Entah, sebuah kebetulan atau memang takdir, hujan besar menimpa Pandam Gadang seturut tangis seorang bayi laki-laki di dalam surau kecil. Ia dinamai Ibrahim oleh orang tuanya. Di usia muda ia ditunjuk kaumnya menjadi Datuak Pamuncak, salah satu posisi tertinggi dalam adat Minangkabau, menggantikan kakeknya yang mangkat. Ia dibekap gelisah. Ini beban berat untuk anak yang belum genap berumur tujuh belas tahun. Kemeriahan jelang pengukuhan adat itu digambarkan oleh Hendri Teja dalam novelnya yang berjudul Tan, terbit pada awal 2006.
Tujuh ekor sapi disembelih. Segenap khalayak nagari diundang makan bersama selama tujuh hari tujuh malam. Rabab, randai, saluang, dan kesenian adat lainnya digelar saban malam.
Baca Juga: Tradisi Kapur Sirih dalam Tarian Sangkan Siheh di Tepian Lematang
Selepas para tetua adat berbalas pantun dan Imam membacakan doa, resmi pula remaja Ibrahim menjadi seorang tokoh adat di nagarinya.
Perlahan ku perbaiki segitiga destar, membenarkan letak kariah di pinggang, dan selepas menarik napas panjang aku bangkit berdiri.
“Mulai kini, panggil ambo Datuk Tan Malaka!”
Andai ia tetap menggunakan nama lahirnya, mungkin babad hidupnya tak sebagaimana yang tertulis dalam kitab sejarah.
Saya masih bisa melihat barang-barang di dalam tempat penyimpanan di ruang tengah. Salah satunya kain batik kepunyaan Sinah, ibu Tan Malaka. Kain itu adalah gendongan Tan kecil. Tak ditemukan riwayat pasti kapan ia lahir.
Baca Juga: Peneliti LIPI Menemukan Katak Mini Jenis Baru di Pulau Sumatra
Harry Poeze, peneliti dan penulis buku Tan Malaka: Pergulatan Menuju Republik, menyebut tahun 1897 sebagai tahun lahir Tan. Namun, pada tulisan di kaca penyimpanan kain batik itu menyatakan, “Kain batik Ibu Sinah digunakan untuk menggendong Ibrahim Dt. Tan Malaka 1896-1897”. Seperti kuburnya, tanggal lahirnya pun berbau misteri.
“Orang-orang di sini baru tahu tentang Tan. Saya pun begitu,” seorang teman asal Payakumbuh berkata demikian beberapa malam lalu. Saya berpikir, mengapa di kampungnya sendiri ia tak begitu dikenali? Padahal, Tan adalah sosok yang menggagas republik ini pada 1925 melalui bukunya Naar de Republiek Indonesia. Buku itu terbit jauh sebelum Bung Karno membacakan teks kemerdekaan di Jakarta.
“Dan bila benar kelak akan ada kehidupan berikutnya setelah kehidupan di alam dunia ini, maka orang yang pertama ingin saya temui adalah ayah dan ibu saya.”
Hidup di zaman pergolakan memang tak mengasyikan. Orang-orang yang dicap pemberontak, lalu dikejar dan diburu. Tan pun acap berganti nama. Dari Elias Fuentes, Ossorio, hingga Ong Soong Lee. Bahkan di negara sendiri ia memilih untuk dikenal sebagai Ilyas Hussein. Selepas kemerdekaan, stempel itu tak lenyap. Bahkan, dibubuhi dengan emblem komunis. Sejak itu, nama dan tilas perjuangannya tabu diperbincangkan, tersembunyi di balik kabut republik yang digagasnya. Mungkin, sebab itulah kabar tentangnya simpang siur.
Petani-petani sudah dihalau senja ketika saya dan Yusuf berkendara menyusur jalan pulang. Sepanjang yang saya tahu, hanya enam ruas jalan di Indonesia yang menggunakan Tan Malaka sebagai namanya. Kendati sosoknya diakui sebagai Pahlawan Nasional pada 1963, nasibnya tak semujur nama para pahlawan yang menjadi tengara jalan raya protokol.
Di ibu kota Provinsi Sumatra Barat, ia hanya ditempatkan pada jalan pendek—yang kadang sepeda motor harus mengalah ketika bersisian dengan kendaraan roda empat. Sebagai pelipur lara, di Kabupaten Limapuluhkota, namanya dipancang pada ruas jalan dari Payakumbuh hingga kampung lahirnya.
“Teh talua ciek, da.” Tak sampai sepuluh menit, minuman yang populer di Sumatra Barat ini sampai ke meja saya. Seperti kedatangan pertama, kali ini pun saya memilih duduk di beranda Kinyam Café.
“Kami datang ke Kediri dalam rangka menjemput Datuk kami yang selama ini hilang,” kalimat itu termuat pada laman yang sedang saya buka. Usai membacanya, saya membayangkan pawai manusia mengiring kepulangannya ke Pandam Gadang.
Saya pun mengingat kalimat dalam Saya Rusa Berbulu Merah, sebuah monolog tentang Tan Malaka yang dipentaskan di atas panggung remang: “Dan bila benar kelak akan ada kehidupan berikutnya setelah kehidupan di alam dunia ini, maka orang yang pertama ingin saya temui adalah ayah dan ibu saya.”
“Pulang juga kau akhirnya,” dalam hati saya menggumam. Kemudian, teh talua yang didinginkan oleh malam itu segera saya tandaskan.
Baca Juga: Kota Cina, Bandar Penting Ketika Sriwijaya Surut. Di Manakah Itu?
Penulis | : | National Geographic Indonesia |
Editor | : | Mahandis Yoanata Thamrin |
KOMENTAR