Jauh di dalam gurun pada musim semi 2004, sekelompok lelaki berkumpul dengan seperangkat peralatan yang tak lazim. Mereka membawa telepon-telepon seluler, mesin cuci berpenghitung waktu, tabung-tabung gas, dan TNT. Bahan-bahan peledak tersebut berasal dari gurun, tempat dinamit-dinamit itu dibuang menyusul meredanya ketegangan dengan Israel. Seorang ekstremis keagamaan yang disebut Iyad Salah—pengikut dokter gigi Al Masaid—telah merekrut kelompok kecil ini, termasuk buruh harian, tukang reparasi, dan pekerja logam. Yang lainnya pengangguran dan kebanyakan berasal dari kota kecil El Arish yang terletak di ujung utara Sinai, kawasan Laut Mediterania. Di antara bukit-bukit pasir, para lelaki itu melatih rencana mereka, meledakkan bahan-bahan peledak di pasir.
Di atas panggung, sepasang perempuan yang nyaris bugil mengikuti irama musik saat disc jockey membetot volume suara dan layar besar di belakang mereka memperlihatkan dua buah ceri bergoyang di tangkai. Di atas kerumunan, dua perempuan lainnya berputar dan berayun pada helai-helai kain sutra panjang, sulit diperhatikan oleh 2.000 muda-mudi yang berdansa di bawahnya. Udara pengharapan memenuhi klub yang disebut Pacha, pengharapan berbaur dengan minuman keras dan deodoran, dan setiap orang melihat sebuah saluran air di atas kepala sampai – ya, akhirnya – saluran itu menyemburkan gelembung-gelembung dan busa putih. Dari suatu tempat, di mana-mana, orang-orang muda tampil dalam pakaian-pakaian mandi dan pakaian dalam, melompat ke dalam busa dan kemudian mencipratkannya ke kolam di klub.
!break!
“Di mana Anda mendapatkan gadis-gadis penari itu?” tanya saya kepada Adly El Mestekawy si pemilik klub. “Mereka bukan orang Mesir.”
El Mestekawy tertawa, bergoyang mengikuti irama, “Rusia,” katanya.
Setelah Mesir melanjutkan kendali atas Sinai pada 1979, para pengusaha dari Delta Nil mengembangkan garis pantai delta tersebut dengan kepesatan yang mengagumkan, mengimpor nilai-nilai, pekerja, material, dan irama-irama Kairo. Semenanjung itu membanggakan sejumlah lokasi penyelaman terbaik di dunia, menarik turis-turis muda dari Eropa dan lainnya. Lahan-lahan tempat ternak orang Badui merumput berganti menjadi jalan bagi hotel, klub, toko, dan bar internasional. Budaya tradisional tunduk pada kegemerlapan. Sinai terbelah, dengan keterbukaan pembagian budaya yang sama dalamnya seperti yang disebabkan suatu gempa bumi.
El Mestekawy, penduduk asli Kairo, memelopori pengembangan Sharm el Sheikh di dekat ujung selatan semenanjung. Di dalam kantornya yang jauh dari dentuman lantai dansa, ia membentangkan foto teramat besar dari kota itu 20 tahun silam—saat belum ada kota. Foto itu menunjukkan, hanya ada sebuah bangunan liar abu-abu, beberapa tenda, laut, dan gurun tak bertepi. “Di sinilah kita,” katanya seraya menunjuk bangunan abu-abu. Klub ini mulanya adalah hotel dan kemudian menjadi klub malam. “Selain itu, yang ada cuma orang Badui.”
Di mana mereka sekarang? saya bertanya.
Ia menunjuk ke arah barat. “Di bukit-bukit,” ujarnya.
Sepanjang bulevar di luar klub, ribuan turis berkumpul di bawah pohon-pohon palem berlistrik, menyeruput minuman mango smoothies dan memakai kacamata gelap di tengah malam. Satu-satunya orang Mesir yang kelihatan menyajikan minuman dan membagikan selebaran-selebaran. Mereka adalah orang-orang beruntung yang memegang izin kerja yang memungkinkan mereka melewati pos-pos pemeriksaan di luar kota.
!break!
Keesokan hari panorama di pantai dapat berubah menjadi seperti resor Ibiza atau St. Tropez, kecuali untuk pengingat terlangka bahwa kita memang di Timur Tengah: para pemandi sinar matahari yang bertelanjang dada berusaha keras mengabaikan figur sendirian dalam niqab hitam, duduk seperti penghalang kokoh dari batu hitam di antara orang-orang separuh berpakaian di pantai sementara suaminya bercipratan di selancar.
Asisten El Mestekawy, Timi, mengantar saya dengan mobil SUV milik atasannya untuk melihat usaha si bos berikutnya. Ketika kami mengitari belokan di pesisir, tampak sebuah istana pasir raksasa. “Terbesar di dunia,” kata Timi. Dia menjelaskan, jika sudah rampung, istana itu akan berfungsi sebagai taman hiburan bahari dengan sebuah akuarium, kolam-kolam renang, dan berbagai restoran.
Kami mendaki istana tersebut, berkelit di antara para pekerja asal Kairo yang mengerjakan bangunan, yang tidak terbuat dari pasir tetapi dari bongkah-bongkah terumbu membatu. Di puncak, kami memandang Laut Merah dengan harta karunnya: ribuan spesies ikan, terumbu karang, mangrove. Ekosistem bawah laut yang indah dan rapuh ini mulai berkembang dan kini secara mengagumkan Sinai telah mengambil alih tujuan wisata utama dari Kairo dan Mesir daratan. Populasi Sharm el Sheikh melonjak sepuluh kali lipat dalam 20 tahun, sementara jumlah turis meningkat dari 8.000 setahun menjadi lebih dari lima juta.
Penulis | : | |
Editor | : | Administrator |
KOMENTAR