Berdasarkan hasil riset yang dilakukan Abe dan timnya, perahu kuno itu berasal dari awal abad ke-16 Masehi. Adapun panjang perahu kuno tersebut adalah 24 meter dengan lebar 5,5 meter.
Sebagai perbandingan, pada akhir abad ke-16, tepatnya tahun 1596, Cornelis de Houtman, pelaut Belanda yang pertama mendarat di Indonesia, membawa empat kapal. Salah satunya berukuran panjang 24 meter dan mampu mengarungi samudra dari Eropa sampai ke Nusantara.
Hal ini menunjukkan bahwa teknologi perahu kuno di Jambi ini dapat menyamai kemampuan kapal-kapal Eropa tersebut. Jadi, nenek moyang orang Indonesia yang dikenal sebagai pelaut ulung memang sangat mungkin sudah lebih dulu menjelajahi dunia dibanding pelaut-pelaut Eropa.
Baca Juga: Nasib Kapal-Kapal Kuno yang Tenggelam di Jalur Rempah Nusantara
Abe mengidentifikasi bahwa penyusunan papan-papan perahu kuno yang ditemukan di Jambi tersebut menggunakan teknik papan ikat dan kuping pengikat (sewn plank and lashed-lug technique). Teknik ini merupakan ciri khas teknik pembuatan kapal masyarakat Asia Tenggara atau Austronesia yang telah pakai mulai abad ke-1 Masehi. Perahu-perahu kuno dengan teknik pembuatan seperti ini pernah ditemukan juga di Malaysia, Filipina, Vietnam, dan Indonesia.
Lebih lanjut, Abe menjelaskan perbedaan yang khas antara perahu-perahu buatan Asia Tenggara dan Eropa pada abad-abad pertama Masehi. “Kalau perahunya Eropa itu rata-rata dia bikin kerangkanya dulu, baru kulitnya, baru lambungnya. Kalau di Indonesia dan Asia Tenggara, dia justru bikin kulitnya dulu. Kayak bikin perahu pinisi, dia bikin lambungnya dulu, baru bikin kerangka tengahnya,” paparnya.
“Jadi kalau di Eropa dia bikin kerangka dulu, baru nanti papan-papannya dipaku ke gading-gadingnya. Jadi pakunya tuh keliatan dari luar dan dia menggunakan paku logam,” tutur Abe. Gading yang dimaksud Abde adalah struktur rangka dari kapal yang menguatkan bagian lambung kapal dan membentuk badan kapal. Gading-gading kapal ini biasa juga disebut disebut sebagai frame.
“Kalau perahu Asia Tenggara kebalik. Dia bikin kulitnya dulu, lambungnya, papan-papan panjang, lalu di pinggir papannya itu dilubangin. Terus antara papan dengan papan disambung pakai pasak yang terbuat dari kayu. Jadi selama penelitian berlangsung kita tuh nggak pernah ketemu logam. Padahal di abad segitu manusia sudah mengenal logam, tapi mereka nggak mau pakai. Sama kayak bikin pinisi, mereka nggak mau pakai paku besi dan semacamnya.”
Baca Juga: Koin-Koin Arab Kuno Ungkap Aksi Keji Perompak Kapal Rombongan Haji
Yang disebut sebagai teknik papan ikat adalah cara menyambungkan antarpapan tersebut. Adapun teknik kuping pengikat adalah cara untuk menyambungkan papan-papan atau lambung kapal dengan kerangkanya
“Bagaimana cara menyambungkan papan dengan kerangkanya di dalam? Nah papan-papan yang panjang itu dikasih lebihan sedikit ke luar, berupa tonjolan. Di tonjolan-tonjolan itu dikasih lubang sedikit juga. Tonjolannya itu bentuknya segi empat. Nah lubangnya itu diikat dengan gading-gading tadi. Itu yang disebut teknik kuping pengikat.”
Istilah kuping pengikat ini muncul karena mengibaratkan papan atau lambung kapal sebagai muka. “Istilahnya kalau muka harusnya rata, lurus, ini dilebihin keluar sedikit kayak kuping. Terus nanti di kupingnya itu ada lubangnya. Nah lubangnya itu dibuat untuk mengikat dengan gading-gading atau rusuk-rusuk tadi.”
Source | : | kemdikbud.go.id,Universitas Indonesia |
Penulis | : | Utomo Priyambodo |
Editor | : | Mahandis Yoanata Thamrin |
KOMENTAR