Ada dua bom yang lain pada malam bulan Oktober itu. Di Nuweiba, Asser El Badrawy berdiri di balkon hotelnya, menatap ke utara, di sepanjang pesisir, ke arah sebuah kemah petualang. Ketika itulah ia melihat ledakan besar muncul dari tempat perkemahan. Saat-saat berlalu dan suara ledakan datang; di bawah, tamu-tamunya di pantai—hampir semuanya orang Israel—berpaling untuk melihat awan cendawan kecil yang terbentuk di atas tempat ledakan. Bom nuklir, pikir El Badrawy. Sinai menikmati reputasi sebagai tempat yang damai, jadi panorama awan cendawan itu tidak masuk masuk akal. Dan dalam saat yang mustahil ia berlari ke kamar mandinya dan bersembunyi, menanti gelombang ledakan yang tidak datang.
Di jalan di luar kemah, seorang pria bermobil mencoba masuk, tetapi ketakutan di saat terakhir lantaran kemunculan seorang penjaga dengan lentera. Ia buru-buru memundurkan mobilnya dan kandas di gundukan pasir. Kemudian ia berjalan menjauh dan meledakkan mobil itu dengan pengendali jarak jauh. Di kemah yang letaknya berdekatan, pengemudi lain memarkir mobil dekat restoran beratap palem dan meledakkan mobilnya, menghancurkan restoran dan sejumlah pondok bambu. Ledakan membunuh dua orang Israel dan seorang Badui. Sekali lagi pengemudi berjalan menjauh tidak terlihat.
Target ketiga adalah Hilton, lebih jauh ke utara di perbatasan Israel. Kedua pria dalam kendaraan yang berhenti di lobi—si pemimpin, Salah, dan anak buahnya Suleiman Flayfil—dapat menjadi siapa pun: tamu yang baru datang, staf, petugas pengantaran. Di dalam hotel ratusan tamu berdansa, makan, atau tidur. Salah dan Flayfil memarkir mobil dan berjalan menjauh. Di dalam kendaraan sebuah paket TNT disambung dengan kabel ke penghitung waktu mesin cuci yang menghitung mundur detik-detik terakhirnya. Kendaraan tersebut meledak dengan kekuatan dahsyat, meruntuhkan seluruh bagian barat hotel, membuat 10 lantai beserta isinya runtuh seperti tanah longsor. Mobil-mobil di tempat parkir terlempar ke samping dan meledak terbakar. Pecahan-pecahan kaca dan perabot terbang ke segala arah; tangga spiral dari beton tergeletak panas.
!break!
Bom tersebut membunuh 31 orang dan melukai banyak lagi, termasuk orang Israel, Mesir, dan Rusia. Bom juga membunuh Salah dan Flayfil; penghitung waktu mereka terlalu cepat dan ledakan mengenai mereka sebelum mereka meninggalkan halaman hotel. Pemerintah Mesir menanggapi kejadian tersebut dengan bentuk investigasi yang tidak biasa, mengumpulkan ribuan tersangka – jumlahnya bervariasi dari 2.400 hingga 5.000 – termasuk banyak orang Badui dari wilayah El Arish.
Sepuluh bulan setelah pengeboman, saudara Flayfil yang selamat dari penangkapan, Muhammad, tewas dalam baku tembak dengan polisi. Tiga tersangka orang Badui lainnya—Younes Mohammed Mahmoud, Osama Al Nakhlawi, dan Mohammed Jaez Sabbah—akhirnya ditangkap dan dihukum mati oleh pengadilan keamanan negara, dengan tanpa hak banding.
Dekat El Arish, di desa berbatu lumpur tempat ayah Flayfil tidak mengakui mereka, saya bertemu kedua orangtua Osama Al Nakhlawi di rumah mereka yang kecil dan bersih. Mereka duduk di lantai dalam ruangan sederhana dan menyajikan teh. Mereka berbicara pelan, meremas tangan, kadang tangan mereka sendiri, kadang menggenggam tangan satu sama lainnya.
“Siapa pun yang mereka curigai, mereka bawa,” kata ibu Al Nakhlawi. Polisi Mesir mengatakan, putranya merakit bom. Ia membuka lipatan surat bertulis tangan yang terkini dari Al Nakhlawi. Lembar kertas itu sudah begitu usang sehingga terkulai seperti kain di kedua tangannya. Di dalam surat, Al Nakhlawi menyesalkan perlakuan terhadap suku Bedouinnya.
“Kami anak-anak Sinai,” tulis Al Nakhlawi si terpidana mati, “berhadapan dengan perilaku rasis dan diskriminatif dibandingkan dengan anak-anak dari Lembah Sungai Nil … Sebagian petugas menuduh kami setia kepada orang Yahudi dan di saat yang sama mereka mengadili kami dengan tuduhan membunuh orang Yahudi.”
!break!
Banyak orang di El Arish menentang reaksi kejam pemerintah terhadap pengeboman dan itu hanya membuat masyarakat terpecah, seperti yang hendak dicapai para pembom. Memang begitu adanya, pada 2005 lebih banyak aksi bom menyerang Sinai di Sharm el Sheikh, membunuh banyak orang pada Hari Revolusi Mesir. Itu adalah nyata-nyata serbuan terhadap otoritas Mesir dibandingkan Israel. Al Masaid, dokter gigi pendiri kelompok itu, tewas dalam baku tembak dengan polisi Mesir, tetapi, kata pihak yang berwenang, para pengikutnya menyerang lagi selama liburan musim semi 2006 di resor kota Dahab dan membunuh sedikitnya 23 orang.
Semua ini mungkin telah diinginkan dan bahkan diperkirakan oleh para pengebom resor Hilton di Taba. Betapa pun, ada konsekuensi lain yang tidak dikehendaki. Ketika kepala pengembang Israel dari Sinai selatan saat itu, Dan Harari si birokrat yang memberi cek untuk orang Badui, telah menandatangani izin pembangunan Hilton Taba. Ia mengetahui dengan baik. Setelah penarikan mundur pasukan Israel pada 1982, Harari menemukan pekerjaan baru di sepanjang perbatasan di Elat. Ia bekerja sebagai kepala pemadam kebakaran.
Pada 7 Oktober malam ketika ia mendengar ledakan, ia berganti pakaian di dalam mobilnya, melepas pakaian liburannya dan mengenakan seragam kemeja abu-abu yang kusut. Ketika tiga truk pemadam kebakaran kota dan pemadam kebakaran yang sedang tidak bertugas Shachar Zaid tiba, ia memanjat ke atas truk terdepan dan menyalakan sirenenya. “Saya melihat orang-orang. Saya melihat asap,” katanya. “Saya tahu ada orang-orang yang perlu saya selamatkan.”
Para penjaga Mesir di tempat lintas batas berdiri dengan senapan otomatis mereka, siap menembak. Dari sudut pandang mereka, tampaknya seluruh dunia telah jungkir balik. Hotel terdekat telah menjadi puing, massa yang meratap berkumpul pada posisi mereka, dan kini serangkaian truk besar telah tiba, dikemudikan oleh musuh lama mereka. Setelah ragu sejenak—berbagai pertanyaan dan jawaban diteriakkan melintasi garis maya—para prajurit Mesir membuat keputusan penting: menangguhkan kedaulatan negara mereka, mereka menyimpan senjata mereka dan melangkah ke samping sehingga truk-truk pemadam kebakaran dapat masuk.
Di lokasi bencana, para pemadam kebakaran Israel bekerja berdampingan dengan sejawat Arab mereka untuk memadamkan api dan menarik tubuh-tubuh dari reruntuhan. Para penolong menemukan bahwa sumber utama air untuk truk pemadam kebakaran, yaitu kolam renang air laut di hotel tersebut ternyata kosong. Sehingga, upaya mereka menjadi berat dan lambat.
!break!
Orang Israel dan Mesir—keduanya korban dan penyelamat—tampak lebih serupa dibanding berbeda pada jam-jam tersebut. Para penolong itu berbagi makanan dan minuman—suatu sikap yang di Timur Tengah membawa simbol yang jelas. Perdana Menteri Israel Ariel Sharon memuji Presiden Mesir Husni Mubarak atas kerja sama negaranya dan kedua pemimpin bersumpah untuk “melanjutkan kerja sama dalam perjuangan yang terus-menerus melawan teror.”
Pemerintah Mesir, secara khusus, kini menerapkan pengawasan setegas mungkin. Polisi dan prajurit yang penuh curiga dari Kairo menyelimuti semenanjung itu, tampak hadir di setiap persimpangan jalan, di mana pun dua orang bertemu, berjaga-jaga untuk memisahkan penduduk lokal Sinai dan orang asing. Namun, yang lain memakai cara yang lebih lembut. International Crisis Group, organisasi nirlaba terkemuka yang berfokus pada konflik, menerbitkan laporan pada 2007 yang menyerukan negara Mesir untuk “mengubah strategi pembangunan yang sangat diskriminatif dan sebagian besar tidak efektif dalam memenuhi kebutuhan penduduk lokal.” Clinton Bailey, pakar Badui, mengatakan bahwa pemerintah seharusnya mendengarkan pepatah orang Badui kuno: “Jika Anda memelihara rajawali, Anda harus memberinya makan.”
Dan para pengunjung telah kembali. Di hari pengeboman Taba, terdapat hingga 15.000 orang Israel di semenanjung itu. Jumlah tersebut melorot setelahnya, tetapi di hari ketika saya tiba di Sinai, saat liburan Paskah Yahudi pada 2007, 1.700 orang Israel menyeberangi perbatasan untuk berkunjung.
Orang-orang di Sinai selalu berbaur dalam cara-cara yang tidak diduga, apakah di puncak gunung yang keramat atau di perkemahan di pantai. Teroris Hilton Taba mencoba mengambil keuntungan dari pembauran ini: dengan satu bom mereka dapat menyerang orang Barat yang mengelola Hilton, orang Mesir yang bekerja di sana, dan orang Israel yang berkunjung. Namun, rencana mereka menjadi salah jalan dalam satu arti; bom mereka, pada tingkat tertentu, memicu kelompok-kelompok yang terpisah tersebut menjadi satu masyarakat yang terluka di saat para korban bekerja sama untuk menyelamatkan jiwa setelah bencana.
!break!
Setiap aksi kepercayaan di Timur Tengah adalah relatif. Namun, seperti para rahib dan orang Badui di Gunung Sinai, masyarakat di Taba memiliki kepentingan bersama—hanya jika berdansa di diskotek hotel—dan begitu membuat mereka pada ukuran tertentu kurang rentan terhadap kekuatan memecah belah yang dilancarkan terorisme.
Itulah sebabnya petugas pemadam kebakaran Shachar Zaid menyeberangi salah satu perbatasan yang paling dipeributkan dalam sejarah untuk bekerja sama dengan para rekan sejawat Mesir. “Itulah cara kami memberitahu teroris, Anda tidak berhasil,” katanya. “Dan mereka memang tidak berhasil.
Penulis | : | |
Editor | : | Administrator |
KOMENTAR