Nationalgeographic.co.id—Setelah kematiannya, Konfusius dipuji sebagai "Raja Tak Bermahkota". Kebijaksanaan filsuf ini menjadi buku pedoman Cina tentang pemerintahan dan kode moralitas selama ribuan tahun.
Partai Komunis Cina kini telah mengalami lonjakan kekayaan beberapa tahun terakhir melalui kaputalisme kuno. Akan tetapi, retorika Marxis lama dari tahun-tahun Mao berkuasa sudah tidak cocok lagi. Jadi mereka mencari ideologi baru untuk membenarkan pemerintahan mereka dan kembali ke Konfusius. Tapi versi yang mereka gunakan tidak sama dengan versi The Analects. Beijing berfokus pada Konfusius kekaisaran tentang kepatuhan kepada kaisar, hierarki, dan kesetiaan.
Karena banyak dilakukan kaisar lama, tradisi politik khas Cina dapat mendukung jenis pemerintahan otoriter mereka. Pada saat yang sama, ini dapat digunakan untuk menangkis semua ide buruk yang tidak mereka inginkan dari Barat, seperti demokrasi dan hak asasi manusia.
Dengan menghidupkan kembali Konfusius, mereka menyatakan bahwa Cina memiliki budaya berdasarkan sejarah politik dan filosofisnya sendiri. Oleh karena itu, Cina tidak harus menuju demokrasi seperti yang diinginkan para pendukung Barat. Ia dapat memiliki masa depan politik berdasarkan apa yang dilihatnya sebagai masa lalu filosofinya.
Mereka suka menggunakan kata "harmoni" sebagaimana konsep Konfusian. Tetapi yang dimaksud Komunis dengan harmoni ialah tidak ada perbedaan pendapat tentang aturan partai. Sementara Konfusianisme berarti berbeda. Itu tentang masyarakat memenuhi tanggung jawab mereka dan menciptakan situasi yang harmonis.
Apa yang dilakukan Partai Komunis Cina adalah menggunakan versi konfusianisme yang lebih sempit dan mendorong ide-ide mereka untuk dapat meyakinkan publik bahwa sistem yang mereka jalankan adalah perpanjangan dari sistem politik yang selalu dimiliki Cina.
Penulis Konfusius, Michael Schuman, menceritakan bahwa Konfusius berasal dari keluarga pejabat tingkat rendah. Ayahnya meninggal ketika dia masih sangat muda dan ia dibesarkan oleh seorang ibu tunggal.
Konfusius mengubah dirinya menjadi seorang ahli sastra, sejarah, dan puisi dan menciptakan doktrinnya sendiri. Tujuan doktrin ini untuk memulihkan perdamaian dan ketertiban. Karena di masa ia hidup iala masa perang dan konflik ti Cina antara banyak negara feodal, dan dia percaya telah menyusun doktrin kebajikan yang dapat membawa kemakmuran kembali ke Cina.
Sayangnya, dalam hidupnya sendiri, dia gagal dalam visi itu, karena dia tidak dapat menemukan para adipati dan raja untuk menganut ide-idenya. Tetapi ia berhasil sebagai guru dan sangat sukses.
"Dia memiliki siswa yang sangat setia yang menjadi muridnya, dan mereka menjalankan misi dan ajarannya sampai Konfusianisme akhirnya mejadi filosofi yang dominan di Cina," kata Schuman kepada National Geographic.
Source | : | National Geographic |
Penulis | : | Fikri Muhammad |
Editor | : | Mahandis Yoanata Thamrin |
KOMENTAR