Nationalgeographic.co.id—Memasuki halaman muka Wihara Dharmakaya, kita disuguhi pemandangan bangunan klenteng yang tak biasa. Gedung berarsitektur campuran gaya Eropa, Cina, Indonesia berpadu dengan warna merah simbol kebahagiaan. Awalnya bangunan ini merupakan wihara Buddha yang dikenal sebagai Kwan Im Bio.
Saya lebih suka menjulukinya “Si Klenteng Cina Rasa Eropa”. Bangunan ini memiliki menara di sisi kanannya yang berjendela gaya gotik. Tampaknya, menara ini disetarakan dengan pagoda. Pagoda yang dalam bahasa Sansekerta disebut stupa, yang merupakan langgam bangunan asli India, dikenal dengan nama “dhagoba”—berasal dari “dhatu-garbha”. Artinya, tempat penyimpanan keramat, yang dalam agama Buddha merupakan simbol ketaatan yang tak tertandingi.
Orde baru telah mengganti nama klenteng ini dari Kwan Im Bio menjadi wihara Dewi Chandra Naga Sari, dan sekarang berubah menjadi vihara Dharmakaya. Wihara ini dikelola oleh Wihara Vajra Bodhi yang bertempat di Tajur, Bogor. Rupanya, bangunan ini merupakan bekas bangunan langgam arsitektur Eropa yang pernah disebut warga sebagai “Gredja Boeloloe”.
Baca Juga: Pecinan Ampenan, Jejak-jejak Denyut Kesibukan Kampung Lawas di Lombok
Istilah “klenteng” merupakan adaptasi hasil pendengaran penduduk lokal terhadap bunyi dari “Guan Yin Ting” (kediaman Dewi Kwan Im atau Kwan Im Teng dalam bahasa Hokkian). Sepanjang pecinan Bogor di Jalan Suryakencana hingga Jalan Siliwangi terdapat tiga buah klenteng: Hok Tek Bio (Wihara Dhanagun), Klenteng Phanko (Pan Ku), dan Wihara Dharmakaya yang terletak di Jalan Siliwangi.
Konon, bangunan tersebut merupakan vila keluarga Tionghoa asal Kwitang, Batavia—kini Jakarta Pusat—pada awal abad ke-20. Kemudian didarmakan untuk biara, dan pada awal 1940-an, klenteng ini dikelola oleh seorang biarawati atau suhu wanita yang bernama Tan Eng Nio.
Bubungan pada atap sisi depan bergaya atap ekor walet yang merupakan bangunan dengan arsitektur khas daerah selatan Cina. Dua naga saling berhadapan, dengan imaji bulat dengan rambut api yang berada di antara keduanya. Inilah ciri khas atap klenteng.
Dalam tradisi Cina, naga merupakan simbol kekuatan “Yang” dan simbol kesuburan. Naga pun dapat dimaknai sebagai lambang supremasi kekuatan tertinggi dalam dunia mitologi Cina. Sementara, imaji bulatan berambut api dapat diinterpretasikan sebagai mutiara, matahari, atau bulan.
Tidak seperti klenteng lain, tak ada ukiran dan pahatan motif poenix, naga atau bunga dedaunan pada bubungan atap Wihara Dharmakaya.
Dua singa penjaga gerbang pun menyambut kadatangan setiap tamu. Kedua patung singa ini biasa diletakkan di muka bangunan pemerintahan dan wihara/klenteng. Singa yang terletak di sebelah kanan biasanya lengkap dengan ornamen bola di kaki kanannya. Simbol laki-laki atau kekuatan maskulin. Sementara singa di sebelah kiri dengan anak singa di kaki kirinya merupakan simbol kekuatan feminin. Keduanya merupakan penjaga bangunan penting dan simbol harmoni Yin dan Yang.
Teras bangunan indis ini memiliki pintu dengan ornamen pada papan jati berupa ukiran ular naga dan burung phoenix. Satwa bersayap itu merupakan mahkluk supranatural dalam kepercayaan tradisional Cina yang merupakan simbol kekuatan Yin, pelengkap Yang yang dimiliki oleh Naga. Keduanya merupkan simbol harmoni.
Baca Juga: Riwayat Perayaan Kue Bulan: Dari Dewi Chang'e Sampai Gus Dur
Pada sisi lain terdapat gambar kelelawar sebagai simbol kemakmuran. Keindahan bangunan ini pun disempurnakan oleh lengkung-lengkung bingkai pintu dan jendela khas bangunan Indis. Tak ketinggalan lantai keramik djadoel bercorak dekoratif kuning kunyit dan coklat yang menambah kesan antik bangunan tersebut.
Memasuki ruang utama, pengunjung akan di sambut oleh Dewa Kuan Ong, sang dewa rejeki. Tak jauh darinya terdapat tangga naik ke pagoda. Tidak seperti pagoda lain yang beranak tangga 21 yang melambangkan kebaikan, jumlah anak tangga wihara ini hanya 19. Sesampainya di atas, kita akan menemui Dewa Langit, San Tian Ong. Dari ruangan kecil di ujung menara itu kita dapat menikmati pemandangan Gunung Salak.
Kembali ke ruang utama yang memajang altar Dewi Kwan Im yang berukir flora dan fauna; juga foto dari biksuni yang pernah mengabdi di wihara Kuan Im tersebut.
Kesan privat lebih terasa di vihara ini. Konon menurut cerita penjaga vihara tersebut, tempat itu lebih sering digunakan oleh keluarga para biksuni untuk beribadah. Namun pada saat sembahyang Imlek, Cap Gomeh dan ulang tahun Dewi Kwan Im, wihara ini akan ramai dikunjungi umat.
Di halaman samping dan belakang terdapat bangunan tambahan untuk klinik pengobatan yang dijembatani oleh taman kecil nan asri, ibarat berada di sebuah vila peristirahatan yang tenang.
Demikianlah kisah Vihara Dharmakaya yang dibangun dan berhiaskan simbol-simbol dalam tradisi Negeri Tirai Bambu yang telah mengakar di bumi Nusantara.
Penulis | : | Agni Malagina |
Editor | : | Mahandis Yoanata Thamrin |
KOMENTAR