Nationalgeographic.co.id—Sajian khas Pecinan Glodok tampaknya tak habis dicecapi dalam semalam. Seruas jalan sempit telah menjadi saksi semaraknya deretan kedai dan toko kawasan pecinan ini, Gang Gloria. Kawasan ini turut menandai denyut kesibukan Pecinan Glodok sejak awal abad ke-19.
Toponimi "Gang Gloria" menandai memori warganya tentang Pertokoan dan Bioskop Gloria —sebelumnya bernama Chunghoa Bioscoop—yang diresmikan pada 1952. Setidaknya pernah ada tiga biskop yang lokasinya berdekatan di pecinan ini: Shanghai, Orion, dan Chunghoa. Pertokoan Gloria sohor pada 1970-an hingga 1990-an. Namun, kompleks pertokoan ini terbakar pada 2009.
Kini, di sepanjang Gang Gloria kita bisa menyaksikan bentangan berbagai gerai dari baktim, pi oh, nasi ayam Hainan, sampai warung Soto Betawi Afung. Terpajang juga deretan warung dari asinan juhi, nasi campur, sampai lontong Cap Go Meh. Semua aroma hidangan berpadu sepanjang gang tersebut.
Sebuah kedai kopi yang menjadi tengara warga kota tentang kehidupan di pecinan pada awal abad ke-20 masih tampak mengepul di sudut Gang Gloria. “Kopi Es Tak Kie”, demikian namanya.
Kedai ini dikelola oleh Latif Yulus, yang lebih akrab disapa Koh Ayauw (62). Kedai ini terletak di Jalan Pintu Besar Selatan III No. 4-6, Pancoran, Glodok. Buka mulai pukul tujuh pagi sampai pukul dua siang.
Baca Juga: Wihara Dharmakaya, Riwayat Arsitektur Eropa di Klenteng Pecinan Bogor
Ayauw merupakan generasi ketiga pengelola kedai ini sejak 1976. Ia mengatakan kepada saya bahwa warung ini berdiri pada 1927. Nama Tak Kie berasal dari kata “Tak” yang artinya orang yang bijaksana, sederhana dan tidak macam-macam. Sementara kata “Kie” berarti mudah diingat orang.
Awalnya, Tak Kie belumlah berupa kedai kopi seperti sekarang ini, demikian ungkap Ayauw. Ketika itu primadona dagangan kedai klasik ini adalah teh. Sisik melik dagangan awal kedai ini justru masih terpampang dalam untaian aksara Han di papan namanya—de ji cha shi atau Kedai Teh Tak Kie.
Namun, lambat laun kopi mulai mendominasi dan lebih disukai, sehingga sajian teh berangsur tak lagi diminati. Ayauw mengenang, "Dulu penganan di warung ini macam-macam, ada tausa, lemper, macam-macam pia, dan cakwe. Tiap pagi, saya tinggal geser lemari ngambil jajanan. Dulu di sini juga jual bubur. Sekarang tidak ada lagi. Sejak tahun 70-an, pelanggan sudah nggak suka lagi jajanan dan bubur. Jadinya hanya jual mi dan nasi campur."
Baca Juga: Apa Perbedaan Kopitiam dan Kedai Kopi Kekinian?
Di masa lalu, ada cara unik menikmati segelas kopi hangat atau es kopi di sini. "Dulu jaman saya kecil, itu cakwe jadi teman minum kopi. Cakwe dicelupin ke kopi sampai nyerep hampir putus, langsung dimakan," ujar Ayauw.
Ayauw pun masih mengingat jelas bahwa roti sarikaya juga dijual di kedainya. "Rotinya nggak dibakar kaya sekarang," ujarnya membandingkan mata dagangan Tak Kie klasik dengan kedai kopi masa kini.
Tak Kie telah berdiri lebih dari delapan dekade dan menjadi saksi untaian peristiwa bersejarah yang terjadi di Ibu Kota Jakarta—sejak masa kolonial hingga era reformasi. Menu-menu kuliner khas warung kopi peranakan Tionghoa pun sudah berubah tergerus waktu. Saat ini Tak Kie hanya menyajikan kopi hitam, kopi susu, es kopi, es kopi susu.
Namun, ada menu kopi andalan Tak Kie yang harus diminta dengan pesanan khusus, Kopi Tak Tak. "Ini menu khusus, Kopi Tak Tak, 'kopi tantangan'. Rasanya kuat, dijamin melek. Kopinya racikan dan khas Tak Kie, kopi lamping campur dengan resep khusus jadilah cita rasa khas Tak Kie!" ujar Ayauw kepada saya. Barangkali, sajian kopi ini setara dengan kopi espresso.
Baca Juga: Perlombaan Panjat Pinang Berakar dari Tradisi Pecinan Nusantara
Pelanggan setia kedai kopi ini adalah orang-orang tua dari generasinya, Ayau melanjutkan kisahnya. Tak banyak generasi muda yang rajin menongkrong di kedai kopinya. Sesekali pelancong mancanegara dan domestik singgah untuk mencicipi menu kopinya.
Di meja kasir, Ayauw kerap menuturkan kisah mengenai masa kejayaan kedai kopi Tak Kie kepada para pelanggannya yang hendak membayar. Sering juga ia menunjukkan kepada mereka tentang koleksi foto-foto lawas kawasan Glodok.
Ayauw masih menyimpan memori. Gayung pun bersambut. Japan Foundation bersama 168 Project, dimotori oleh Evelyn Huang, sang kurator karya seni bersama sejumlah seniman menggelar pameran bertajuk Recollecting Memory Kedai Kopi Tak Kie pada 28 Februari hingga 16 Maret 2015. Semangat Ayauw untuk mengenang Tak Kie sebagai ruang temu bagi warga Glodok sejak akhir tahun 1920-an menjadi kekuatan pameran ini.
Baca Juga: Kopitiam, Riwayat Penyebutan Kedai Kopi Pusaka Peranakan Cina
Pagelaran ini menyuguhkan pelbagai media penyimpan memori seperti gambar ilustrasi Tak Kie Series, musik Mandarin dari artis tenar macam Andy Lau dalam kompilasi Kopi Es Tak Kie Golden Love Song, video (Tak Kie Micromentary), dan Tak Kie Jurnal.
Tak tanggung-tanggung, pameran ini pun terwujud melalui serangkaian riset dan observasi partisipatif di mana senimannya berkarya dengan merespon fragmen memori yang tertangkap dari cerita verbal maupun obyek yang bercerita dalam kedai kopi. Evelyn mengatakan, pameran ini mewakili sebagian memori kolektif keseharian komunitas Tionghoa di kawasan Glodok.
Sembari menikmati segelas kopi es Tak Kie, kita dapat merasakan atmosfer dunia lain. Waktu seolah berhenti saat kita menyeruput kopi es sambil menduduki bangku kayu dan menatap meja jati tua yang aus dan menghitam. Foto-foto tua dan gambar orang tenar seperti Presiden Jokowi yang pernah mampir di kedai ini turut menemani pengunjung kala menyeruput sajian kopi legit.
Walaupun geliat sinar Tak Kie mulai memudar, kita masih dapat menyaksikan mozaik interaksi multikultur di kedai kopi ini. Penikmat kopi Nusantara pasti tak akan melewatkan kesempatan mengunjungi kedai kopi Tak Kie.
Ayauw hanya bergumam, “Mungkin tak ada yang mau meneruskan usaha ini, tapi saya yakin, pelanggan Tak Kie akan tetap setia.”
Baca Juga: Lim Tju Kwet, Kaligrafer Aksara Han yang Tersisa di Pecinan Glodok
Artikel ini pernah terbit pada 24 Maret 2015, dengan judul Selayang Pecinan Jakarta, Seruput Kopi Es Tak Kie.
Penulis | : | Agni Malagina |
Editor | : | Mahandis Yoanata Thamrin |
KOMENTAR