Nationalgeographic.co.id—Lebah raksasa Wallace atau Megachile pluto bukanlah lebah biasa. Ia punya panjang seukuran ibu jari, dengan tubuh empat kali lipat lebih besar dari lebah madu, dan rahang yang mirip seperti milik kumbang.
Meski tercatat sebagai lebah terbesar di dunia, lebah raksasa Wallace telah lama dikira punah oleh para ilmuwan. Lebah asli Indonesia itu tak pernah terlihat dalam 38 tahun, sebelum pada akhirnya para ilmuwan menemukannya kembali di Kepulauan Maluku Utara, Indonesia, pada Januari 2019.
“Sungguh menakjubkan melihat 'bulldog terbang' dari seekor serangga yang kami tidak yakin ada lagi,” ujar Clay Bolt, seorang fotografer alam yang menemukan kembali lebah raksasa Wallace, dalam sebuah wawancara bersama The Guardian.
“Betapa indah dan besar spesies ini dalam kehidupan, untuk mendengar suara kepakan sayap raksasanya saat terbang melewati kepalaku, ini sungguh luar biasa.”
Bolt tidak sendirian kala menemukan lebah raksasa itu. Bersama dengan tim peneliti biologi dari Amerika Utara dan Australia, ia menemukan lebah raksasa Wallace betina yang hidup di dalam sarang rayap di pohon, sekitar dua meter di atas tanah.
Lebah raksasa Wallace sendiri mendapatkan namanya dari sang penemunya, Alfred Russel Wallace. Penjelajah sekaligus ahli biologi asal Inggris itu, pertama kali menemukan spesies lebah raksasa Wallace pada 1858 ketika mendatangi Pulau Bacan yang terletak di Kepulauan Maluku.
Baca Juga: Babi Terkecil di Dunia, yang Sempat Dikira Punah, Kembali ke Alam
Ketika menemukan lebah tersebut, Wallace mendeskripsikannya sebagai "serangga besar seperti tawon hitam, dengan rahang yang sangat besar seperti kumbang rusa." Namun, setelah lebih dari satu abad Wallace menemukannya, tak ada lagi Megachile pluto yang dilaporkan.
Pada 1981, seorang peneliti serangga asal AS bernama Adam Messer, menemukan beberapa sarang Megachile pluto di Pulau Bacan dan pulau-pulau sekitarnya. Penemuan sarang ini begitu langka sampai penduduk setempat mengatakan bahwa mereka tak pernah melihat sarang semacam itu sebelumnya.
Sebenarnya, menurut laporan The Guardian, seorang ahli serangga telah mengumpulkan satu lebah raksasa Wallace pada tahun 1991. Namun, penemuan itu tidak pernah dicatat dalam jurnal ilmiah. Selain itu, pada 2018, lebah raksasa Wallace yang telah mati diketahui terlihat di situs lelang online.
Setelah penemuan Messer, praktis tak ada lagi penemuan lebah raksasa Wallace yang dipublikasi secara ilmiah, hingga kemudian Bolt dan para peneliti gabungan menemukannya.
Temuan atas lebah raksasa Wallace ini memberi harapan bahwa spesies ini masih hidup di hutan-hutan di Indonesia. Namun kehidupan spesies tersebut sedang terancam.
Penggundulan hutan secara besar-besar di Indonesia mengganggu habitatnya. Selain itu, ukuran dan kelangkaannya membuat lebah raksasa Wallace jadi target para kolektor. Mirisnya, tidak ada perlindungan legal terhadap perdagangan lebah raksasa Wallace.
Baca Juga: Status Burung Indonesia 2021: Sembilan Jenis Makin Terancam Punah
Robin Moore, ahli konservasi biologi dari Global Wildlife Conservation, mengatakan bahwa ada risiko saat memberitakan temuan lebah raksasa ini. Ia berkata sangat penting bagi para ahli konservasi untuk membuat pemerintah Indonesia menyadari kehadiran lebah ini dan mengambil langkah untuk melindungi spesies serta habitatnya.
“Kami tahu bahwa menyebarkan berita tentang penemuan kembali (lebah raksasa Wallace) ini bisa tampak seperti risiko besar mengingat permintaan (yang tinggi dari para kolektor terhadap spesies) tersebut, tetapi kenyataannya adalah bahwa para kolektor yang tidak bermoral sudah tahu bahwa lebah itu ada di luar sana,” ujar Moore.
"Dengan membuat lebah ini sebagai yang terdepan untuk dilestarikan, kami percaya bahwa spesies ini bisa memiliki masa depan cerah dibanding kalau kita membiarkannya untuk hilang begitu saja," tegasnya.
Source | : | The Guardian |
Penulis | : | Utomo Priyambodo |
Editor | : | Mahandis Yoanata Thamrin |
KOMENTAR