Di Amarna, pengambilan lahan untuk pertanian merupakan ancaman yang lebih besar ketimbang perampokan. Kini, setelah pompa diesel bisa membawa air sungai ke atas, petani mengklaim tanah gurun, termasuk pula bagian kota kuno yang belum diekskavasi. Secara resmi, situs ini dilindungi, tetapi penegakannya menjadi amat lemah karena revolusi. Mohammad Khallaf, yang saat itu menjabat direktur kantor benda antik di Minya, ibu kota wilayah, memberi tahu saya bahwa secara resmi, penduduk desa di sekitar Amarna dibatasi memiliki 300 feddan (126 hektare) lahan untuk ditanami. “Mereka menambah 300 lagi dengan cara kekerasan,”ujarnya. “Delapan puluh persen pengambilan lahan terjadi sejak revolusi.”
Revolusi itu juga menghentikan pembangunan Museum Aten, bangunan paling mengesankan di Minya. Bangunan modernis itu menjulang setinggi 50 meter di sisi Sungai Nil, dalam bentuk yang mengingatkan akan piramida. Di seluruh Mesir, Akhenaten adalah satu-satunya firaun yang masih dihormati dengan pembangunan arsitektur monumental. Ini merupakan bukti atas fakta bahwa para pemimpin negeri Muslim merangkul identitas terkenal Akhenaten sebagai seorang monotheis. Akan tetapi, bagaimana pun warisannya sepertinya tak bisa terhindar dari pergolakan politik. Lebih dari 130 miliar rupiah telah dipakai untuk museum tersebut sebelum pendanaannya tiba-tiba dihentikan, sebuah korban dari keruntuhan ekonomi pasca-Tahrir.
Pada suatu hari, saya mengunjungi tempat itu dan melihat sebelas pegawai duduk di sebuah kantor gelap dengan pendingin ruangan dimatikan. Di luar suhunya 43°C. Mohammad Shaben memperkenalkan dirinya sebagai manajer IT museum dan meminta maaf akan udara yang panas—mereka tak ada listrik. Saya bertanya apa yang dilakukan seorang manajer IT tanpa listrik.
“Tidak ada yang harus saya lakukan,” ujar Shaben. “Semua orang menunggu.”
Baca Juga: Arkeolog Singkap Asal-usul Masyarakat Mesir Kuno Berkat DNA Mumi
Usia pria ini 26, dan yang lain kebanyakan bahkan lebih muda. Semuanya terpelajar: kurator, perancang interior, spesialis restorasi. Di Mesir, sekitar 60 persen populasi berusia di bawah 30, dan orang muda mendominasi pengunjuk rasa Tahrir. Mereka juga yang membayar paling mahal dari kegagalan revolusi. Sejak kudeta, penjara Mesir menjadi rumah bagi puluhan ribu tahanan politik, banyak di antaranya masih muda. Hampir sepertiga kaum muda negara itu menganggur. Shaben memberi tahu saya bahwa ia dan pegawai pemerintah lainnya diharuskan datang dan duduk tanpa melakukan apa pun setiap hari, meskipun pembangunan fasilitas itu telah dihentikan.
Ia lalu mengajak saya berkeliling museum, yang mempunyai lima lantai, 14 ruang pamer, dan sebuah bioskop, semuanya belum selesai dan terbuka diterpa cuaca. Di mana-mana berserakan ubin, baja rangka bangunan, dan saluran AC berkarat. “Awas ada kelelawar,” kata Shaben, sewaktu kami memasuki teater. Ia berkata suatu hari nanti akan ada 800 kursi di sana.
Seorang inspektur benda antik, Ahmad Gaafar, menemani kami. Ia mengeluhkan huru-hara politik yang menghambat kariernya sebagai kurator. Pola ini sepertinya abadi. Di semua tempat dan waktu, revolusi memangsa kaum muda. Gaafar menyinggung tentang pemilihan presiden Mesir terbaru, yang dimenangkan oleh Abdel Fattah el-Sisi, jenderal pemimpin kudeta yang melengserkan Morsi. Gaafar melihat hubungan antara kudeta dengan masa Akhenaten.
“Ada yang bilang kalau Morsi seperti Akhenaten, dan Sisi seperti Horemheb,” tutur Gaafar. “Horemheb membebaskan Mesir dari keadaan teokratis yang semakin melemah.” Ia melanjutkan, dengan penuh harap: “Dan ia menyiapkan jalan bagi periode Ramses, masa termegah dalam sejarah Mesir. Sama dengan Sisi —ia menyiapkan Mesir untuk menjadi besar lagi.
Perasaan tersebut—menyiapkan Mesir untuk menjadi besar lagi—jauh lebih tua dibandingkan Sisi atau bahkan Akhenaten. Pada masa Mesir kuno, setelah periode lemah dan tercerai-berai, para pemimpin sering kali mengumumkan wehem mesut, secara harafiah berarti “mengulang kelahiran”—sebuah renaisans. Mereka berpaling kepada lambang kuno sebagai cara menggunakan kejayaan masa lampau sebagai janji bagi masa depan yang penuh keberhasilan. Tutankhamun mengumumkan wehem mesut, dan kelihatannya Horemheb juga demikian. Revolusi memperoleh legitimasi jika dihubungkan dengan masa lalu. Itulah sebabnya slogan di Tahrir sering diiringi dengan gambar Gamal Abdul Nasser dan Anwar Sadat. Inilah juga mengapa kaum marjinal di seluruh dunia, tertarik dengan figur Akhenaten.
Baca Juga: Resep Medis 'Bapak Kedokteran' Tersingkap di Biara Kuno Mesir
Pada 2012, setelah Morsi dan Ikhwanul Muslimin berkuasa, mereka mengesahkan undang-undang dasar yang menyebutkan “monoteisme” Akhenaten, dan mereka menamakan program kebijakannya Nahda, istilah Arab untuk Renaisans.
Di Mesir, selalu ada godaan untuk memegang cermin modern guna melihat masa yang amat lampau, menciptakan kembali dunia firaun dalam gambaran kita. Namun, adalah benar pula bahwa orang Mesir kuno mengembangkan taktik politik canggih. Seni Amarna sering kali berfungsi sebagai propaganda, memperlihatkan Akhenaten memberi penghargaan bagi pencari muka dan berparade keliling kota dengan penjaga penuh hormat. Barry Kemp menulis, adegan itu menampilkan “karikatur tanpa sengaja tentang pemimpin modern yang menyenangkan hati orang dalam perangkap pertunjukan karismatik.”
Di situs Kuil Aten Besar, saya bertanya kepada Kemp, apakah pola pemikiran dan tingkah laku seperti itu bersifat universal di semua masa. “Kita semua ini spesies yang sama,” ujarnya. “Kita terhubung sampai tahap tertentu untuk berpikir dan berperilaku sama. Tetapi, tradisi yang dibentuk lama juga mengatur setiap masyarakat. Itulah tanggung jawabnya—untuk menemukan keseimbangan antara pola universal dengan pola yang khas secara kultural.”
Amarna Project, yang mengelola penelitian di situs itu, tetap memiliki kantor di Kairo dalam sebuah gedung di sebelah Tahrir. Anna Stevens berkata bahwa lingkungan ini memberikannya sudut pandang baru tentang masa lalu. “Hidup di masa ini membuat saya jauh lebih banyak berpikir tentang Akhenaten dan dampak revolusi,” tuturnya, merujuk kepada masa naiknya Sisi. “Saya menjadi tertarik dengan soal pemimpin pria yang kuat.” Ia pun berkomentar bahwa di Amarna, makam pejabat tinggi berhiaskan Aten serta keluarga kerajaan. Tetapi, sampai saat ini, gambaran seperti ini belum ditemukan di permakaman rakyat biasa. “Tak disebutkan tentang Akhenaten atau Nefertiti,” ujarnya. “Kelihatannya itu bukanlah tempat mereka.”
Ia mengamati, dinamika yang sama ada dalam kaum elite politik masa kini. “Kau bisa lakukan perubahan yang amat radikal di atas, tetapi di bawahnya, tak ada yang berubah,” katanya. “Kau bisa menggeser seluruh kota ke bagian lain Mesir; kau bisa menggeser segenap kelompok orang ke Lapangan Tahrir—tetapi, tak ada yang berubah.”
Dalam pandangannya, revolusi adalah tindakan mendongeng yang selektif. “Akhenaten menciptakan kisah,” ujar Stevens pada suatu hari di kantornya. Lalu, ia menunjuk pada foto kerangka dari kuburan rakyat jelata. “Tetapi, kisah ini sungguh bukan untuk orang-orang ini.” Kisah mereka tak akan pernah benar-benar diketahui. Sama seperti kehidupan sebagian besar orang Mesir masa kini yang diabaikan, saat kita memusatkan perhatian kepada figur dominan politik nasional. Jika kita merasa sulit menangkap seluruh pengalaman re-volusioner selama enam tahun belakangan, mung-kinkah kita bisa memahami politik pertengahan abad ke-14 SM?
“Begitulah hidup,” kata Steven. Ia duduk enam lantai di atas Tahrir, dikelilingi oleh tebaran data dari ekskavasi Amarna. Namun, ia kelihatannya nyaman saja dengan ketidakpastian mendasar Akhenaten: misteri akan keyakinannya, pesan dari kerangka rakyatnya, dan semua pecahan yang tidak akan pernah disatukan lagi. Ia tersenyum dan berkata, “Tidak ada kisah yang jelas.”
Source | : | national geographic |
Penulis | : | National Geographic Indonesia |
Editor | : | Mahandis Yoanata Thamrin |
KOMENTAR