Padahal, saat itu hanyalah para orang tua yang berkebiasaan pinang sirih. Pada saat itu pun sudah tidak banyak orang yang gemar pinang sirih. Pun, bukan tradisi pergaulan di kampungnya.
Tradisi mengunyah pinang sirih hanya dilakukan oleh orang tua saat ritual tertentu seperti pengajian, pernikahan, bahkan pengobatan spiritual.
Di kampungnya, penyebutan untuk kegiatan pinang sirih bisa menjadi identitas etnis. Biasanya kata “nyirih” hanya diucapkan oleh orang-orang dari etnis Melayu. Sedangkan untuk orang-orang dari etnis Batak Toba menyebutnya dengan kata “nginang”.
Darimana tradisi pinang sirih bermula? Sejak kapan manusia gemar mengunyahnya? Sampai saat ini, asal mula tradisi ini masih belum diketahui secara pasti. Namun, banyak sumber yang bisa digunakan sebagai referensi untuk mempelajari tradisi ini. Buku Betel Chewing Traditions in South-East Asia karya Dawn F. Rooney, beberapa kebiasaan berpinang sirih telah ditemukan di Asia Tenggara sejak lebih dari 2.000 tahun silam, dan bertahan hingga abad ke-20.
Baca Juga: Selidik Jalur Rempah, Seteguk Riwayat Minuman Beralkohol Nusantara
Sejauh ini bukti arkeologi paling awal terdapat di Gua Roh di barat laut Thailand. Di sana ditemukan sisa-sisa pinang atau Areca catechu yang diyakini berasal dari 10.000 SM. Namun, Profesor Riset Harry Truman Simanjuntak, seorang arkeolog yang telah purnakarya dari Pusat Penelitian Arkeologi Nasional meragukan temuan tersebut. Menurutnya, tidak ada bukti kuat untuk menyimpulkan apakah sisa-sisa pinang tersebut benar-benar digunakan untuk tradisi pinang sirih pada masa itu.
Selain di Thailand, temuan gigi pada kerangka yang menunjukkan bukti kunyahan sirih, dengan usia sekitar 3.000 tahun juga sempat ditemukan di Gua Duyong di Filipina. Indonesia pun tidak ketinggalan, Truman bercerita bahwa dirinya sempat menemukan jejak-jejak yang diduga sebagai bukti adanya kebiasaan menginang di beberapa situs.
Temuan yang paling tua sejauh ini, ungkapnya, adalah kerangka manusia di Song Keplek dengan jejak menginang pada gigi yang berwarna cokelat kemerahan. Menurut hasil penanggalan, kemungkinan kerangka tersebut berusia sekitar 3.000-an tahun.
Penulis | : | National Geographic Indonesia |
Editor | : | Mahandis Yoanata Thamrin |
KOMENTAR