Keberadaan angkong pun mulai dilirik oleh pengusaha Barat. Mereka melihat potensi angkong sebagai moda kendaraan yang mudah dan praktis di koloni-koloni mereka. Sejumlah pengusaha mulai mengajukan izin impor terhadap pemerintah Jepang, khususnya model angkong buatan Akiha. Dari sinilah, angkong mulai menyebar ke Asia.
Di Tiongkok, angkong pertama kali mendarat di Shanghai dan Hong Kong pada tahun 1874. Kedua kota tersebut memang dikenal sebagai pusat keberadaan Barat di Asia Timur. Menariknya, orang-orang di Shanghai bahkan memiliki pabrik sendiri, yang memproduksi angkong yang lebih murah dan mampu menyaingi buatan Jepang. Angkong kemudian mencapai Beijing, ibukota Dinasti Qing, pada tahun 1886.
Inggris memperkenalkan angkong kepada India melalui kota Shimla pada tahun 1880. Namun, keberadaan angkong baru menjadi populer setelah orang Tionghoa membawanya ke Kalkuta pada tahun 1914.
"Pada awalnya, orang Tionghoa menggunakan angkong untuk membawa sembako," tulis Shirren Hyrapiet dan Alyson L. Greiner dalam artikel Calcutta's Hand-Pulled Rickshaws: Cultural Politics and Place Making in A Globalizing City. Mereka melanjutkan, bahwa orang Tionghoa "kemudian memohon izin kepada pemerintah untuk menggunakan angkong sebagai sarana angkutan orang."
Angkong juga menemui popularitas di Singapura. Pertama kali diperkenalkan pada 1880, angkong mengalahkan popularitas gharry (kereta kuda) yang sempat mendominasi jalanan sang Kota Singa. Jumlah angkong yang teregistrasi mencapai 29.646 unit pada tahun 1922.
Di Indonesia, jejak angkong yang paling mencolok dapat ditelusuri di Medan. "Penarik angkong adalah salah satu pekerjaan orang Tionghoa di Medan tempo dulu," cuit Azmi Abubakar, pendiri Museum Pustaka Peranakan Tionghoa, di Twitter. Oleh karena itulah, orang Indonesia juga menyebut kendaraan ini dengan nama lancia atau langca, yang berasal dari bahasa Hokkian. Sayangnya, belum ada penelitian lebih lanjut tentang keberadaan angkong di Indonesia.
Penulis | : | Eric Taher |
Editor | : | Mahandis Yoanata Thamrin |
KOMENTAR