Nationalgeographic.co.id—Memberi maaf adalah kata yang mudah diucapkan oleh lisan dan digoreskan dengan tulisan, tapi berat untuk dilakukan oleh hati. Apalagi memberi maaf untuk orang yang benar-benar telah melukai hati kita.
Memberi maaf, bagaimanapun, adalah ajaran agama yang perlu kita jalani dan ikuti demi kebaikan diri kita sendiri. Agama apa pun pasti mengajarkan kebajikan ini.
Dalam Islam, Nabi Muhammad SAW adalah contoh teladan yang nyata dalam hal memaafkan. Meski kerap dilempari kotoran dan caci maki oleh penduduk Quraisy, ia tak menyimpan dendam dan selalu memaafkan. Meski dilempari bebatuan hingga berdarah-darah oleh penduduk Thaif, ia juga senantiasa memaafkan. Bahkan, meski dicaci-maki dan disumpah serapahi oleh seorang pengemis wanita tua Yahudi yang buta, ia juga tetap memaafkan dan bahkan menyuapi makanan untuk wanita tua itu.
Nabi Muhammad SAW selalu memberi maaf kepada siapa saja setiap hari tanpa diminta. Umat Islam pun ia anjurkan untuk selalu menjadi pemaaf sejati.
Tidak semua orang, termasuk umat Islam, bisa menjadi seorang pemaaf setiap harinya. Namun setidaknya, bagi warga Muslim dunia, ada hari yang bisa dijadikan momen untuk saling memaafkan, yakni Hari Raya Idulfitri atau Lebaran. Sikap memaafkan ini tidak hanya bermanfaat bagi penerima maaf yang dosanya mungkin seketika bisa dihapus, tapi juga bagi pemberi maaf itu sendiri yang rasa dendam dalam hatinya mungkin juga bisa hilang dalam sekejap setelah memberikan maaf tersebut.
Baca Juga: Lebaran Dua Kali, Umat Islam Bisa Dapat THR Dua Kali pada Tahun 2033
Di laboratoriumnya, Worthington dan rekan-rekan penelitinya pernah mencari tahu manfaat dari memafkan. Mereka ingin menentukan apakah tingkat stres seseorang berkaitan dengan kemampuan mereka untuk memaafkan pasangannya.
"Kami mengukur kadar kortisol dalam air liur 39 orang yang menilai hubungan mereka baik atau buruk. Kortisol adalah hormon yang memetabolisme lemak untuk respons cepat terhadap stres (dan setelah stres berakhir, lemak disimpan kembali di tempat yang mudah dijangkau — di sekitar pinggang). Orang dengan hubungan yang buruk (atau baru saja gagal) cenderung memiliki tingkat dasar kortisol yang lebih tinggi, dan mereka juga mendapat nilai lebih buruk pada tes yang mengukur kesediaan umum mereka untuk memaafkan. Ketika mereka diminta untuk memikirkan tentang hubungan mereka, mereka memiliki lebih banyak reaktivitas kortisol — yaitu, hormon stres mereka melonjak. Lompatan stres tersebut sangat berkorelasi dengan sikap tidak memaafkan mereka terhadap pasangannya," tulis Worthington.
"Orang-orang dengan hubungan yang sangat bahagia bukannya tanpa tekanan dan ketegangan di antara mereka. Tapi memaafkan kesalahan pasangannya tampaknya menjaga tekanan fisik mereka dalam kisaran normal," lanjut Worthington lagi.
Baca Juga: Mengapa Kita Mudah Memaafkan Saat Lebaran tapi Tidak di Waktu Lain?
Manfaat fisik dari pemberian maaf atau pengampunan tampaknya meningkat juga seiring bertambahnya usia, menurut sebuah studi baru-baru ini yang dipimpin oleh Loren Toussaint, seorang psikolog di Luther College di Iowa.
"Toussaint — bersama dengan David Williams, Marc Musick, dan Susan Everson — melakukan survei nasional terhadap hampir 1.500 orang Amerika, menanyakan sejauh mana setiap orang mempraktikkan dan mengalami pemaafan (terhadap orang lain, diri sendiri, dan bahkan jika mereka mengira telah mengalami pengampunan oleh Tuhan). Para peserta juga melaporkan kesehatan fisik dan mental mereka," beber Worthington dalam tulisan tersebut.
Toussaint dan rekan-rekannya kemudian menemukan bahwa orang-orang yang lebih tua dan setengah baya lebih sering memaafkan orang lain daripada orang-orang dewasa muda Mereka juga merasa lebih diampuni oleh Tuhan.
Terlebih lagi, para peneliti juga menemukan hubungan yang signifikan antara memaafkan orang lain dan kesehatan yang positif di antara orang-orang Amerika paruh baya dan lebih tua. Orang-orang berusia di atas 45 tahun yang telah memaafkan orang lain melaporkan kepuasan yang lebih besar dengan hidup mereka dan cenderung tidak melaporkan gejala tekanan psikologis, seperti perasaan gugup, gelisah, dan sedih.
Mengapa ada hubungan antara sikap tidak mau memaafkan dan gejala kesehatan yang negatif? "Pertimbangkan bahwa permusuhan adalah bagian utama dari sikap tidak mau mengampuni. Permusuhan juga telah ditemukan sebagai bagian dari perilaku tipe A yang tampaknya memiliki efek kesehatan yang paling merusak, seperti peningkatan risiko penyakit kardiovaskular. Meninggalkan dendam juga dapat membebaskan seseorang dari permusuhan dan segala akibat tidak sehatnya" papar Worthington.
Baca Juga: Pertanyaan Pribadi di Kumpul Keluarga, Bagaimana Cara Menghadapinya?
Bahkan, mungkin bukan hanya permusuhan dan stres yang menghubungkan sikap tidak mau memaafkan dengan kesehatan yang buruk. "Menurut tinjauan literatur tentang pemaafan dan kesehatan baru-baru ini yang diterbitkan oleh kolega saya Michael Scherer dan saya baru-baru ini," kata Worthington, sikap tidak mengampuni dapat membahayakan sistem kekebalan di banyak tingkatan."
"Misalnya," lanjutnya lagi, "ulasan kami menunjukkan bahwa sikap tidak memaafkan dapat menghambat produksi hormon penting dan bahkan mengganggu cara sel-sel kita melawan infeksi, bakteri, dan serangan fisik lainnya, seperti penyakit periodontal ringan."
Jadi, maafkanlah orang lain agar kita tak mengalami dampak buruk lebih lanjut semacam ini. Itu akan memberi kebaikan bagi diri kita sendiri juga.
Source | : | Greater Good Magazine |
Penulis | : | Utomo Priyambodo |
Editor | : | Mahandis Yoanata Thamrin |
KOMENTAR