Pada proses pengembangannya, DeepShake menggunakan jaringan pola yang mendalam seperti machine learning AI pada umumnya. Lewat inilah, alat itu mempelajari bagaimana getaran dari gempa akan merambat untuk diidentifikasi, berdasarkan pola gempa di masa lalu.
Dalam presentasinya, alat itu dilatih dengan memprediksi gerakan tanah di dekat Ridgrest, California. Lokasi itu berada di Zona Geser California timur yang aktif secara seismik, dan memiliki serangkaian gempa bumi pada 2019.
Wu bersama tim kemudian menggunakan urutannya untuk dipelajari DeepShake dalam memprediksi getaran tanah di daerah itu. Mereka mencatat setidaknya ada 36.000 gempa yang terjadi di Ridgecrest dari Juli hingga September di tahun itu.
Urutan pemasukan datanya, para peneliti mengenalkan bobot pada gempa bumi terlebih dahulu agar dapat bekerja lebih baik sebagai sistem peringatan dini.
Wu berujar dalam LiveScience, Meski tidak memberi informasi tentang lokasi detail dan jenis gempanya, alat ini justru mampu memperingatkan gempa ke stasiun seismik lainnya dalam tiga dan 13 detik sebelum kejadian.
Baca Juga: Mengapa Gempa Malang Menimbulkan Guncangan dan Kerusakan yang Luas?
Pengembangan alat ini masih berlanjut. Tetapi para peneliti yakin lewat sistem baru ini, DeepShake dapat memproses data lebih cepat dan generalisasi yang lebih mudah di berbagai wilayah rawan gempa.
Mereka membandingkan dengan alat prediksi sebelumnya yang menggunakan komputasi tradisional di California bernama ShakeAlert. Pada cara kerja ShakeAlert, alat itu menggunakan metode deteksi gelombang pertama dari gerakan gempa (gelombang P).
Lalu gelombang ini dikalkulasi untuk memprediksi tibanya gelombang besar yang menyebabkan guncangan (gelombang S) yang relatif lebih lambat.
"Saat kami memulai proyek ini, tujuan kami adalah untuk mengalahkan persamaan prediksi pergerakan tanah yang saat ini digunakan (metode yang dipakai ShakeAlert)," terang Avoy Datta, anggota penelitian.
Mengutip LiveScience, Datta menyebut bahwa proses lewat komputasi tradisional itu membutuhkan pemecahan numerik yang dijalankan lewat sebuah komputer super. Dalam proses hingga menemukan hasilnya baru diketahui beberapa menit dan jam setelah terdeteksi.
Baca Juga: Ilmuwan Kembangkan AI yang Dapat Menerjemahkan Isi Otak Menjadi Teks
"Jika kami menjalankan 25 model DeepShake, dibutuhkan sekitar 6,1 milidetik pada satu GPU penelitian [unit pemrosesan grafis]," tambahnya. "Prosesnya akan jadi sangat cepat."
Para peneliti menyebut dalam presentasinya, bahwa alat ini bukan berarti menjadi pesaing ShakeAlert, tetapi bisa digunakan untuk melengkapinya dalam memprediksi gempa.
Meski demikian para peneliti mengakui kekurangan DeepShake terhadap ShakeAlert. ShakeAlert unggul karena menggunakan persamaan yang lebih universal.
Sedangkan DeepShake harus dilatih ulang di setiap lokasi alat itu akan digunakan. Maka untuk memperluas pengujian, mereka berharap agar dapat mencobanya ke sesar dan urutan gempa lain.
"Tempat di mana pembelajaran mendalam benar-benar berkembang adalah tempat yang punya banyak data, dan banyak pola yang rumit untuk diungkap," tambah Wu.
Baca Juga: Teknologi Machine Learning Bantu Selamatkan Pelestarian Orangutan
Penulis | : | Afkar Aristoteles Mukhaer |
Editor | : | Mahandis Yoanata Thamrin |
KOMENTAR