Nationalgeographic.co.id—Gempa yang terjadi di selatan Malang, Jawa Timur, pada Sabtu (10/4/2021) pukul 14.00 WIB sebenarnya "hanya" berkekuatan 6,1 Magnitudo dan dalam kategori gempa menengah. Namun gempa ini menimbulkan guncangan yang sangat luas, bahkan juga dirasakan di Sumba dan Sumbawa. Selain itu, gempa ini juga menimbulkan kerusakan cukup luas.
Titik pusat gempa ini berada di wilayah Samudra Hindia pada koordinat 8,83 Lintang Selatan dan 112,5 Bujur Timur. Posisi ini berada sekitar 96 kilometer di selatan Kota Kepanjen, Kabupaten Malang, Jawa Timur.
"Dengan memperhatikan lokasi episenter dan kedalaman hiposenternya, gempa yang terjadi merupakan jenis gempa bumi menengah akibat adanya aktivitas subduksi. Hasil analisis mekanisme sumber menunjukkan bahwa gempa bumi memiliki pergerakan naik (thrust fault)," ujar Kepala Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG) Dwikorita Karnawati dalam konferensi pers daring.
Meski "hanya" merupakan gempa menengah, Gempa Malang ini menimbulkan dampak guncangan yang cukup luas. Data BMKG menunjukkan guncangan gempa paling kuat terasa di Turen dan Lumajang yang kekuatannya mencapai skala V MMI (Modified Mercalli Intensity) --getaran dirasakan hampir semua penduduk, banyak orang terbangun. Adapun getaran dengan gempa skala IV MMI (getaran dirasakan oleh banyak orang yang berada di dalam rumah) terjadi di Karangkates, Malang, dan Blitar.
Getaran gempa juga dirasakan di Kediri, Trenggalek, dan Jombang dengan skala III-IV MMI (bila pada siang hari dirsakan oleh banyak orang di dalam rumah). Getaran juga terasa di Nganjuk, Ponorogo, Madiun, Ngawi, Yogyakarta, Lombok Barat, Mataram, Kuta, Jimbaran, dan Depasar dengan hingga Lombok Utara dan Sumbawa dengan skala III MMI (getaran terasa nyata di dalam rumah seperti ada truk yang lewat). Bahkan, getaran gempa ini juga terasa di Mojokerto, Klaten, Lombok Utara, Sumbawa, Tabanan, Klungkung, dan Banjarnegara dengan skala II MMI (getaran dirasakan oleh beberapa orang dan benda-benda ringan yang digantung bergoyang).
Baca Juga: Ada Pertanda Buruk di Balik Warna Oranye Langit Kota Beijing
Yang menjadi pertanyaan banyak orang, mengapa Gempa Malang ini bisa menimbulkan guncangan yang cukup luas, terasa hingga Yogayakarta di sebelah barat dan sampai Sumbawa di sebelah timur? Ternyata, ini terkait dengan kedalaman titik pusat atau hiposenter gempanya.
BMKG sebelumya menginformasikan bahwa hiposenter Gempa Malang ini adalah 25 kilometer di bawah permukaan laut. Namun info itu kemudian mereka mutakhirkan kembali menjadi 80 kilometer di bawah laut.
Prinsipinya semakin dalam hiposenter suatu gempa, maka semakin luas pula cakupan guncangan yang ditimbulkannya. Jadi, jika ada dua gempa yakni Gempa A dan Gempa B. Lalu misalnya Gempa B memiliki hiposenter lebih dalam dibanding Gempa A, maka cakupan guncangan Gempa B akan lebih luas dibanding Gempa A. Perhatikan gambar di bawah ini untuk ilustrasinya.
Selain menimbulkan guncangan yang luas, Gempa Malang ini ternyata juga menimbulkan kerusakan yang cukup luas. Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) melaporkan setidaknya ada 16 kabupaten/kota yang terdampak dan 2.848 unit bangunan yang rusak akibat gempa ini.
Rinciannya, rumah dengan kerusakan berat tercatat sebanyak 642 unit, rumah dengan kerusakan sedang tercatat 845 unit, dan rumah dengan kerusakan ringan tercatat 1.361 unit. Selain itu, ada 179 fasilitas umum (fasum) yang rusak.
BNPB juga mencatat setidaknya ada 8 orang meninggal dunia, 1 orang luka berat berat, 2 orang mengalami luka sedang, dan 36 orang luka ringan akibat gempa ini. Kebanyakan dari mereka meninggal dunia akibat tertimpa material bangunan.
Menurut Kepala Pusat Gempa Bumi dan Tsunami BMKG Bambang Setiyo Prayitno, gempa ini memang menimbulkan cukup banyak kerusakan. "Kerusakan ini dipengaruhi oleh kualitas bangunan dan kondisi geologis setempat," jelas Bambang.
Baca Juga: Kiat Siaga Bencana Banjir dari National Geographic untuk Indonesia
Kepala Bidang Mitigasi Gempa Bumi dan Tsunami BMKG Daryono juga menyatakan bahwa banyaknya kerusakan akibat Gempa Malang yang sebenarnya "hanya" tergolong sebagai gempa menengah ini adalah akibat kurangnya penerapan mitigasi gempa di tengah-tengah masyarkat, terutama terkait upaya pendirian bangunan tahan gempa. "Melihat banyaknya rumah yang rusak yang terjadi akibat gempa M 6,1 ini, menunjukkan bahwa struktur bangunan masyarakat kita ternyata masih sangat rentan,” ujarnya.
Daryono mewanti-wanti masyarakat supaya memperkuat struktur bangunan tempat tinggalnya. Untuk bangunan tembok, harus diperkuat dengan besi tulangan sesuai standar bangunan tahan gempa. Alternatif lainnya, jika tidak sanggup membuat bangunan tembok dengan kualitas tahan gempa, masyarakat dapat mendirikan bangunan berbahan ringan, seperti kayu dan bambu.
Bagaimanapun, Daryono menekankan, "gempa tidak melukai dan tidak menimbulkan korban meninggal. Namun bangungan yang roboh itu yang menyebabkan korban luka dan korban meninggal."
Baca Juga: Melihat Ulang Ancaman Sesar Lembang yang Disebut Membahayakan Bandung
Daryono juga memperingatkan masyarakat, Gempa Malang ini merupakan tanda bahaya bagi masyarakat di selatan Jawa Timur, bahkan seluruh selatan Pulau Jawa. ”Ancaman sumber gempa subduksi lempeng selatan Jawa itu nyata dan kita harus waspada,” tegasnya.
Menurut catatan Daryono, kawasan selatan Malang memiliki sejarah perulangan gempa yang merusak. Catatan masa lampau menunjukkan kawasan ini pernah beberapa kali mengalami gempa merusak, misalnya gempa pada tahun 1896, 1937, 1958, 1962, 1963, 1967, 1972, dan 1998.
Adapun terkait wilayah Jawa secara keseluruhan, Daryono juga mencatat, selama 30 tahun terakhir pulau ini telah diguncang enam gempa berkekuatan lebih dari 6,0 Magnitudo sehingga menyebabkan kerusakan dan korban jiwa. Daryono merinci, gempa-gempa tersebut adalah Gempa dan Tsunami Jawa Timur (M 7,8) pada 1994, Gempa dan Tsunami Pangandaran (M 7,7) pada 2006, Gempa Tasikmalaya (M 7,0) pada 2009, Gempa Tasikmalaya (M 6,9) pada 2017, Gempa Lebak (M 6,1) pada 2018, serta Gempa Banten (M 6,9) pada 2019.
Baca Juga: Satu Tahun GRID STORE: Tersedia Layanan Pelanggan Majalah-el Berdiskon
Penulis | : | Utomo Priyambodo |
Editor | : | Mahandis Yoanata Thamrin |
KOMENTAR