Oleh Lilie Suratminto—Berminat dalam kajian bahasa dan budaya Belanda, serta pemerhati warisan budaya kolonial. Kini, Dekan Fakultas Sosial Humaniora, Universitas Buddhi Dharma, Tangerang.
Nationalgeographic.co.id—Berawal dari peta rahasia yang berhasil disalin, sebuah kongsi dagang regional berubah menjadi global. Apa dampaknya terhadap Nusantara? Ada berkah, ada musibah. Namun, semuanya gara-gara rempah.
Negeri Belanda letaknya sangat strategis dalam perdagangan. Negeri ini dikenal sebagai “Nederlanden” atau negeri tanah rendah, setidaknya sekitar abad ke-16. Perdagangan, industri, dan pertaniannya mengalami kemajuan. Banyak perusahaan dan industri bermunculan di kota pelabuhan seperti Amsterdam, Roterdam, Delft, Hoorn, Vere, dan Middelburg.
Ketika itu terdapat mata dagangan yang begitu penting bagi orang Eropa, yaitu rempah-rempah. Belanda memperoleh lada, pala, cengkeh, kunyit, dan jahe dari Pelabuhan Lissabon, Portugal.
Ini berkat kecerdikan Portugal. Selama hampir satu abad negeri ini telah merahasiakan rute pelayarannya ke Asia. Apa daya, demi memperlancar distribusi perdagangan, terutama rempah-rempah, banyak kantor dagang Belanda membuka cabangnya di Lissabon.
Pada 1548 pecah perang antara Republik Belanda Serikat dan Spanyol. Raja Spanyol Filip II menolak usulan Willem van Oranje untuk mengakhiri pengejaran, penganiayaan, dan pembunuhan terhadap para pengikut ajaran Calvin. Dalam peperangan ini banyak pengusaha dan orang kaya dari pusat perdagangan di Antwerpen, Gent, dan Brugge di Belanda Selatan hengkang ke Belanda Utara. Mereka menyingkir ke Delft, Middelburg, Vere, Rotterdam, Hoorn, Enkhuizen, dan Amsterdam. Bahkan ada juga yang menyingkir ke Inggris dan Jerman.
Baca Juga: Temuan Peti Harta Karun Kapal Rempah VOC yang Berlayar ke Batavia 1740
Ada perkara yang menarik, yakni perangai pedagang Belanda. Meskipun negerinya berperang dengan Spanyol, tetapi mereka tetap memasok Spanyol dengan senjata dan amunisi yang mereka impor dari Skandinavia. Intinya, para pedagang sangat diuntungkan dalam peperangan yang sering terjadi di Eropa. Inilah yang menjadikan Amsterdam semakin maju sebagai pusat perdagangan menyaingi Antwerpen, yang saat itu menjadi Pelabuhan terbesar di Eropa Barat.
Kenyamanan para pedagang Belanda terusik saat dibentuknya Uni Iberia pada 1580. Portugal disatukan dengan Spanyol, yang sejatinya musuh Belanda. Para pedagang Belanda harus menutup kantor dagangnya di Lissabon. Mereka menyatu kembali dengan induknya di pelbagai kota pelabuhan di Belanda.
Untuk bertahan dari persaingan dagang yang semakin keras, pada 1592 didirikan sebuah kongsi dagang Compagnie van Verre—Kongsi dagang jarak jauh. Terdiri atas 10 kongsi dagang yang berusaha mencari sendiri jalan menuju pusat rempah di Hindia-Timur nama lain untuk Nusantara pada waktu itu.
Baca Juga: Kisah Tragis Zaman VOC: Bangkai Kapal Batavia dan Kekejian Perompak
Compagnie van Verre membentuk ekspedisi pertama di bawah Willem Barentsz. Rencananya mereka akan berlayar melalui Selat Bering Alaska kemudian menuju ke selatan melalui Jepang, Taiwan terus sampai ke Kepulauan Maluku. Pelayaran melalui sebelah utara Siberia dimaksudkan untuk menghindari armada Spanyol dan Portugis yang sangat kuat. Kedua pesaing itu sudah menguasai Samudra Atlantik dan Samudra Hindia selama satu abad lebih.
Sayangnya, kapal ekspedisi Belanda pertama rusak terperangkap es dan tidak dapat diperbaiki saat mengitari Pulau Novaya Zemlya. Banyak korban tewas karena kedinginan atau dibunuh beruang kutub. Awak kapal Barentsz pulang kembali ke Belanda dengan dua buah kapal kecil. Barentsz meninggal dunia pada 1597, saat perjalanan pulang.
Namun, usaha mencari jalan ke Nusantara tak pernah berhenti. Ini sesuai dengan semboyan mereka, dispereert niet atau‘jangan putus asa’.
Jan Huygens van Linschoten adalah seorang Belanda yang bekerja bersama saudaranya, Willem Tin, di keuskupan Gowa India. Ia tinggal selama lima tahun di sana sebagai sekretaris keuskupan Gowa.
Ia mempunyai hubungan yang sangat baik dengan mentornya yang seorang uskup agung Gowa sehingga ia dapat bekerja lebih leluasa. Kesempatan itu ia pergunakan untuk menulis mengenai aktivitas perdagangan Portugis di India, Cina, Jepang, dan daerah-daerah lainnya di Nusantara. Di sana ia banyak mendengar cerita tentang orang Jawa, orang Jepang, dan ChiTiongkok. Kabarnya hubungan antara kedua bangsa terakhir ini tidak baik karena mereka selalu berkonkurensi di lautan.
Ia menyadari bahwa peta rute laut pada saat itu sangat diperlukan oleh orang Belanda terlebih setelah Portugal dan Spanyol disatukan menjadi Uni Iberia.
Baca Juga: Bincang Redaksi: 280 Tahun Geger Pacinan, Singkap Arsip VOC dan Persekutuan Cina-Jawa 1740-1743
Dengan sembunyi-sembunyi Linschoten menyalin peta-peta rute pelayaran yang sangat dirahasiakan Portugis selama lebih dari satu abad. Ia kemudian memutuskan untuk pulang kembali ke kota kelahirannya Enkhuizen di Belanda. Alasan utamanya, Willem Tin, saudaranya meninggal dunia.
Salinan peta navigasi Portugis itu kemudian diterbitkan dalam bukunya yang sangat terkenal Itinerario. Judul peta itu sangat panjang: Voyage ofte Schipvaart van Jan Huygens van Linschoten naer oost ofte Portugael inhoudende in corte beschrijvinghe der selve landen ende zee custen. Artinya, ‘Perjalanan pelayaran Jan Huygens van Linschoten ke Portugal Timur yang berisi deskripsi singkat dari negeri-negeri beserta pantainya’. Itinerario kemudian diterjemahkan ke dalam bahasa Jerman, Inggris, dan Prancis. Sejak saat itulah Asia tidak lagi merupakan wilayah yang tersembunyi.
Buku Itinerario dari Linschoten menjadi rujukan Compagnie van Verre dalam membiayai ekspedisi pelayaran armada dagangnya ke Nusantara yang pertama. Ekspedisi ini terdiri atas tiga buah kapal besar, yaitu Amsterdam (260 ton), Mauritius (460 ton), dan Hollandia (460 ton) serta sebuah kapal kecil sebagai kapal penghubung Duyfken (50 ton). Kapal-kapal itu dilengkapi serdadu dan meriam. Semuanya di bawah komando admiral Cornelis de Houtman dan Van Beuningen. Armada ini berangkat dari pulau Texel pada tanggal 2 April 1595. Kapal Amsterdam pada 11 Januari 1597 terbakar di Pulau Bawean.
Jer basuki mawa bea pepatah Jawa mengatakan, yang maknanya untuk mencapai suatu cita-cita harus ada pengorbanan. Demikian juga halnya dalam mewujudkan cita-citanya untuk mencapai bumi Nusantara, orang Belanda berusaha dengan keras dan penuh pengorbanan.
Baca Juga: Benteng Makasar, Kenangan Sepetak Pecinan Tangerang di Zaman VOC
Berbekal keterangan dari buku Itinerario tersebut armada pertama dalam ekspedisi kedua yang dibentuk oleh Compagnie van Verre tiba di pelabuhan Karang Antu Banten pada tanggal 21 Juni 1596 dan diterima secara resmi dengan upacara kenegaraan oleh Sultan Banten pada 2 Juli 1596.
Saat berangkat dari Texel, armada pertama terdiri atas 249 awak kapal. Namun, mereka yang kembali hanya 87 awak. Mereka tiba kembali di Amsterdam pada 14 Agustus 1597 dengan membawa 240 kantong lada, 45 ton pala, dan 30 bal fuli atau bunga pala. Keberhasilan ekspedisi ini membuka hubungan Belanda dan Nusantara.
Dalam berdagang, orang Belanda mula-mula menguasai sektor ekonomi dan perdagangan setempat—inilah awal dimulainya masa-masa prakolonialisme di Nusantara.
Untuk mencegah terjadinya persaingan dalam memperoleh rempah-rempah antarpedagang di Belanda, didirikanlah sebuah kongsi dagang. Namanya, Vereenigde Oost Indische Compagnie, atau disingkat VOC.
Modal kongsi dagang ini berasal dari saham perorangan dan umum. Lewat penjualan saham kepada publik, VOC berhasil mengumpulkan modal dasar sejumlah 6.424.588 gulden dari lima kamers yaitu Amsterdam, Hoorn, Rotterdam, Delft, Enkhuizen, dan Middelburg. Jumlah itu begitu besar karena saham dapat dimiliki secara luas (tidak hanya orang Belanda) dan dapat diperjualbelikan.
Baca Juga: Saatnya Gulungan Arsip VOC Ungkap Losmen Lampu Merah di Batavia
Kamer Amsterdam adalah pengumpul modal terbanyak, sehingga merupakan pihak paling berpengaruh dalam pengambilan keputusan. Kedudukan Dewan 17 atau De Heeren Zeventien di Amsterdam yang mengangkat dan memberhentikan Gubernur Jenderal VOC serta kebijakan penting lainnya.
Dengan disahkannya oktroi (hak paten) VOC maka sejak saat itu status Compagnie van Verre yang bersifat regional berubah menjadi sebuah perusahaan multinasional pertama di dunia. Proses peralihan status ini disebabkan oleh persoalan mendasar: mereka ingin memperoleh keuntungan yang sangat besar dari memperdagangkan rempah langsung dari Hindia Timur.
Pendirian VOC disahkan oleh Staten Generaal ‘Parlemen’ Belanda atas anjuran Johan van Olden Barnevelt, seorang pengacara dan negarawan Belanda, pada 20 Maret 1602. Pengesahan itu tertuang dalam Generale Vereenichde Geoctroyeerde Compagnie. Tujuannya, selain untuk memperoleh keuntungan dalam perdagangan juga untuk memerangi musuh-musuh Belanda, yaitu Spanyol dan Portugis di seberang lautan.
Baca Juga: Kesaksian Perwira VOC Ketika Prahara 1740 di Tangerang
Hak-hak lain yang tertuang dalam oktroi tersebut antara lain menyatakan bahwa wilayah VOC terbentang mulai dari Tanjung Harapan Baik sampai Pulau Deshima Jepang. VOC berhak mendirikan comptoir atau kantor-kantor dagang dan banteng-benteng di daerah-daerah tersebut, membangun kapal, melakukan peperangan dan perdamaian dengan penguasa-penguasa setempat, merekrut serdadu, mencetak uang dan hak monopoli rempah-rempah.
Butir yang terakhir itu banyak menimbulkan terjadinya konflik dan peperangan-peperangan di pelbagai tempat di Asia termasuk di Nusantara. Penyebabnya, VOC mematahkan jalur rempah yang selama berabad-abad sudah berlaku secara konvensional di Nusantara. Sebelum kedatangan kongsi datang ini, Nusantara adalah daerah perdagangan bebas. Penduduk setempat berhak menjual kepada siapa pun dan kepada bangsa apa pun serta dapat menetapkan harga sesuai dengan harga pasaran. Berlakunya sistem monopoli dalam perdagangan, para pedagang di kawasan ini merasa dirugikan.
Berdasarkan laporan Frederick de Houtman, Dewan 17 (De Heeren Zeventien) mengharuskan pedagang VOC menguasai bahasa Melayu yang saat itu sudah lazim digunakan sebagai lingua franca. Houtman pula yang mengkompilasi kamus percakapan pertama bahasa Belanda-Melayu pada 1603.
Baca Juga: Gemerlap Para Nyonya Sosialita di Batavia Zaman VOC
Mereka berpedoman “menguasai bangsa melalui bahasa”. Dengan jargon ini, sejatinya selama ratusan tahun orang Belanda tidak pernah secara sungguh-sungguh memperkenalkan bahasa dan budayanya kepada penduduk lokal di Hindia-Belanda.
Faktor inilah yang menyebabkan tidak pernah tejadinya saling pengertian dan saling menghormati antara orang pribumi dan orang Belanda. Apalagi dengan diterapkannya stratifikasi sosial yang menempatkan orang Belanda dan Eropa pada kelas pertama (de Europeanen), yang disusul orang Cina, India, Arab, dan Jepang sebagai warga kelas dua (Vreemde Oosterlingen) dan penduduk asli Nusantara sebagai kelas paling rendah atau warga kelas tiga (Inlandsch Burger).
Penerapan stratifikasi sosial ini membuat hubungan antara orang Indonesia dan orang Belanda tidak akrab. Orang Indonesia menganggap orang Belanda tetap sebagai orang asing. Inilah kekeliruan terbesar Belanda dalam melakukan pendekatan terhadap penduduk asli Hindia-Belanda. Perbedaan kelas ini nantinya akan digunakan sebagai senjata oleh kaum nasionalis pada akhir abad ke-19 untuk membangkitkan rasa nasionalisme bangsa Indonesia.
Seiring perjalanan waktu, selain VOC, ada juga pedagang bebas yang mengadakan perdagangan antarkawasan di Asia. Komoditinya seperti gula, porselin, karpet, kopi, peralatan rumah tangga, bahkan batu bata dan lain-lain. Para pedagang bebas ini ikut mendompleng kapal-kapal VOC yang berlayar ke berbagai negara di Asia.
Untuk mengamankan barang-barang dagangan, mereka biasa memberikan uang pelicin kepada personil VOC. Gaji personil atau awak kapal kompeni begitu rendah, sehingga sangat senang dengan situasi seperti itu. Uang pelicin membuat banyak personil Kompeni menjadi kaya raya. Budaya korupsi inilah yang kelak membuat kongsi dagang ini goyang.
Kompeni melemah. Inggris berhasil merampas rempah yang melimpah dari tangan Belanda di Benteng Belgica, Banda. Bekal ini membuat Inggris dapat membiayai angkatan perangnya untuk memblokade Jawa. Akibatnya, hubungan VOC dengan Belanda terputus. Dan, VOC benar-benar bangkrut setelah berdiri selama 200 tahun (1602-1799). Demi menutup hutang, aset kongsi dagang ini diserahkan ke pemerintah Belanda, yang pada saat itu menjadi Republik Bataf di bawah bendera Prancis.
Bentuk korupsi sudah berjalan berabad-abad, yang nantinya sangat sulit diberantas. Adakah pelajaran dari Jalur Rempah untuk kita pada hari ini?
Baca Juga: Serdadu VOC Asal Tanah Madura
Penulis | : | National Geographic Indonesia |
Editor | : | Mahandis Yoanata Thamrin |
KOMENTAR