Nationalgeographic.co.id - Ada sebuah julukkan dari para pejalan, belum ke Rajaampat kalau tidak melihat gugusan karst yang membentang dengan hamparan laut biru kehijauan. Tempat itu bernama Piaynemo. Bersamaan dengan Wayag, Piaynemo merupakan taman bumi yang terindah di dunia.
Pengunjung yang datang akan dikenakan biaya tiga ratus ribu rupiah per kapal untuk dana retribusi. "Tapi itu bukan sia-sia. Itu sangat bermanfaat bagi kita punya generasi penerus," kata Andreas, masyarakat Kampung Fam yang mengelola wisata taman bumi Piaynemo kepada National Geographic Indonesia di Piaynemo.
Sekitar 2013, didirikan sebuah lembaga swadaya masyarakat bernama Forum Peduli Pendidikan yang diinisiasi oleh tiga kampung yakni Kampung Fam, Kampung Saukabu, dan Kampung Saupapir. Karena sebelumnya, masyarakat di sana tidak mampu meneruskan pendidikan anak-anak ke jenjang pendidikan tinggi.
Pada tahun itu juga Piaynemo menjadi pusat perhatian dunia menurut Andreas. Forum Peduli Pendidikan pun berusaha cari cara bagaimana Piaynemo bisa dikelola menjadi lokasi wisata.
Hingga Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) membantu masyarakat untuk membangun sebuah jembatan tangga. "Dia bantu kita bangun tangga itu melalui Pemda kabupaten Rajaampat," ucap Andreas. Menurut Wonderful Indonesia, ia datang ke kawasan ini untuk meresmikan Sail Rajaampat pada 2014.
Kemudian pada era Presiden Joko Widodo beberapa pembangunan fasilitas berlanjut. Seperti tangga tambahan, dermaga (jetty), dan juga pasar kecil tempat masyarakat bisa berjualan kelapa dan kebutuhan lainnya.
Dana pariwisata digunakan untuk biaya anak-anak sekolah. Mulai dari sekolah dasar sampai perguruan tinggi.
Menurut Andreas, pada kurun 2013 sampai 2014, tiga kampung itu sudah mencetak 18 anak yang menempuh hingga pendidikan sarjana bahkan sampai mendapatkan pekerjaan.
"Kami berterima kasih karena teman-teman pengelola speed boat yang mau masuk ke Piaynemo. Dari pembayaran tarif pintu Piaynemo dapat membantu kami, kami merasa bersyukur. Sekitar 18 anak sudah selesai punya jenjang pendidikan sarjana," ucap Andreas.
Baca Juga: Cahaya Rajaampat, Anak-Anak Arborek Tinju Dunia dengan Bahasa Inggris
Untuk jadwal penjagaan, ketiga kampung itu memiliki lembaga tersendiri. Namun tugasnya sama, seiap satu minggu, masing-masing bergantian menjaga Piaynemo. Juga bersih-bersih tiap subuh, berdagang, dan menyiapkan air di toilet.
Tamu-tamu yang datang jumlahnya dicatat. Supaya sesekali terjadi sesuatu, pengelola kawasan bisa bertanggung jawab.
"Kenapa tiket masuknya dia punya daftar dan tamu harus ditanya? Karena kita punya tanggung jawab. Kita tidak bisa menentukan jika suatu waktu ada kecelakaan. Jadi itu adalah kewaspadaan, jika terjadi sesuatu ada jaminan," tutur Andreas.
Sebelum pandemi, wisata Piaynemo bisa kedatangan 10-15 kapal dalam satu hari. Kalau ramai, bisa 20-30 kapal. Ketika tamu begitu banyak, masyarakat pengelola menggunakan radio untuk mengawasi pengunjung. Dari pos pintu masuk sampai puncak. "Jadi ketika tamu satu 300-400 dalam satu hari. Itu kita harus jaga. Karena di atas minimal cuman 30 orang," kata Andreas.
Baca Juga: Memuja Kecantikan Alam Raya Sembari Menjaga Keseimbangan Semesta
Ketertiban di wisata Piaynemo memang jadi perhatian khusus, bahkan sampai ditulis hukum adat berlaku di kawasan tersebut. Bukan bermaksud untuk menakut-nakuti, tetapi pengunjung diharapkan dapat menjaga alam dan ketertiban di sana.
"Ketika ada semacam hewan hewan tidak boleh dilempar. Seperti biawak. Ya toh. Kadang juga bahaya juga. Maka harus diberikan tulisan seperti itu. Supaya lebih berhati-hati. Kamii juga berlakukan semua dengan lemah lembut, mereka ingin lihat lihat, kami juga tidak ingin memberikan kesan yang tidak baik," kata Andreas.
Baca Juga: Satu Tahun GRID STORE: Tersedia Layanan Pelanggan Majalah-el Berdiskon
Masa Depan Pengolahan Sampah Elektronik Ada di Tangan Negara-negara Terbelakang?
Source | : | Wawancara Andreas,Wonderful Indonesia |
Penulis | : | Fikri Muhammad |
Editor | : | Mahandis Yoanata Thamrin |
KOMENTAR