Nationalgeographic.co.id—Baru-baru ini, 15 Maret 2021, langit di Kota Beijing berubah menjadi oranye. Peristiwa itu sebelumnya disebut sebagai akibat dari badai pasir besar.
Masalahnya, setidaknya dalam bidang geologi dan kesehatan masyarakat, sebenarnya itu bukanlah badai pasir. Itu adalah badai debu.
Matt Telfer, Associate Professor Geografi Fisik di University of Plymouth, menjelaskan bahwa butir pasir adalah partikel mineral yang berdiameter lebih dari 0,06 milimeter, jenis butiran yang menggores pergelangan kaki Anda saat Anda sedang berjalan di pantai. Adapun partikel debu (atau lumpur dan tanah liat sebagaimana banyak ahli geologi menyebutnya) adalah butiran yang lebih kecil, yang akan terasa halus saat disentuh, dan tidak menggores kulit.
Hal yang perlu dicatat, butiran yang lebih kecil dan lebih ringan ini dapat bergerak lebih jauh, bahkan sangat jauh. "Mereka tidak bergantung pada lompatan balistik jarak pendek seperti butiran pasir, tetapi mungkin menemukan diri mereka tertahan dalam proses atmosfer global yang membuat mereka berpindah ke seluruh dunia. Pasir tidak akan langsung bertiup ratusan kilometer, atau bahkan ke seluruh dunia, tapi debu bisa," tulis Telfer di The Conversation.
Memahami perbedaan ukuran butiran ini penting karena partikel debu yang lebih halus, yakni kurang dari 10 mikrometer (pm10) dan terutama kurang dari 2,5 mikrometer (pm2.5), merupakan bahaya kesehatan yang serius bagi manusia, karena cukup kecil untuk masuk jauh ke dalam paru-paru.
Baca Juga: NASA Bingung dengan Munculnya Garis-Garis Geologi Aneh di Rusia
Badai debu di China telah terjadi sejak lama dan berdampak luas pada lanskap di Tiongkok. Selama zaman es yang berulang selama 2,6 juta tahun terakhir, debu dalam jumlah besar dihasilkan oleh maju dan mundurnya lapisan es, mengendap untuk membentuk endapan yang dikenal sebagai loess.
Selama ribuan tahun, loess ini telah terakumulasi hingga ketebalan 350 meter untuk membentuk Dataran Tinggi Loess Cina, yang mencakup area yang lebih luas dari Prancis. Loess kaya akan nutrisi mineral, dan menghasilkan tanah pertanian yang produktif. "Sebagian besar lahan pertanian inilah yang sekarang sedang terkikis lagi oleh angin dan bersirkulasi sebagai debu," kata Telfer.
Menurut Telfer, sebenarnya ada sedikit bukti bahwa frekuensi badai debu telah menurun di China selama beberapa dekade terakhir. Namun hasil penelitian-penelitian lain menunjukkan adanya peningkatan badai debu di beberapa wilayah China selama beberapa abad terakhir.
"Secara global, gambarannya sama rumitnya. Studi di Israel menunjukkan peningkatan badai debu (secara global) dalam 30 tahun terakhir, sedangkan penelitian lain menyiratkan penurunan frekuensi di wilayah lain."
Baca Juga: Melihat Ulang Ancaman Sesar Lembang yang Disebut Membahayakan Bandung
Sebenarnya apa yang menyebabkan badai debu saat ini? Apakah ini murni proses alami, atau fungsi dari perubahan iklim, atau kesalahan pengelolaan lahan? Jawabannya rumit karena mungkin itu mencakup semua faktor tersebut.
Sebuah studi baru-baru ini meyakini adanya gabungan faktor ulah manusia dan perubahan iklim terhadap frekuensi badai debu di China selama 2.000 tahun terakhir. Studi tersebut juga menunjukkan adanya peningkatan badai debu yang berbarengan dengan peningkatan populasi dan penguatan sirkulasi monsun Asia.
Di belahan bumi lainnya, peningkatan badai debu terjadi lebih karena proses alami. Misalnya, di wilayah Bodélé Depression yang terpencil dan nyaris tidak dihuni di Chad, di Sahara.
Badai debu di sana terjadi kerena kebetulan kondisi gurun yang sangat gersang. Kondisi tersebut menyebabkan permukaan tanah gurun jadi sangat mudah terkikis dan akhirnya debu tertiup angin dan menyebar ke seluruh permukaan.
Baca Juga: Satu Tahun GRID STORE: Tersedia Layanan Pelanggan Majalah-el Berdiskon
Source | : | The Conversation |
Penulis | : | Utomo Priyambodo |
Editor | : | Mahandis Yoanata Thamrin |
KOMENTAR