Nationalgeographic.co.id—“Kalau orang tak tahu sejarah bangsanya sendiri –tanah airnya sendiri– gampang jadi orang asing di antara bangsa sendiri,” tulis Pramoedya Ananta Toer dalam novelnya Anak Semua Bangsa.
Kehadiran Intisari menjadi bagian untaian sejarah media di Indonesia. Boleh dikata, majalah ini lahir ketika rezim pengekangan informasi pada 1960-an. Pun, monumen bersejarah yang terkait dengan lahirnya majalah ini adalah Candi Prambanan. Dalam sebuah pertunjukan sendratari dalam bias sinar rembulan di pelataran candi itu, Jakob Oetama dan Petrus Kanisius Ojong membicarakan sebuah media baru di tengah kekangan informasi oleh negara. Misi mereka sama, akses informasi yang mencerahkan warga. Lalu, mereka pun sepakat untuk menerbitkan media bergaya cerita manusia—bukan renungan atau opini belaka.
Bukan kebetulan apabila keduanya memiliki kesamaan: Jakob dan Ojong memiliki latar guru. Keduanya juga memiliki minat pada sejarah. Keduanya juga jurnalis yang mumpuni. Jakob adalah jurnalis dan memimpin majalah Penabur, sementara Ojong pernah menjadi jurnalis di Keng Po dan memimpin majalah Starweekly. Boleh dikata, INTISARI juga merupakan titisan dan kelanjutan sejarah pers Tionghoa.
Baca Juga: Konsep Hindu-Buddha dalam Tata Ruang Kesultanan Islam di Jawa
Source | : | Intisari |
Penulis | : | Grid |
Editor | : | Mahandis Yoanata Thamrin |
KOMENTAR