Nationalgeographic.co.id—Di masa kini, beragam transportasi sudah dapat menjadi pilihan masyarakat urban. Semuanya ada, mulai dari transportasi massa seperti kereta hingga transportasi yang lebih personal seperti ojek daring.
Namun bagi masyarakat masa lalu, menempuh jarak jauh masih merupakan barang mewah. Mesin pada saat itu belum ditemukan, sehingga transportasi masa lalu menggunakan tenaga yang ditemukan di alam, dari tenaga hewan seperti kuda hingga tenaga urat manusia.
Angkong menjadi salah satu perwujudan transportasi "manual" tersebut. Transportasi ini menyerupai gerobak beroda dua dengan kursi empuk dan ditarik dengan tenaga manusia. Pada masanya, angkong merupakan transportasi yang revolusioner, dan menjadi nadi dari transportasi Asia.
Angkong pertama kali diciptakan di Jepang pada 1869, setahun setelah Restorasi Meiji. Angkong merupakan salah satu transportasi pertama di Jepang yang memiliki roda, karena rezim Tokugawa melarang roda untuk menghindari mobilisasi pemberontakan terhadap shogun.
Penemunya sendiri masih menjadi perdebatan peneliti. Akan tetapi menurut M. William Steele dalam tulisannya yang bertajuk Mobility on the Move: Rickshaws in Asia, permohonan izin produksi angkong pertama kali diajukan di Tokyo oleh tiga pengusaha, yakni Izumi Yosuke, Suzuki Tokujiro, dan Takayama Kosuke.
Kerja sama dari tiga pengusaha ini tidak serta merta membuahkan hasil. Oleh karena itu, Suzuki berusaha mempromosikan kelebihan angkong yang "cepat, murah, dan nyaman" ini melalui pamflet. Ia juga mendemonstrasikan kendaraan murah meriah ini kepada keluarga dan teman-temannya.
Masyarakat perlahan-lahan melihat potensi dari angkong. Harganya murah dan kecepatannya tidak jauh berbeda dari kereta kuda. Selain itu, angkong juga mudah melalui gang-gang kecil yang tidak dapat dilalui kuda. Dalam tiga tahun, popularitas angkong meningkat pesat. Pada 1872, jumlah angkong di jalanan Tokyo mencapai 40.000 unit. Sementara di pada 1875, keberadaannya mampu mencapai 100.000 unit.
Orang Jepang menyebut moda transportasi mutakhir ini dengan nama jinrikisha. Artinya, "kendaraan yang ditarik orang". Kata ini kemudian diserap ke dalam bahasa Inggris menjadi rickshaw, dan diserap ke dalam bahasa Belanda menjadi riksja.
Popularitas angkong semakin melejit dengan inovasi yang dihadirkan Akiha Daisuke, seorang pengusaha dari Ginza. Pada pertengahan 1870-an, Akiha memodifikasi transportasi ini dengan menambahkan kursi empuk, atap, dan pernis kayu untuk membuatnya lebih tahan lama. Dengan inovasi ini, perusahaan Akiha menjadi produsen angkong terbesar di Jepang.
Keberadaan angkong pun mulai dilirik oleh pengusaha Barat. Mereka melihat potensi angkong sebagai moda kendaraan yang mudah dan praktis di koloni-koloni mereka. Sejumlah pengusaha mulai mengajukan izin impor terhadap pemerintah Jepang, khususnya model angkong buatan Akiha. Dari sinilah, angkong mulai menyebar ke Asia.
Di Tiongkok, angkong pertama kali mendarat di Shanghai dan Hong Kong pada tahun 1874. Kedua kota tersebut memang dikenal sebagai pusat keberadaan Barat di Asia Timur. Menariknya, orang-orang di Shanghai bahkan memiliki pabrik sendiri, yang memproduksi angkong yang lebih murah dan mampu menyaingi buatan Jepang. Angkong kemudian mencapai Beijing, ibukota Dinasti Qing, pada tahun 1886.
Inggris memperkenalkan angkong kepada India melalui kota Shimla pada tahun 1880. Namun, keberadaan angkong baru menjadi populer setelah orang Tionghoa membawanya ke Kalkuta pada tahun 1914.
"Pada awalnya, orang Tionghoa menggunakan angkong untuk membawa sembako," tulis Shirren Hyrapiet dan Alyson L. Greiner dalam artikel Calcutta's Hand-Pulled Rickshaws: Cultural Politics and Place Making in A Globalizing City. Mereka melanjutkan, bahwa orang Tionghoa "kemudian memohon izin kepada pemerintah untuk menggunakan angkong sebagai sarana angkutan orang."
Angkong juga menemui popularitas di Singapura. Pertama kali diperkenalkan pada 1880, angkong mengalahkan popularitas gharry (kereta kuda) yang sempat mendominasi jalanan sang Kota Singa. Jumlah angkong yang teregistrasi mencapai 29.646 unit pada tahun 1922.
Di Indonesia, jejak angkong yang paling mencolok dapat ditelusuri di Medan. "Penarik angkong adalah salah satu pekerjaan orang Tionghoa di Medan tempo dulu," cuit Azmi Abubakar, pendiri Museum Pustaka Peranakan Tionghoa, di Twitter. Oleh karena itulah, orang Indonesia juga menyebut kendaraan ini dengan nama lancia atau langca, yang berasal dari bahasa Hokkian. Sayangnya, belum ada penelitian lebih lanjut tentang keberadaan angkong di Indonesia.
Namun seiring waktu, penggunaan angkong mulai menurun sejak tahun 1920. Di Jepang, hal ini disebabkan karena meruahnya kendaraan bermotor dan transportasi massal seperti trem dan kereta api. Sementara di negara-negara lain, angkong menemui banyak pertentangan dengan berbagai alasan.
Di Manila, angkong ditolak habis-habisan oleh serikat pekerja kusir delman (cochero). "Pada 19 Mei 1902, mereka merilis pernyataan bertuliskan 'Orang Filipina bukan binatang' sebagai bentuk protes," tegas Michael D. Pante dalam jurnal Rickshaws and Filipinos: Transnational Meanings of Technology and Labor in American-Occupied Manila.
Sementara itu, angkong menjadi masalah sosial di Shanghai. Otoritas Permukiman Internasional Shanghai (Shanghai International Settlement) bahkan sempat ingin mereformasi angkong pada tahun 1934. Mereka melihat kehidupan ekonomi penarik angkong yang tidak manusiawi dan keberadaan mereka yang mengganggu lalu lintas kota. Akan tetapi, pengesahan kebijakan reformasi ini gagal karena intervensi mafia yang mengontrol kepemilikan angkong.
Di Indonesia, angkong secara resmi dilarang pada tahun 1946 tanpa alasan yang jelas. Azmi Abubakar menulis bahwa setidaknya terdapat 40.000 angkong yang dibakar di Medan supaya tidak digunakan kembali.
Keberadaan angkong juga masih menjadi perdebatan di Kalkuta, kota terakhir yang masih melegalkan angkong hingga saat ini. Dilanisir dari liputan "Last Days of the Rickshaw" dari Calvin Trillin untuk National Geographic, sejumlah orang menganggap angkong sebagai warisan kolonial yang memperbudak penarik angkong. Banyak penarik angkong yang berpenghasilan rendah dan hidup dalam kondisi tidak layak, dan pemerintah Kalkuta bahkan sudah berencana untuk menggantikannya.
Akan tetapi, peneliti menilai bahwa angkong di Kalkuta tidak bisa dihilangkan begitu saja. Angkong menjadi satu-satunya transportasi yang mampu menembus banjir yang sering menerjang Kalkuta. Beberapa penarik angkong bahkan bekerja serabutan di rumah orang-orang kelas menengah. Selain itu, mereka juga menjadi langganan anak sekolah, dan bahkan dikontrak menjadi penjaga rumah di malam hari. Kontrak sosial yang terbentuk ini membuat penghilangan angkong malah berpotensi menimbulkan masalah sosial yang lebih luas.
Dalam perkembangannya, angkong juga berevolusi menjadi transportasi baru. Perkawinan angkong dan sepeda melahirkan becak, sementara persekutuan angkong dan mesin menghasilkan bentor atau bajaj. Angkong akhirnya digantikan oleh becak dan bajaj di sejumlah kota seperti Singapura dan Medan.
Angkong mungkin sudah tidak lagi ditemui di kota-kota besar masa kini. Akan tetapi, ruang kosong yang ditinggalkannya akan kembali terisi dengan kendaraan yang lebih modern di masa depan.
Penulis | : | Eric Taher |
Editor | : | Mahandis Yoanata Thamrin |
KOMENTAR