Nationalgeographic.co.id—Gambir dikenal dunia sebagai tanaman endemik Sumatra. Pohon ini pernah dibudidayakan di Kepulauan Riau mulai 1730-an. Mengapa rempah ini begitu populer?
Pada akhir abad ke-18, permintaan pasar akan gambir sangat tinggi. Gambir digunakan sebagai cairan penyamak produk kulit, penambah ramuan kesehatan atau pengobatan yang hebat. Manfaat terbesarnya digunakan sebagai pewarna atau penguat warna batik di Pulau Jawa.
Tanaman ini menjadi bagian dari tradisi pinang sirih Nusantara. Batavia menjadi tempat kapal-kapal pembawa gambir berlabuh untuk dibawa ke sentra batik Jawa dan Madura.
Tak heran, kita memiliki sejumlah tempat yang memiliki toponimi seperti Pasar Gambir di Batavia. Toponimi “Gambiran” muncul di wilayah sentra batik—seperti di Cirebon, Semarang, Kudus, Pati, Rembang, Lasem, Bangkalan, Banyuwangi, Solo, dan Yogyakarta. Biasanya, Desa Gambiran terletak di wilayah permukiman masyarakat Cina Jawa dan sentra batik. Toponimi Gambiran disebut-sebut sebagai tempat pengumpulan gambir dari Sumatra sebelum digunakan untuk keperluan penyamakan kulit dan pewarnaan batik.
Pada awal abad ke-19 antara 1830 sampai 1850, gambir pun mendunia. Dalam buku A General History of The Chinese in Singapore (2019) disebutkan bahwa Inggris tercatat sebagai pengimpor gambir terbesar mulai 1849. Saat itu gambir digunakan sebagai penyamak kulit. Singapura menjadi simpul perdagangan terbesar sebelum dipasarkan Eropa. Singapura melakukan impor gambir dalam jumlah besar dari Bintan.
Bintan pernah terkenal sebagai tempat Sultan Mahmud memindahkan kekuasaannya ketika Malaka jatuh ke tangan Portugis pada 1511. Bintan, yang terletak di Selat Singapura atau Selat Riau, merupakan nama legendaris yang tercatat dalam kronik beberapa pejalan seperti Marco Polo dan Ibn Said, setidaknya sejak abad ke-13. Bahkan Marco Polo menyebut Bintan dengan julukan ‘Pasar Rempah’. Demikian juga Bintan tercatat dalam kronik Cina abad ke-14 sampai abad ke-19. Bintan sendiri telah memiliki hubungan tributial pada masa Dinasti Yuan (1259–1368). Tanjungpinang menjadi titik ramai pelabuhan antarbangsa perdagangan rempah.
Menurut tutur warga lokal, nama Tanjungpinang diambil dari posisi yang menjorok ke laut, yang banyak ditumbuhi sejenis pohon pinang. Pohon yang berada di tanjung itu menjadi petunjuk bagi pelayar yang akan memasuki Sungai Bintan.
Kota ini merupakan pintu masuk ke Sungai Bintan. Di sinilah kesibukan Kerajaan Bentan dan pusat kebudayaan Melayu, serta lalu lintas perdagangan. Tanjungpinang tidak terlepas dari Kerajaan Melayu Johor–Riau.
Baca Juga: Jejak Jalur Rempah, Tradisi Pinang Sirih dan Migrasi Manusia
Tanjungpinang merupakan tilas Kerajaan Melayu Riau Lingga nan masyur di Pulau Bintan. Tidak lengkap rasanya, jika kita tidak mengunjungi kawasan pecinan di wilayah kotanya dan Pulau Senggarang.
Senggarang merupakan permukiman tua yang dibangun oleh komunitas Cina suku Teociu mulai awal abad ke-18, sekitar 1722. Ketika itu penguasa Kerajaan Melayu di Kepulauan Riau mulai membuka lahan perkebunan gambir. Yang Dipertuan Muda Daeng Celak, seorang keturunan Bugis, mengundang dan mendatangkan orang Cina ke Senggarang dan memberikan mereka lahan untuk bermukim. Setelah itu, Kompeni mendatangkan orang Cina ke Senggarang secara besar-besaran untuk membuka perkebunan gambir.
Pecinan ini berada di seberang kota Tanjungpinang, yang sekarang merupakan Ibu kota Provinsi Kepulauan Riau sejak 1958. Sebelumnya, pecinan ini merupakan Ibu kota Provinsi Riau yang kini Ibu kotanya telah pindah ke Pekanbaru, Riau daratan.
Bintan dan Riau, bukan nama asing dalam perjalanan sejarah masa kerajaan Sriwijaya, Majapahit, dan Malaka. Ketiganya sukses membawa area Strait Settlement, yang sekarang sering disebut Singapura, Johor, Riau (kini sohor dengan sebutan Sijori) pada konstelasi wilayah bersama sejak abad ke-8 sampai awal abad ke-16.
Bintan, nama kuno yang tak dimungkiri tercatat dalam kronik Sejarah Dinasti Yuan (Yuan Shi tahun 1274 bulan 2) bab ke-28 tertulis: “Pada hari ulang tahun kaisar, Bin(g) Tan dan negara lainnya datang untuk memberi penghormatan.”
Bin(g) Tan mengacu pada Pulau Bintan, Kepulauan Riau. Nama lain Bintan yang tercatat dalam kronik Cina Shun Feng Xiang Song (1403-1424), Zhi Nan Zheng Fa (1405 – 1433), dan Dong Xi Yang Kao (1618) adalah Luo Han Yu (Pulau Luo Han). Bintan tak lepas dengan Kesultanan Melayu Riau Lingga. Tidak kalah tua dengan nama Bintan, nama Lingga pun tercatat dalam naskah kun0 Cina Zhi Nan Zhi (1304), Dong Xi Yang Kao, Shun Feng Xiang Song, Zhen Nan Zheng Fa, dan Yingyai Shenglan karya Mahuan (1433) dengan nama Long Ya Men (Gerbang Gigi Naga).
Willem Pieter Groeneveldt dalam bukunya Notes on the Malay Archipelago and Malacca Compiled from Chinese Sources menjelaskan bahwa nama Long Ya Men terletak di sebelah barat daya Palembang. Di daerah itu terdapat dua gunung (bukit tinggi) saling berhadapan seperti gigi naga. Kapal-kapal akan melewati di antara keduanya.
Baca Juga: Selidik Jalur Rempah, Seteguk Riwayat Minuman Beralkohol Nusantara
Imigran Cina mulai menghuni Kepulauan Riau pada awal abad ke-18. Mereka adalah suku Teochiu yang dibawa oleh VOC sekitar 1734-1740. Tujuannya, untuk membuka perkebunan gambir. Saat itu Bintan (di Tanjungpinang) merupakan bandar besar tempat pertukaran beras dan gambir dari Jawa. Pulau ini juga tempat berlabuh kapal-kapal internasional. Akhirnya, perdagangan gambir dikuasai oleh keluarga bangsawan Riau Lingga dan pengusaha Cina.
Di Tanjungpinang pun pernah terdapat beberapa gudang gambir berskala besar yang terletak di pesisir kota. Letaknya yang berdekatan dengan laut menjadikan gudang-gudang ini mudah diakses melalui laut untuk pemasaran internasional.
Namun, pada awal abad ke-20, permintaan dunia akan gambir menurun. Akibatnya, perkebunan gambir yang sempat menyebar luas ke daratan Pulau Sumatra pun tak lagi marak.
Saat ini gambir Indonesia dinobatkan sebagai gambir berkualitas terbaik di dunia. Kita memasok 80 persen kebutuhan gambir dunia. Terlebih kini gambir kembali berperan sebagai isian dalam aneka produk kesehatan seperti obat untuk jerawat, luka bakar, sampai diare. Demikian pula gambir mulai harum namanya pada kalangan pengguna warna alami yang mendukung keberlanjutan lingkungan.
Penulis | : | Agni Malagina |
Editor | : | Mahandis Yoanata Thamrin |
KOMENTAR