Nationalgeographic.co.id—“Kalau orang tak tahu sejarah bangsanya sendiri –tanah airnya sendiri– gampang jadi orang asing di antara bangsa sendiri,” tulis Pramoedya Ananta Toer dalam novelnya Anak Semua Bangsa.
Kehadiran Intisari menjadi bagian untaian sejarah media di Indonesia. Boleh dikata, majalah ini lahir ketika rezim pengekangan informasi pada 1960-an. Pun, monumen bersejarah yang terkait dengan lahirnya majalah ini adalah Candi Prambanan. Dalam sebuah pertunjukan sendratari dalam bias sinar rembulan di pelataran candi itu, Jakob Oetama dan Petrus Kanisius Ojong membicarakan sebuah media baru di tengah kekangan informasi oleh negara. Misi mereka sama, akses informasi yang mencerahkan warga. Lalu, mereka pun sepakat untuk menerbitkan media bergaya cerita manusia—bukan renungan atau opini belaka.
Bukan kebetulan apabila keduanya memiliki kesamaan: Jakob dan Ojong memiliki latar guru. Keduanya juga memiliki minat pada sejarah. Keduanya juga jurnalis yang mumpuni. Jakob adalah jurnalis dan memimpin majalah Penabur, sementara Ojong pernah menjadi jurnalis di Keng Po dan memimpin majalah Starweekly. Boleh dikata, INTISARI juga merupakan titisan dan kelanjutan sejarah pers Tionghoa.
Baca Juga: Konsep Hindu-Buddha dalam Tata Ruang Kesultanan Islam di Jawa
Pada edisi April 2021, majalah mungil ini menampilkan sosok-sosok perempuan inspiratif dari zaman yang berbeda. Kita boleh menyebut mereka sebagai para perempuan digdaya. Mereka tidak sekadar memintas zaman dengan pemikirannya, tetapi juga turut memengaruhi pemikiran orang-orang sezaman—bahkan untuk konteks sekarang.
Pada masa silam kata “digdaya” kerap dikaitkan dengan “sakti”, “ampuh”, atau “tak terkalahkan”. Namun, seiring perkembangan zaman, kini kita bisa menyematkannya kepada seorang yang berilmu. Tanpa ilmu dan pengetahuan, kita tidak pernah sampai pada dunia yang sekarang.
Sejumput cerita sampul tentang Soerastri Karma Trimurti. Dia dikenal sebagai jurnalis dan tokoh yang mengawali kiprahnya dalam pergerakan pemuda pada 1930-an. Sosok inspiratif berikutnya adalah Roehana Koeddoes, yang ditahbiskan sebagai jurnalis perempuan pertama Indonesia. Kemudian, Inggit Garnasih sebagai perempuan yang menginspirasi dan mandukung gagasan Bung Karno.
Kita mencoba menengok sebelum era Kartini, tatkala perempuan-perempuan Nusantara sudah memiliki peran strategis dalam sistem sosial dan politik. Kerajaan Majapahit di Jawa Timur pernah dua kali dipimpin oleh perempuan, yakni Bhre Kahuripan pada abad ke-14, dan Prabhustri pada abad ke-15.
Kita tidak mengingkari bahwa Nusantara bertabur perempuan digdaya. Di Aceh, Keumalahayati menjadi laksamana perempuan pertama di dunia modern. Armadanya didukung lebih dari 2.000 janda pada abad ke16. Bahkan, bumi dan kesuburan kerap disimbolkan sebagai sosok dewi-dewi atau ibu.
Pada edisi April, majalah mungil ini memasuki sejarah baru. Intisari akan berubah dalam perwajahan dan pokok ulasan. Seperti semangat para pendahulu, kami akan lebih memantapkan dalam pembahasan utama dalam biografi, histori, dan tradisi.
Biografi, tokoh-tokoh yang memiliki pemikiran atau karyan untuk mengubah Indonesia menjadi lebih baik. Histori, kisah bergenre sejarah populer tentang peristiwa atau kejadian masa silam, namun selalu dikaitkan dengan situasi kininya. Tradisi, penjelajahan seni dan budaya yang menjadi bagian keseharian masyarakat, termasuk upaya pelestariannya.
Semuanya berkait dengan keteladanan manusia dalam melewati setiap tantangan zaman. Namun, ada yang tidak berubah dalam gaya pembahasan kami yang senantiasa cerdas dan menginspirasi. Chairil Anwar pernah berseru, “Ada yang berubah, ada yang bertahan. Karena zaman tak bisa dilawan. Yang pasti kepercayaan harus diperjuangkan.”
Mari ikuti jargon #KitaDigdaya untuk Indonesia berdaya!
Source | : | Intisari |
Penulis | : | Grid |
Editor | : | Mahandis Yoanata Thamrin |
KOMENTAR