“Itu gambar Tan?” tanya saya ke karyawan kedai kopi itu.
“Iya, Bang,” karyawan tadi memastikan.
“Kampungnya kurang lebih satu jam dari sini,” sambung Yusuf, seorang kawan yang menemani saya di kedai ini. Meski Yusuf lahir di Payakumbuh, ia belum pernah datang ke kampung Tan.
Baca Juga: Sepotong Rendang, Sekerat Cerita Abadi di Kedai Makan Padang
Saya mengingat, perkenalan pertama dengan Tan terjadi sekitar satu dekade yang lalu. Rian, seorang kawan, rela meminjamkan sebuah buku bersampul merah kepada saya. Patjar Merah Indonesia, judul roman itu.
“Ini tentang Tan Malaka,” kata Rian sembari meneguhkan isi bukunya. “Dia juga pahlawan.”
Pada gonjong yang menjorok ke depan, sebuah nama berhuruf kapital ditulis dengan warna dan latar yang mencolok—kuning dan hijau: “Tan Malaka”. Puluhan tahun silam, nama itu sempat tabu untuk dikenal.
Di kampung, saat saya sekolah, nama Soekarno, Hatta, Ki Hajar Dewantara, Kartini, Cut Nyak Dhien, dan banyak nama lainnya acap menjadi narasi perjuangan yang diulang-ulang penuh semangat oleh guru. Lalu, Tan? Siapa dia? Dari karangan Matu Mona saya mulai mengenal pria yang disebut “Pacar Merah” dalam romannya itu.
Selepas dari kedai kopi, saya dan Yusuf bersepeda motor menuju Nagari Pandam Gadang, Kabupaten Limapuluhkota. Lalu lintasnya tak seramai Kota Payakumbuh. Bukit-bukit mengapit jalan raya. Di persawahan pinggir jalan, para petani sedang menanam benih padi dan sebagian menuai padi. Sepertinya, musim panen di sini tak diundang untuk datang serentak lagi.
Baca Juga: Rumah-rumah Gadang nan Meradang
Nagari Pandam Gadang adalah satu kampung yang jauh dari bising. Di sinilah rumah “pemberontak” itu berada. Rumahnya bergonjong enam, sama seperti rumah Minangkabau pada umumnya. Di halaman depannya terpancang tiang dengan bendera Merah Putih. Pintunya berhadap-hadapan dengan kolam yang dikelilingi pohon kelapa.
Pada gonjong yang menjorok ke depan, sebuah nama berhuruf kapital ditulis dengan warna dan latar yang mencolok—kuning dan hijau: “Tan Malaka”. Puluhan tahun silam, nama itu sempat tabu untuk dikenal.
Baca Juga: Nagari Sijunjung: Emas Hitam Tuan De Greve sampai Jejak Jepang
“Siapa yang menjaga rumah ini?” saya bertanya kepada beberapa orang anak yang bermain di halaman.
“Masuak se, Da. Pintunyo indak dikunci,” jawab seorang anak dari atas sepedanya.
Saya menaiki beberapa anak tangga. Benar saja, pintunya tidak dikunci. Beberapa buku tamu ditaruh begitu saja di atas kotak biru yang sudah pudar di sebelah kanan pintu. Kotak itu adalah kotak sumbangan bagi siapa saja yang hendak memberi. Derit papan turut berbunyi seturut langkah kaki saya.
Tirai berwarna biru-putih tergantung di pintu yang mengarah ke bagian tengah rumah. Dari pintu, saya sudah disambut oleh senyum Tan yang terpatri dalam foto di ujung ruang dalamnya. Ia menggunakan kemeja putih dengan topi bundar di kepala. Lampu tua berukir perak digantung bersebelahan dengan lampu neon putih. Ranji, silsilah keluarga, ditempel pada dinding di bawah gambar orang-orang yang pernah dan sedang memangku salah satu gelar datuk di Nagari Pandam Gadang. Wajah Tan ada bersama foto-foto itu.
Konon, ia lahir pada masa hujan tidak turun di Pandam Gadang. Ketika itu sawah-sawah mengering, daun-daun pohon menguning, semak hangus disengat matahari.
Penulis | : | National Geographic Indonesia |
Editor | : | Mahandis Yoanata Thamrin |
KOMENTAR