Dan lebih banyak bukti tentang solidaritas Nabi Muhammad: “Tidak seorang pun boleh mengangkat senjata melawan mereka, tetapi, sebaliknya orang-orang Muslim akan berperang untuk mereka.”
Seorang pemuda radikal—seorang dokter gigi, ternyata—memutuskan untuk membentuk sebuah kelompok teroris di Sinai pada 2002. Rincian tentang pekerjaannya yang terdahulu baru muncul setelah diinterogasi aparat Mesir, termasuk lewat penyiksaan. Cerita tentang aktivitas itu pada umumnya sama: Khalid Al Masaid membentuk Tawhid wa Jihad—Persatuan dan Perang Suci—untuk melancarkan pembalasan sengit terhadap Amerika Serikat dan Israel, dua pihak yang dia rasa telah merendahkan dunia Arab. Al Masaid memandang kesepakatan damai yang dilakukan Mesir terhadap Israel pada 1979 sebagai persekongkolan dengan Barat. Kesepakatan tersebut menghasilkan pembentukan Pasukan Multinasional dan Pengamat, sebuah tim internasional penjaga perdamaian yang menahan pergerakan sepanjang perbatasan Mesir-Israel. Bagi Al Masaid, para penjaga perdamaian lebih dari sekadar penghinaan; pasukan itu membuat dirinya terputus dari sumber-sumber Palestina yang bisa mendukungnya. Dokter gigi tersebut perlu pengikut—para pemuda yang tidak puas yang bersedia melawan pihak berwenang, melawan turis, melawan Israel, melawan Mesir sendiri. Ia menemukan mereka di antara orang-orang Sinai.
Jembatan darat Sinai telah memberikan jalan lintas bagi para nabi dan peziarah, para saudagar, dan gagasan. Namun seperti jembatan lainnya, semenanjung tersebut juga mempunyai nilai strategis dalam perang. Berbagai tentara pernah berbaris melintasi bukit-bukit pasirnya sepanjang manusia saling berperang: para firaun dengan kereta perang mereka, orang Persia, orang Yunani, orang Roma. Para penakluk Islam dan musuh besar mereka, prajurit perang salib Eropa. Orang-orang Turki Ottoman dan orang-orang Inggris. Semuanya menjejakkan kaki di pasir Sinai.
Perang yang terakhir, antara orang Mesir dan Israel membentuk kehidupan di semenanjung itu sekarang. Perang tersebut membentuk topografi secara harfiah—bunker dan parit masih membentang ke cakrawala—juga membentuk lanskap manusia dalam lebih banyak cara yang tak diharapkan. Meski gencatan senjata sekarang sudah dimulai 30 tahun silam, orang-orang Mesir di daratan utama masih sering menganggap Badui, para penggembala di gurun yang jumlahnya sekitar separuh lebih dari 360.000 penduduk Sinai, sebagai kolaborator musuh. Padahal, orang-orang Badui menunjukkan ketidaksetiaan terhadap pemerintahan manapun, Mesir atau lainnya.
!break!
Ketika saya meninggalkan Gunung Sinai, seorang polisi menyuruh saya menepi di salah satu pos pemeriksaan polisi yang banyak terdapat di Mesir. Seorang perwira muda naik ke tempat duduk di belakang. Ia mengatakan, ia “dari Mesir.” Di Sinai, itu berarti ia datang dari Kairo. Perwira muda itu ingin menumpang melintasi semenanjung. Perilaku seperti ini sudah diperkirakan di Mesir, di mana polisi diberi kekuasaan universal. Namun, sesuatu yang lebih mengejutkan terjadi saat kami berkendara melewati jalur pipa air yang dipasang pihak berwenang Mesir sepanjang Sinai, sebagai bagian dari upaya yang oleh para penghuni Sinai disebut “Kairofikasi” Semenanjung Sinai.
“Jangan pernah berhenti untuk memberi tumpangan pada mereka,” kata polisi itu, menunjuk satu keluarga Badui dengan kambing-kambing mereka. Lewat kaca spion terlihat ia sedang menggeleng-gelengkan kepalanya. “Mereka licik. Mereka bukan manusia.”
Tidak seperti orang-orang di kebanyakan negara Arab lain yang menghormati orang Bedouin – bayangkan keluarga kerajaan Saudi berlenggang dalam tari pedang tradisional Bedouin atau pemimpin Libya mendirikan tenda selama kunjungan kenegaraan di Paris – orang-orang Mesir tidak pernah merangkul suku-suku yang tinggal di gurun. Orang Badui bermigrasi dari timur; para penduduk Sungai Nil datang dari barat. Secara historis orang Badui menjelajahi daerah yang luas, sementara budaya Nil adalah pertanian, penghargaan terhadap bercocok tanam dan hidup menetap, serta curiga terhadap pengembara nomaden.
Pada 1970-an, setelah Israel mengambil alih Sinai menyusul Perang Enam Hari, pemerintah Israel–-juga tidak nyaman dengan warga pengingkar batas yang tak berdokumen—memaku orang Badui lewat pekerjaan, membayar mereka untuk mengelola cagar-cagar alam Sinai yang luas dan pekerjaan lainnya.
Sebelumnya di Israel, saya bertemu Dan Harari yang bekerja sebagai birokrat yang memerintah Sinai selatan selama pemerintahan Israel (1967-1979). Di kantor rumahnya ada sebuah foto dirinya duduk di meja yang terletak di tempat tidak lazim di gurun, menandatangani cek-cek untuk para pekerja Badui yang antreannya hanya terlihat sebagian dalam foto. “Kami tahu kami tidak dapat mengendalikan orang Badui,” katanya, “jadi kami hanya menggunakan pengetahuan mereka tentang tempat itu.” Berhasil, ujarnya, menceritakan kisah-kisah tentang seorang pria Bedouin yang ia “kasihi seperti saudara.” Setelah Israel sepenuhnya menyerahkan kendali Sinai pada 1982, pemerintah Mesir membubarkan program Badui dan membentuk Otoritas Pengembangan Pariwisata yang dirancang untuk memancangkan klaim atas tanah yang berharga itu.
!break!
Di dekat mata air tawar di pegunungan Sinai, saya berbicara dengan perempuan sepuh Bedouin yang mungil bernama Sheikha Salima, yang diperkirakan umurnya sekitar 70 atau 80, mungkin lebih. Perempuan ini memandang para penguasa di tanahnya dengan perasaan sama terhadap sesuatu alami yang tidak dapat dihindari seperti ia memandang garis-garis yang dihasilkan alam pada batu-batu karang. “Keadaan lebih baik waktu orang-orang Israel di sini,” katanya, menggoyangkan kepalan tangan dengan gelang manik-manik dalam pembangkangan, tidak pada kekuasaan Kairo yang abstrak, tetapi pada perwira polisi junior yang hanya beberapa meter jauhnya. “Mereka telah menghancurkan adat-adat kami,” ia berteriak dengan keberanian usia tua yang tidak tersentuh. Kerudungnya berkibar diterpa hembusan nafas pendeknya. “Mereka telah mengejar kami dari tanah kami.”
Sumurnya hampir kering, dan kotoran kambing menutupi lantai rumahnya. Di hari-hari migrasi dulu, ia mungkin telah berpindah selama musim yang sulit. Sekarang ia tidak pergi ke mana-mana.
Polisi itu tenggelam dalam murka perempuan Bedouin. Ia paham apa yang diartikan perempuan itu tentang tanah. Dan polisi itu telah mengalami lebih banyak dari yang diinginkannya tentang kemarahan orang-orang Bedouin.
Penulis | : | |
Editor | : | Administrator |
KOMENTAR