Angkong pertama kali diciptakan di Jepang pada 1869, setahun setelah Restorasi Meiji. Angkong merupakan salah satu transportasi pertama di Jepang yang memiliki roda, karena rezim Tokugawa melarang roda untuk menghindari mobilisasi pemberontakan terhadap shogun.
Penemunya sendiri masih menjadi perdebatan peneliti. Akan tetapi menurut M. William Steele dalam tulisannya yang bertajuk Mobility on the Move: Rickshaws in Asia, permohonan izin produksi angkong pertama kali diajukan di Tokyo oleh tiga pengusaha, yakni Izumi Yosuke, Suzuki Tokujiro, dan Takayama Kosuke.
Kerja sama dari tiga pengusaha ini tidak serta merta membuahkan hasil. Oleh karena itu, Suzuki berusaha mempromosikan kelebihan angkong yang "cepat, murah, dan nyaman" ini melalui pamflet. Ia juga mendemonstrasikan kendaraan murah meriah ini kepada keluarga dan teman-temannya.
Masyarakat perlahan-lahan melihat potensi dari angkong. Harganya murah dan kecepatannya tidak jauh berbeda dari kereta kuda. Selain itu, angkong juga mudah melalui gang-gang kecil yang tidak dapat dilalui kuda. Dalam tiga tahun, popularitas angkong meningkat pesat. Pada 1872, jumlah angkong di jalanan Tokyo mencapai 40.000 unit. Sementara di pada 1875, keberadaannya mampu mencapai 100.000 unit.
Orang Jepang menyebut moda transportasi mutakhir ini dengan nama jinrikisha. Artinya, "kendaraan yang ditarik orang". Kata ini kemudian diserap ke dalam bahasa Inggris menjadi rickshaw, dan diserap ke dalam bahasa Belanda menjadi riksja.
Popularitas angkong semakin melejit dengan inovasi yang dihadirkan Akiha Daisuke, seorang pengusaha dari Ginza. Pada pertengahan 1870-an, Akiha memodifikasi transportasi ini dengan menambahkan kursi empuk, atap, dan pernis kayu untuk membuatnya lebih tahan lama. Dengan inovasi ini, perusahaan Akiha menjadi produsen angkong terbesar di Jepang.
Penulis | : | Eric Taher |
Editor | : | Mahandis Yoanata Thamrin |
KOMENTAR