Cerita dan foto oleh Zulkifli
Nationalgeographic.co.id—Sawah-sawah menghampar lepas. Punuk-punuk bukit disilau matahari. Ladang-ladang petani tumbuh di lereng-lereng bukit. Sungai mengalir ke hilir. Nyiur kelapa mengibas seturut angin. Harmoni alam ini bak lukisan Wakidi, pesohor mooi indie.
“Kenapa tempat seindah ini bisa melahirkan pemberontak?” Roger Tol, seorang peneliti Belanda, pernah berkata demikian.
Pemberontak yang dimaksud adalah seseorang yang lahir di kampung di tengah Bukit Barisan. Pria dusun yang kemudian hari menjadi orang yang paling dicari oleh Interpol, polisi rahasia Eropa. Namun, mati di tangan prajurit-prajurit republiknya sendiri.
Baca Juga: Di Rumah Achmad Soebardjo, Akhirnya Tan Malaka dan Soekarno Berjumpa
Saya sampai di Kota Payakumbuh ketika langit hitam sempurna. Kota ini adalah kota perlintasan yang menghubungkan Riau dengan Sumatra Barat, juga kota dengan aroma makanan di mana-mana. Kulinernya berserak dari kaki lima hingga kedai kota, Kinyam Café salah satunya. Kedai ini memajang barang-barang lama. Dari piringan hitam, senapan laras panjang, mesin jahit, sampai sepeda motor tua. Saya memilih duduk di beranda, memesan kopi hitam tanpa gula.
Cukup lama saya mematut-matut gambar siluet wajah yang digantung di sudut kafe. Pada bagian bawah gambar tercetak satu kalimat yang menggetarkan. “Merdeka Jangan Setengah-Setengah,” begitu bunyinya.
“Itu gambar Tan?” tanya saya ke karyawan kedai kopi itu.
“Iya, Bang,” karyawan tadi memastikan.
“Kampungnya kurang lebih satu jam dari sini,” sambung Yusuf, seorang kawan yang menemani saya di kedai ini. Meski Yusuf lahir di Payakumbuh, ia belum pernah datang ke kampung Tan.
Baca Juga: Sepotong Rendang, Sekerat Cerita Abadi di Kedai Makan Padang
Saya mengingat, perkenalan pertama dengan Tan terjadi sekitar satu dekade yang lalu. Rian, seorang kawan, rela meminjamkan sebuah buku bersampul merah kepada saya. Patjar Merah Indonesia, judul roman itu.
“Ini tentang Tan Malaka,” kata Rian sembari meneguhkan isi bukunya. “Dia juga pahlawan.”
Pada gonjong yang menjorok ke depan, sebuah nama berhuruf kapital ditulis dengan warna dan latar yang mencolok—kuning dan hijau: “Tan Malaka”. Puluhan tahun silam, nama itu sempat tabu untuk dikenal.
Di kampung, saat saya sekolah, nama Soekarno, Hatta, Ki Hajar Dewantara, Kartini, Cut Nyak Dhien, dan banyak nama lainnya acap menjadi narasi perjuangan yang diulang-ulang penuh semangat oleh guru. Lalu, Tan? Siapa dia? Dari karangan Matu Mona saya mulai mengenal pria yang disebut “Pacar Merah” dalam romannya itu.
Selepas dari kedai kopi, saya dan Yusuf bersepeda motor menuju Nagari Pandam Gadang, Kabupaten Limapuluhkota. Lalu lintasnya tak seramai Kota Payakumbuh. Bukit-bukit mengapit jalan raya. Di persawahan pinggir jalan, para petani sedang menanam benih padi dan sebagian menuai padi. Sepertinya, musim panen di sini tak diundang untuk datang serentak lagi.
Baca Juga: Rumah-rumah Gadang nan Meradang
Nagari Pandam Gadang adalah satu kampung yang jauh dari bising. Di sinilah rumah “pemberontak” itu berada. Rumahnya bergonjong enam, sama seperti rumah Minangkabau pada umumnya. Di halaman depannya terpancang tiang dengan bendera Merah Putih. Pintunya berhadap-hadapan dengan kolam yang dikelilingi pohon kelapa.
Pada gonjong yang menjorok ke depan, sebuah nama berhuruf kapital ditulis dengan warna dan latar yang mencolok—kuning dan hijau: “Tan Malaka”. Puluhan tahun silam, nama itu sempat tabu untuk dikenal.
Baca Juga: Nagari Sijunjung: Emas Hitam Tuan De Greve sampai Jejak Jepang
“Siapa yang menjaga rumah ini?” saya bertanya kepada beberapa orang anak yang bermain di halaman.
“Masuak se, Da. Pintunyo indak dikunci,” jawab seorang anak dari atas sepedanya.
Saya menaiki beberapa anak tangga. Benar saja, pintunya tidak dikunci. Beberapa buku tamu ditaruh begitu saja di atas kotak biru yang sudah pudar di sebelah kanan pintu. Kotak itu adalah kotak sumbangan bagi siapa saja yang hendak memberi. Derit papan turut berbunyi seturut langkah kaki saya.
Tirai berwarna biru-putih tergantung di pintu yang mengarah ke bagian tengah rumah. Dari pintu, saya sudah disambut oleh senyum Tan yang terpatri dalam foto di ujung ruang dalamnya. Ia menggunakan kemeja putih dengan topi bundar di kepala. Lampu tua berukir perak digantung bersebelahan dengan lampu neon putih. Ranji, silsilah keluarga, ditempel pada dinding di bawah gambar orang-orang yang pernah dan sedang memangku salah satu gelar datuk di Nagari Pandam Gadang. Wajah Tan ada bersama foto-foto itu.
Konon, ia lahir pada masa hujan tidak turun di Pandam Gadang. Ketika itu sawah-sawah mengering, daun-daun pohon menguning, semak hangus disengat matahari.
Entah, sebuah kebetulan atau memang takdir, hujan besar menimpa Pandam Gadang seturut tangis seorang bayi laki-laki di dalam surau kecil. Ia dinamai Ibrahim oleh orang tuanya. Di usia muda ia ditunjuk kaumnya menjadi Datuak Pamuncak, salah satu posisi tertinggi dalam adat Minangkabau, menggantikan kakeknya yang mangkat. Ia dibekap gelisah. Ini beban berat untuk anak yang belum genap berumur tujuh belas tahun. Kemeriahan jelang pengukuhan adat itu digambarkan oleh Hendri Teja dalam novelnya yang berjudul Tan, terbit pada awal 2006.
Tujuh ekor sapi disembelih. Segenap khalayak nagari diundang makan bersama selama tujuh hari tujuh malam. Rabab, randai, saluang, dan kesenian adat lainnya digelar saban malam.
Baca Juga: Tradisi Kapur Sirih dalam Tarian Sangkan Siheh di Tepian Lematang
Selepas para tetua adat berbalas pantun dan Imam membacakan doa, resmi pula remaja Ibrahim menjadi seorang tokoh adat di nagarinya.
Perlahan ku perbaiki segitiga destar, membenarkan letak kariah di pinggang, dan selepas menarik napas panjang aku bangkit berdiri.
“Mulai kini, panggil ambo Datuk Tan Malaka!”
Andai ia tetap menggunakan nama lahirnya, mungkin babad hidupnya tak sebagaimana yang tertulis dalam kitab sejarah.
Saya masih bisa melihat barang-barang di dalam tempat penyimpanan di ruang tengah. Salah satunya kain batik kepunyaan Sinah, ibu Tan Malaka. Kain itu adalah gendongan Tan kecil. Tak ditemukan riwayat pasti kapan ia lahir.
Baca Juga: Peneliti LIPI Menemukan Katak Mini Jenis Baru di Pulau Sumatra
Harry Poeze, peneliti dan penulis buku Tan Malaka: Pergulatan Menuju Republik, menyebut tahun 1897 sebagai tahun lahir Tan. Namun, pada tulisan di kaca penyimpanan kain batik itu menyatakan, “Kain batik Ibu Sinah digunakan untuk menggendong Ibrahim Dt. Tan Malaka 1896-1897”. Seperti kuburnya, tanggal lahirnya pun berbau misteri.
“Orang-orang di sini baru tahu tentang Tan. Saya pun begitu,” seorang teman asal Payakumbuh berkata demikian beberapa malam lalu. Saya berpikir, mengapa di kampungnya sendiri ia tak begitu dikenali? Padahal, Tan adalah sosok yang menggagas republik ini pada 1925 melalui bukunya Naar de Republiek Indonesia. Buku itu terbit jauh sebelum Bung Karno membacakan teks kemerdekaan di Jakarta.
“Dan bila benar kelak akan ada kehidupan berikutnya setelah kehidupan di alam dunia ini, maka orang yang pertama ingin saya temui adalah ayah dan ibu saya.”
Hidup di zaman pergolakan memang tak mengasyikan. Orang-orang yang dicap pemberontak, lalu dikejar dan diburu. Tan pun acap berganti nama. Dari Elias Fuentes, Ossorio, hingga Ong Soong Lee. Bahkan di negara sendiri ia memilih untuk dikenal sebagai Ilyas Hussein. Selepas kemerdekaan, stempel itu tak lenyap. Bahkan, dibubuhi dengan emblem komunis. Sejak itu, nama dan tilas perjuangannya tabu diperbincangkan, tersembunyi di balik kabut republik yang digagasnya. Mungkin, sebab itulah kabar tentangnya simpang siur.
Petani-petani sudah dihalau senja ketika saya dan Yusuf berkendara menyusur jalan pulang. Sepanjang yang saya tahu, hanya enam ruas jalan di Indonesia yang menggunakan Tan Malaka sebagai namanya. Kendati sosoknya diakui sebagai Pahlawan Nasional pada 1963, nasibnya tak semujur nama para pahlawan yang menjadi tengara jalan raya protokol.
Di ibu kota Provinsi Sumatra Barat, ia hanya ditempatkan pada jalan pendek—yang kadang sepeda motor harus mengalah ketika bersisian dengan kendaraan roda empat. Sebagai pelipur lara, di Kabupaten Limapuluhkota, namanya dipancang pada ruas jalan dari Payakumbuh hingga kampung lahirnya.
“Teh talua ciek, da.” Tak sampai sepuluh menit, minuman yang populer di Sumatra Barat ini sampai ke meja saya. Seperti kedatangan pertama, kali ini pun saya memilih duduk di beranda Kinyam Café.
“Kami datang ke Kediri dalam rangka menjemput Datuk kami yang selama ini hilang,” kalimat itu termuat pada laman yang sedang saya buka. Usai membacanya, saya membayangkan pawai manusia mengiring kepulangannya ke Pandam Gadang.
Saya pun mengingat kalimat dalam Saya Rusa Berbulu Merah, sebuah monolog tentang Tan Malaka yang dipentaskan di atas panggung remang: “Dan bila benar kelak akan ada kehidupan berikutnya setelah kehidupan di alam dunia ini, maka orang yang pertama ingin saya temui adalah ayah dan ibu saya.”
“Pulang juga kau akhirnya,” dalam hati saya menggumam. Kemudian, teh talua yang didinginkan oleh malam itu segera saya tandaskan.
Baca Juga: Kota Cina, Bandar Penting Ketika Sriwijaya Surut. Di Manakah Itu?
Penulis | : | National Geographic Indonesia |
Editor | : | Mahandis Yoanata Thamrin |
KOMENTAR