuk.
Baca Juga: Temuan Peti Harta Karun Kapal Rempah VOC yang Berlayar ke Batavia 1740
Bagamanapun, selain surat di atas, masih ada satu surat lagi. Fatimi memperkirakan tarikhnya lebih tua. Surat itu hanya dikutip bagian perkenalannya, yang sangat mirip. Proses penceritaan tentang keberadaannya juga rumit.
Menurut SQ Fatimi, surat itu ditujukan kepada Khalifah Mu’awiyah I, penguasa pertama di Kekhalifahan Umayyah. Surat itu dikutip Amir Al Bahr (783-869) dalam Kitab al-Hayawan. Ia mendengarnya dari orang lain secara berantai, mulai dari Abdul Malik bin Umar yang membacanya dengan mata sendiri di sekretariat Mu’awiyah setelah sang khalifah meninggal.
Penanggalannya lebih mengejutkan. Khalifah Mu’awiyah I berkuasa sejak 661 sampai 680 ketika ia wafat. Berarti, surat dari maharaja kepada sang khalifah dapat kita letakkan pada kurun waktu tersebut. Di era sama, Sriwijaya diperintah oleh Dapunta Hyang Sri Jayanasa, pendahulu Indrawarman. Prasasti Kedukanbukit mengisahkan, Dapunta Hyang mendirikan permukiman pada 682 (baca edisi Oktober 2013).
“Ya, terdapat kemungkinan itu,” kata ahli arkeologi Bambang Budi Utomo dari Pusat Arkeologi Nasional, Jakarta. “Sriwijaya toleran kepada agama lain meski rajanya pemeluk Buddha.”
Suatu arca Bodhisattwa di Museum Nasional memberi petunjuk. Di punggung arca Buddhis itu terdapat tulisan tentang pembuatnya, yakni seseorang pemeluk Hindu. Dekat Palembang dan Sungai Lematang pun terdapat peninggalan Hindu masa Sriwijaya. Menjelang akhir Sriwijaya, banyak pula bermukim pedagang Muslim Persia.
“Begitulah. Saya tak pernah menemukan petunjuk bahwa agama pernah menyebabkan kericuhan dalam sejarah Sriwijaya,” tegas Bambang. “Bahkan pada abad ketujuh, di Barus, pelabuhan penting Sriwijaya, sudah tercatat kehadiran agama Kristen Nestorian,” lanjutnya.
Baca Juga: Saat Pulau Run di Maluku Ditukar dengan Manhattan di Amerika
Toleransi Sriwijaya terhadap keanekaragaman disebabkan seringnya negeri ini bersinggungan dengan budaya asing. Suatu hal yang dipicu oleh letaknya di rute perdagangan penting masa itu.
Kedua surat maharaja yang dikutip Fatimi tidak menyertakan nama pengirimnya. Namun, seandainya memang Dapunta Hyang telah berkorespondensi dengan Khalifah Mu’awiyah I sebelum 682, bukankah berarti catatan tertua tentang Sriwijaya sebenarnya terselip dalam arsip Dunia Arab?
Piagam batu Wat Sema Mueang
Belasan biksu duduk mengitari satu meja panjang sambil bercakap-cakap perlahan. Mereka sedang menikmati sarapan dalam aula, rutinitas harian yang kedua setelah berkeliling kota untuk menerima sedekah dari masyarakat. Sekarang pukul delapan pagi dan matahari bersinar cerah. Beberapa genangan air terbentuk di halaman luar, sisa guyuran hujan tadi malam.
Dinding aula tempat para biksu sarapan hanya separuh terbuat dari beton—tingginya sekitar satu setengah meter. Dinding bagian atas berupa teralis kawat. Selain untuk sirkulasi udara, teralis itu tampaknya dibuat agar orang dari luar dapat melihat ke dalam dan sebaliknya.
Aula ini terletak dalam kompleks Wat Sema Mueang, kuil (wat) yang dianggap tertua di Provinsi Nakhon Si Thammarat, Thailand bagian selatan. Kuil ini terus direnovasi, tampak baru.
Di bagian tengah kompleks terdapat bangunan seluas kamar, berpintu kaca. Di dalamnya dijajarkan arca Buddha dan patung beberapa biksu yang berjasa bagi kuil ini. Di depan bangunan inilah diletakkan piagam batu yang ditandai para ahli sebagai prasasti Wat Sema Mueang.
Baca Juga: Selidik Kampong Cina Ternate, Kampung Tua di Jantung Kepulauan Rempah
Piagam batu ini tegak dalam lindungan kaca persegi. Terbuat dari batu pasir, tingginya 104 sentimeter, lebar 50 sentimeter, dan tebal sembilan sentimeter. Kedua sisi batu ini dipahat dengan aksara Pallawa dan Bahasa Sanskerta. Persis di sebelah prasasti terdapat pelat logam bertulisan keterangan dalam Bahasa Thai.
Begitu tiba, saya dan Jo—sapaan pendek Patthanant Ketkaew, rekan kerja di Thailand—segera berbagi tugas. Saya mencermati kondisi fisik batu prasasti dan guratan-guratan aksaranya. Tampaknya prasasti ini replika. Terlalu halus.
Jo memusatkan perhatian pada baris-baris informasi pada pelat logam. Jari telunjuknya terus menelusuri kata demi kata. Mulutnya berkomat-kamit. Sesekali terdengar suaranya yang lirih, mengeja tulisan yang banyak bagiannya dimakan karat. Saya melirik ke arah para biksu. Sedari tadi rupanya mereka makan dan mengobrol sambil memperhatikan kami.
“Sepertinya agak rumit,” kata Jo tiba-tiba. Oh, ya? Ceritakanlah. Ia tak menghiraukan. Baru setelah merasa selesai, Jo bercerita: keterangan lokasi penemuan prasasti ini membingungkan.
Alkisah, pangeran (namun bukan putra mahkota) Damrong Rajanubhab yang pertama meneliti piagam batu ini dan menamainya “Prasasti Nomor 23”. Pada 1920-an, George Coedes, direktur National Library di Bangkok, mengira prasasti ini dari Wat Sema Mueang. Padahal penemuannya di Wat Wiang di Surat Thani, provinsi tetangga Nakhon Si Thammarat. Saat terjemahannya dicetak dalam Bahasa Thai, entah bagaimana namanya menjadi “Prasasti Wiang Sa”—mengacu ke distrik di Surat Thani.
Saat membahas dalam naskah berbahasa Prancis, George Coedes tetap menyebutnya prasasti Wat Sema Mueang. Ia berkilah, ada seorang biksu tua yang mengenali prasasti itu sebagai, “Milik kuil kami di Wat Sema Mueang.”
Baca Juga: Kisah Pelacur dan Pelacuran Pada Zaman Perdagangan Jalur Rempah
Pengurus kuil membuat replikanya sebagai kebanggaan. Prasasti asli disimpan di National Museum, Bangkok. Nama resminya tetap prasasti Wat Sema Mueang, dengan kode NS9.
Pada sisi muka (sisi A) piagam batu ini terdapat 29 baris tulisan sedangkan pada sisi B empat baris. Prasasti ini bertarikh tahun 775.
Sisi A berisi puji-pujian terhadap keagungan raja Sriwijaya. Raja itu memberi titah kepada biksu senior bernama Jayanta agar mendirikan trisamaya-caitya (tiga bangunan suci) untuk pemujaan Sakyamuni (Buddha), Bodhisattwa Padmapani, dan Bodhisattwa Wajrapani. Ketika Jayanta wafat, muridnya yakni biksu Adhimukti mendirikan dua caitya lainnya.
Sisi B bertutur tentang Maharaja Sailendra. Ia dijuluki Sesasavvarimadavimathana atau “pembunuh musuh-musuh sombong tidak bersisa”. Ia disamakan dengan Wisnu.
“Julukan itu identik dengan prasasti Nalanda, antara 810-850,” tukas Bambang Budi Utomo di kesempatan lain. “Yang dimaksud adalah Rakai Panamkaran, raja Sailendra di Jawa. Penulisan sisi B atas perintah cucu Panamkaran, yaitu maharaja Sriwijaya, Balaputradewa. Pengerjaannya tak berselisih lama dengan prasasti Nalanda yakni awal abad kesembilan,” ucap Bambang.
Tiga bangunan suci
“Si Wichai... bla bla bla... Si Wichai... bla bla bla bla.. Si Wichai... bla bla bla...”
Hanya itu yang bisa dikenali dari kalimat-kalimat Bahasa Thai yang meluncur tiada henti dari mulut seorang lelaki setengah tua. Tangannya sesekali menunjuk-nunjuk ke suatu arah, lalu ganti ke arah lain. Di hadapannya berdiri Jo yang hanya mengangguk-angguk.
Sekarang kami berada di kompleks Wat Wiang di Chaiya, suatu distrik di Provinsi Surat Thani. Tadi, pertanyaan pertama saya adalah, “Di manakah reruntuhan Wat Wiang yang lama? Saya hanya melihat kuil baru.” Melalui Jo, ia menjawab, “Reruntuhan fondasinya sudah tertutup aula.”
Tidak ada pertanyaan lainnya. Namun, lelaki tersebut ingin terus bercerita kepada Jo. Kemudian saya permisi untuk melihat-lihat.
Di teras depan kompleks kuil ini, pada suatu menara yang sejajar atap aula, dipajang replika arca Bodhisattwa Avalokiteswara dari masa Sriwijaya. Arca itu tak lagi utuh kala ditemukan. Hanya sebatas dada dan kedua tangannya, mulai dari bagian siku, telah hilang. Sebenarnya arca itu seukuran manusia, namun replikanya dipasang dalam ukuran berlipat-lipat lebih besar. Rupanya, arca ini menjadi ikon Chaiya. Beberapa kali saya melihat replika atau gambarnya di kota kecil ini.
Di bawah menara arca itu, replika prasasti Wat Sema Mueang yang buatannya kurang baik juga dipajang. Masyarakat Chaiya menganggap piagam batu itu berasal dari Wat Wiang ini.
Saat menyetir kembali mobilnya menuju jalan raya, Jo mengatakan lelaki tadi bercerita tentang legenda lokal yang telah kami ketahui. Jo merasa tak sopan jika tak mendengarkan sampai selesai.
“Oh ya, Si Wichai adalah sebutan orang sini untuk Sriwijaya,” jelasnya. Ya, saya tahu. Juga tentang keyakinan masyarakat setempat bahwa nama Chaiya diadopsi dari Si Wichai. Juga bahwa terdapat bukit di daerah ini yang bernama Kao Si Wichai (Bukit Sriwijaya).
Wat Wiang adalah satu dari tiga kuil di Chaiya yang diperkirakan para ahli sebagai “trisamaya caitya” dalam prasasti. “Dua lainnya tak jauh dari sini. Bapak yang tadi memberitahu,” ucap Jo seraya menikung ke jalan yang lebih sempit.
Beberapa ratus meter saja dari Wat Wiang, kami tiba di Wat Kaeo. Reruntuhan candi dari batu bata merah ini masih tampak megah. Pada tiga sisi candi terdapat ceruk persegi untuk meletakkan arca Buddha dalam posisi bersila. Pada sisi lain yang merupakan bagian depan candi, terdapat pintu masuk.
Baca Juga: Selisih Shih-Li-Fo-Shih: Teka-teki Sriwijaya yang Tak Berkesudahan
Ruangan di dalamnya cukup lapang. Udaranya lembap. Di sana diletakkan arca-arca Buddha pula. Sebagian besar dari masa setelah Sriwijaya, petunjuk bahwa candi ini terus digunakan.
Wat Kaeo ini, lalu Wat Long yang juga kami kunjungi, ditambah Wat Wiang yang tidak bersisa lagi itu, dibangun berdekatan. “Ketiganya terletak dalam suatu garis imajiner yang lurus dari utara ke selatan. Jarak antara satu wat dengan wat lainnya sama,” tulis Mom Chao Chand Chirayu Rajani, sejarawan Thailand, dalam satu dari lima makalah bersambungnya tentang Sriwijaya di Journal of the Siam Society pada 1974-1976.
Ditilik dari bahan batu bata merah dan gaya pembuatannya, Wat Kaeo dan Wat Long mengingatkan kepada percandian Batujaya di Karawang, Muarajambi di Jambi, dan Muaratakus di Riau. Terutama Wat Long yang sekilas mirip Candi Blandongan di Batujaya.
Reruntuhan bangunan dari masa Sriwijaya di Thailand bagian selatan bukan hanya Wat Kaeo dan Wat Long. Bahkan di Chaiya pula, terdapat satu-satunya cedi (stupa) dari masa Sriwijaya yang masih utuh: Wat Phra Borommathat Chaiya.
Di Nakhon Si Thammarat, kami sebelumnya juga mengunjungi reruntuhan stupa beberapa puluh meter persegi yang sekarang “dikepung” sekolah, wihara, dan kuil Buddhis. Masyarakat setempat menyebutnya Wat Thao Khot.
Orang-orang dari selatan
Pada suatu titik, lebar Tanah Genting Kra di Thailand hanya 40-an kilometer. Ahli-ahli sejarah Thailand menyebutkan, terdapat rute darat dari pesisir barat wilayah itu ke pesisir timurnya. Rute itu kerap digunakan para pedagang masa klasik.
Dengan menyeberangi daratan ini, para pedagang dari barat atau timur tak perlu berlayar mengitari Semenanjung Malaka yang memakan waktu sekitar sebulan pada zaman itu. Prasasti Wat Sema Mueang mengindikasikan pentingnya wilayah itu. Apalagi, daerah tersebut juga menjadi batas dengan Kerajaan Dwarawati di utara.
Akan tetapi, terdapat hipotesis lain. Sebagian ahli menduga, prasasti Wat Sema Mueang dibuat ketika daerah itu menjadi pangkalan untuk menyerang Indocina. Mereka mengaitkannya dengan sejumlah peristiwa di abad kedelapan.
Pada 767, “orang-orang dari selatan” menyerbu An Nam, provinsi di bawah kendali Dinasti Tang di Cina. Provinsi ini berbatasan dengan Campa di sebelah selatannya—berbagi wilayah yang kini Vietnam. Serbuan itu mencapai ibu kota An Nam, dekat Hanoi. Para penyerang menguasai kawasan delta sampai pasukan gubernur dari Cina mendesak mereka keluar.
Pada 774, setahun sebelum tarikh prasasti Wat Sema Mueang, orang-orang serupa datang ke Campa. Menurut salah satu prasasti lokal yang berbahasa Sanskerta, para penyerbu merusak kuil Siwa yakni Po Nagar di Kauthara atau Nha Trang kini. Mereka juga membawa lari arca mukhalinga dari emas dan benda-benda lain.
Para penyerang dilukiskan sebagai “lahir dari negeri lain, menakutkan, berkulit gelap, mengerikan dan jahat bagaikan maut, makanannya lebih menjijikkan daripada bangkai.... datang dengan kapal-kapal.”
“Peristiwa dalam prasasti Po Nagar hanya setahun sebelum prasasti Wat Sema Mueang sisi A,” tulis Chand Chirayu Rajani. “Di Chaiya ditemukan mukhalinga. Namun, saya pikir tahun kejadian kedua peristiwa itu lebih merupakan bukti ketimbang sebuah mukhalinga,” lanjutnya.
Tiga belas tahun setelah insiden Po Nagar, pada 787, prasasti Campa lainnya—Yang Tikuh—menceritakan terjadinya serangan lagi. Kuil Siwa dekat Virapura atau Panduranga atau Phan Rang di Vietnam saat ini, dibakar oleh “orang-orang barbar” dari “Jawa”.
Para ahli umumnya berkesimpulan, orang-orang “barbar” laut selatan—atau Jawa—itu tak lain adalah Sriwijaya-Sailendra. Di masa itu, “Jawa” tak selalu berarti Jawa yang sekarang. Kendati demikian, terdapat sejumlah ahli lain yang beranggapan bahwa piagam Wat Sema Mueang memang murni tentang keagamaan.
Kepala di atas piring
Pada abad kedelapan, Sriwijaya jelas menguasai Semenanjung Malaka hingga Tanah Genting Kra. Jika Campa dan An Nam diserang beberapa kali, Chenla tak luput. Kerajaan Chenla terletak di sebelah barat dari An Nam dan Campa, di Kamboja saat ini. Di akhir abad kedelapan itu, menurut perkiraan sejumlah ahli, Chenla sempat diduduki oleh Sriwijaya-Sailendra.
Kota Indrapura, dekat Kompong Cham di tepi Sungai Mekong saat ini, diduduki sebelum Jayawarman II mengundang pendeta Hindu untuk ritual kemerdekaan atas “Jawa” pada 802. Titik awal berdirinya kerajaan baru yang kelak membangun Angkor Wat. Menurut prasasti Sdok Kok Thom, ditemukan dekat perbatasan Thailand dan Kamboja, Jayawarman II sempat menetap di Jawa. Tak ada keterangan mengenai alasannya.
Sementara itu, saudagar Arab bernama Sulaiman membuat catatan menarik. Meskipun bersifat fiksi dan ditulis pada 851, sebagian ahli memandangnya mungkin dilandasi sejarah.
Sulaiman menulis, “Menurut cerita dari Zabag, tersebutlah seorang raja penguasa Chenla. Chenla terletak pada garis bujur sama dengan Zabag. Jarak kedua negeri ini 10-20 hari berlayar dari utara ke selatan dan sebaliknya.”
“Raja Chenla itu masih muda, haus kekuasaan. Suatu hari ia duduk di istananya yang dikelilingi air tawar laksana Sungai Tigris. Kalau melalui sungai, jarak dari istananya ke laut sekitar sehari perjalanan. Saat itu, di depan sang raja duduk perdana menteri. Mereka berbincang tentang kerajaan lain yang diperintah oleh maharaja, tentang kemegahannya, penduduknya yang banyak, dan pulau-pulau dalam kendalinya.”
“Raja Chenla berkata kepada perdana menteri, ‘Aku punya satu keinginan: Aku ingin melihat kepala maharaja, raja Zabag, di atas piring.’” Sang perdana menteri menjawab, “Oh, Raja. Hamba tidak berharap paduka memiliki keinginan seperti itu. Rakyat kita dan rakyat Zabag tidak pernah membenci satu sama lain. Kerajaan itu letaknya jauh, bukan tetangga kita.”
Sang Raja Chenla murka. Ia tidak menggubris. Ia mengulanginya lagi di hadapan para jenderal dan bangsawan. Jadilah keinginan itu tersebar dari mulut ke mulut hingga sampai ke telinga maharaja Zabag. Sebagai reaksi, maharaja memanggil menterinya. “Mengacuhkan penghinaannya akan menyakiti diriku sendiri, merendahkan derajatku, dan merendahkan diriku di hadapannya,” kata maharaja.
Maharaja meminta menteri untuk menyiapkan armada dan merahasiakan perbincangan ini. Seribu kapal dipersenjatai. Maharaja mengumumkan rencana inspeksi ke negeri-negeri bawahan. Berita tersebar dan para penguasa lokal bersiap menerima kunjungannya.
Begitu semua siap, maharaja dan pasukannya berlayar. Bukan inspeksi, melainkan ke Chenla. Dari laut, ia menyusuri sungai, tiba di ibu kota Chenla, masuk ke istana, dan menahan rajanya.
“Engkau mengungkapkan keinginan untuk melihat kepalaku di atas piring. Aku hanya melakukan kepadamu sesuai dengan apa yang ingin kau lakukan kepadaku,” tulis Sulaiman. “Kepala raja Chenla itu dipenggal atas perintah maharaja. Ia menginstruksikan perdana menteri setempat untuk mencari raja baru, kemudian kembali ke negerinya tanpa mengambil apa-apa.”
Dalam The Ancient Khmer Empire terbitan Transactions of the American Philosophical Society (1951), cendekiawan Lawrence Palmer Briggs menduga, raja Chenla yang dipenggal adalah Mahipativarman. Bisa jadi, tulisnya, Jayawarman II memang dibawa ke Jawa oleh maharaja Sriwijaya setelah penyerbuan ke Chenla. Tujuannya, mempersiapkan sang calon raja itu untuk memimpin negerinya. “Jawa”, sekali lagi menurut Lawrence, belum tentu Jawa sekarang.
Kendati demikian, bisa pula “Jawa” dalam prasasti Sdok Kok Thom memang Jawa yang sekarang. Hal ini masuk akal jika Sriwijaya-Sailendra adalah suatu aliansi di masa itu. Atau, apabila Sailendra adalah dinasti yang berkuasa sekaligus di Sumatra dan Jawa.
Penulis | : | National Geographic Indonesia |
Editor | : | Mahandis Yoanata Thamrin |
KOMENTAR