Aturan prosedur kedokteran nuklir di AS hanya mengatur bagaimana obat ini diberikan kepada pasien yang masih hidup. Namun gambarannya bisa menjadi kurang jelas ketika pasien tersebut meninggal, berkat tambal sulam dari hukum dan standar yang berbeda di setiap negara bagian. Situasi yang terjadi pada pria 69 tahun yang status radioaktifnya lolos begitu saja tersebut adalah contoh dampaknya.
"Radiofarmasi menghadirkan tantangan keamanan postmortem yang unik dan sering diabaikan," kata para peneliti dari Mayo Clinic menjelaskan dalam laporan kasus tersebut, seperti dilansir Science Alert.
"Mengkremasi pasien yang terpajan (radiofarmasi), menguapkan radiofarmasi tersebut, yang kemudian dapat dihirup oleh para pekerja (atau dilepaskan ke komunitas yang berdekatan) dan menghasilkan paparan yang lebih besar daripada dari pasien yang hidup."
Baca Juga: Sisa Radioaktif dari Uji Bom Nuklir Perang Dingin Ungkap Usia Hiu Paus
Dalam kasus di Arizona ini, setelah para dokter yang merawat pria tersebut dan departemen keamanan radiasi di rumah sakit awal mengetahui kabar kematian pria tersebut, mereka segera menghubungi pihak krematorium.
Hampir sebulan setelah kremasi dilakukan, mereka menggunakan penghitung Geiger untuk mendeteksi tingkat radiasi di dalam ruang kremasi dan peralatan-peralatan di dalamnya, termasuk oven, penyaring vakum, dan penghancur tulang.
Apa yang mereka temukan di ruang krematorium tersebut adalah tingkat radiasi yang rendah tetapi tetap tinggi dibanding di lingkungan sekitarnya. Adapun detektor radiasi pribadi spektroskopi mengidentifikasi penyebab utama tingkat radiasi itu adalah radionuklida - lutetium Lu 177, senyawa radioaktif yang sama yang digunakan untuk merawat pria yang telah meninggal tersebut.
Source | : | Science Alert |
Penulis | : | Utomo Priyambodo |
Editor | : | Mahandis Yoanata Thamrin |
KOMENTAR