Nationalgeographic.co.id—Ketika berselancar di Twitter, banyak penggunanya yang mengakui bahwa 2020 adalah tahun terburuk yang pernah ada.
April ini, beberapa pengguna asal India menggunakan meme bahwa 2020 sebagai tahun terburuk, dengan gambaran komedian yang merepresentasikan 2021 sebagai tahun yang tak kalah buruk juga.
Tak salah bila banyak yang menganggap tahun 2020 dan 2021 sebagai tahun yang buruk, meningat adanya krisis ekonomi skala global, konflik politik, ancaman perang, kecelakaan dahysat, hingga krisis lingkungan.
Namun, benarkah 2020 dan 2021 adalah tahun terburuk?
Baca Juga: Adrianopel, Tonggak Awal Runtuhnya Romawi di Tangan Bangsa Goth
Nyatanya, dua tahun yang kita hadapi belum ada apa-apanya dibanding 535 dan 536. Michael McCormick sejarawan dan arkeolog Harvard University Initiative for the Science of the Human Past, mengungkapkan bahwa 536 adalah tahun terburuk yang pernah tercatat di peradaban manusia.
Tahun itu adalah saat Eropa, Timur Tengah, dan Asian di dalam kegelapan siang-malam selama 18 bulan. Kejadian itu ditulis oleh sejarawan era Bizantium, Procopius, "[...] matahari memancarkan cahayanya tanpa kecerahan, seperti bulan, sepanjang tahun."
Suhu di musim panas 536 bisa turun 1 hingga 2 derajat Celcius. Peristiwa ini berujung menjadi dekade terdingin selama 2300 terakhir, ujar McCormick dalam Science Magazine.
Baca Juga: Lantai Mosaik Romawi Kuno Ditemukan di Bawah Tanaman Merambat
Apa yang membuat tahun itu begitu gelap?
McCormick sebelumnya pernah membuat penelitian di The Journal Interdisciplinary History (2012) bersama tim. Lewat hasil analisa es di gletser Swiss, menemmukan sisa letusan gunung api dahsaya yang berasal dari Islandia. Sehingga abunya menutup Bumi belahan utara di tahun 536.
Tetapi gunung api di Islandia tidak sendiri, bukti abu vulkanik juga ditemukan di inti es Kutub Selatan dari tahun 535.
Ken Wohlez juga menulis dalam EOS Trans Amer Geophys Union (2000), masa kegelapan itu disebabkan juga dari letusan dahsyat dari sisi bumi lainnya, tepatnya oleh Gunung Krakatau di Indonesia. Letusan itu membuatnya tenggelam, dan membentuk Selat Sunda.
Wohlez menulis, letusan Krakatau purba itu mendorong batu apung, abu, dan gas, naik sekitar 50 km ke stratosfer. Akibatnya mendinginkan Bumi 5 hingga 10 derajat Celcius.
Kondisi itu mungkin sesuai dengan catatan sejarah Tiongkok dan Nusantara di masa lalu. Catatan sejarah Nusantara yang menyebutkan fenomena itu adalah Pustaka Raja Purwa yang kerap dijadikan acuan para dalang wayang.
Berdasarkan penelusaran secara kronologis oleh National Geographic Indonesia, tahun 535 adalah tahun kematian Raja Candrawarman dari Tarumanegara. Meski demikian, tak ada catatan detail mengenai kehidupan hingga kematiannya. Setelah meninggal, ia digantikan oleh Suryawarman.
Baca Juga: Mengapa Sepanjang Jalur Sutra Bisa Menyebarkan Pagebluk Antarbenua?
Salju akhirnya turun di musim panas Tiongkok. Berdasakarn catatan sejarah yang dipaparkan McCormick, Tiongkok mengalami gagal panen, dan kelaparan. Kondisi serupa juga terjadi dalam catatan bersejarah Irlandia sampai 539.
Kembali ke letusan gunung Islandia, McCormick menjelaskan bahwa erupsi ini memiliki susulan yang terjadi pada 540 dan 547. Kondisi ini membuat Romawi Timur terserang pagebluk, bahkan Kaisar Justinianus pun terkena penyakit ini.
Tak jelas dari mana asal pagebluk pes ini muncul menyerang Romawi Timur. Beberapa ahli memperkirakan asal-muasalnya dari Asia, ada pula dari pedalaman Afrika.
Procopius menulis, bahwa pagebluk ini tak hanya menyerang Romawi Timur, bahkan Persia juga hancur-hancuran menghadapi pagebluk. Beberapa kota di jalur perdagangan umum hampir kosong, dan kota lainnya nyaris tidak tersentuh.
Kyle Harper, rekan studi McCormick juga memaparkan, bahwa pagebluk dan erupsi besar menjadi rangkaian manusia dengan alam yang menyebabkan pecahnya Kekaisaran Romawi menjadi dua bagian.
Dampaknya pada ekonomi masa itu, mereka menjelaskan juga membuat ekonomi di Eropa mengalami stagnasi yang berlangsung hingga 640.
Source | : | thought.co,Big Think,Science Magazine |
Penulis | : | Afkar Aristoteles Mukhaer |
Editor | : | Mahandis Yoanata Thamrin |
KOMENTAR