Nationalgeographic.co.id—Filsuf Prancis, Bernard le Bovier de Fontenelle memperkenalkan filsafat Cartesian dan ilmu awal alam kepada masyarakat awam pada buku yang terbit pada 1686 bernama Conversations on the Plurality of Worlds.
Cerita ini menampilkan seorang pria dan wanita yang mendiskusikan fitur tata surya kita dengan penyelidikan ilmiah untuk menjelaskan hukum alam. Tulisan itu terbukti amat populer dan dapat diakses sehingga karyanya dicetak ulang hingga enam kali pada tahun 1825.
Bukut itu tidak hanya membuka jalan bagi para filsuf alam lainnya tapi juga mengilhami genre penulisan baru, yakni sains populer. Karena subjek ilmiah yang tiba-tiba populer, warga eropa semakin tersapu oleh pencerahan. Sebuah periode yang didefinisikan secara suram di abad ke-18 yang mengantar cara berpikir baru tentang menjelajahi dunia.
Fontenelle membuktikan ada audiens untuk sains yang dapat diakses dalam bahasa lokal. Setelah karya Fontenelle, muncul lusinan buku baru.
Seperti Newtonianism for Ladies oleh Francesco Algarotti, membuat prinsip matematika rumit menjadi lebih jelas. Kemudian Encyclopedia of Diderot and d'Alembert yang membahas segala hal dari aljabar hingga operasi.
Literasi berkembang pesat di seluruh Eropa, begitu pula mesin cetak. Pembaca tidak hanya menemukan penelitian ilmiah tidak hanya di buku, tetapi juga di surat kabar dan pertunjukkan jalanan di mana para pemain sandiwara mendemonstrasikan sifat-sifat listrik.
Saat itu, mengumpulkan pengetahuan tentang ilmu-ilmu alam juga memberi cap tertentu kepada seseorang menurut Michael Lynn, profesor sejarah di Purdue University Northwest di laman Smithsonian. Mengetahui apa yang terjadi di dunia sains dianggap membuat seseorang lebih berbudaya dan mampu mengambil keputusan secara rasional.
Baca Juga: Kerja Dari Rumah Selama Wabah London, Newton Temukan Teori Gravitasi
Mengingat keberhasilan Fontenelle menerjemahkan sains untuk masyarakat umum, beberapa peneliti menyarankan bahasa Prancis menjadi bahasa sehari-hari untuk berpartisipasi dalam transformasi besar-besaran saat itu.
Seperti yang dikatakan Marc Fumaroli dalam When the World Spoke French, sebagian besar komunitas internasional berbicara atau membaca bahasa Prancis pada 1700-an.
Peneliti Johanthan Topham dan Simon Burrows bahkan membuat database untuk penerbit Swiss abad ke-18 Société Typographique de Neuchatel, yang mengungkapkan puluhan ribu buku sains populer yang ditulis dalam bahasa Prancis yang dibeli di seluruh Eropa.
"Saya pikir dapat diperdebatkan bahwa lingua franca Pencerahan (Renaissance) adalah bahasa Prancis," kata Lynn. "Tetapi ada banyak buku yang ditulis tentang bagaimana pencerahan bukan hanya bahasa Prancis. Setiap negara memiliki gayanya sendiri. Ada pencerahan Italia, Pencerahan Jerman Utara dan Selatan."
Pada akhir abad ke-18 dan awal abad ke-19, Inggris dan Prancis benar-benar negara yang menonjol dalam hal gerakan masa dalam sains populer, khususnya di Paris dan London kata Lundy Orthia dari Australian National University.
Selain Fontenelle, penulis sains lain dari era pencerahan termasuk Milie du Châtelet (yang menerjemahkan karya Newton ke dalam bahasa Prancis), ahli kimia Antoine-Laurent Lavoisier (yang menciptakan sistem identifikasi bahan kimia), dan Nicolas de Condorcet (yang berpendapat penggunaan nalar ilmiah dalam pemerintahan yang demokratis).
Baca Juga: Leonardo da Vinci Ubah Pemetaan dari Seni Menjadi Sains
Tetapi mungkin di atas itu ada François-Marie Arouet, atau yang lebih dikenal sebagai Voltaire. Ia adalah penulis produktif yang karyanya mencakup lebih dari 70 volume, termasuk esai tentang penelitian Newton.
"Banyak hal sains populer lebih terspesialisasi," kata Lynn, yang berarti penulis akan memilih untuk fokus pada sejarah alam, kimia, fisika, atau botani. "Voltaire adalah contoh yang buruk karena dia begitu mampu menulis dalam fotmat apapun. Dia luar biasa. Dia menulis sejarah, sains, cerita pendek, puisi, drama, surat, kritik filosofis. Hanya sedikit orang yang bisa melampaui genre sastra seperti Voltaire."
Source | : | Smithsonian Magazine |
Penulis | : | Fikri Muhammad |
Editor | : | Mahandis Yoanata Thamrin |
KOMENTAR