Pulau Ternate adalah sebuah kerucut gunung api kecil nan anggun yang mencuatkan warna hijau daun ke atas permukaan laut di bagian timur-laut Indonesia. Meskipun pulau itu terpencil, terselip di antara pulau-pulau yang jauh lebih besar, Ternate pernah menjadi pusat perniagaan kerajaan Belanda, karena dari situlah rempah-rempah dan komoditas tropis berharga lainnya dikirim dengan kapal ke barat. Sekarang areal dermaganya yang sibuk, pasar buah dan pasar ikannya, mesjid-mesjidnya, benteng-benteng tuanya, istana sultannya, dan rumah-rumah betonnya yang tertata tampak tersusun seperti lampu komidi putar di sepanjang satu-satunya jalan lingkar yang menyusuri garis pantai.
!break!
Kebanyakan lerengnya diselimuti rimba dan tidak berpenghuni. Di hutan itulah, jika beruntung, mungkin kita masih dapat menyaksikan burung yang cemerlang, berdada hijau terang dengan dua bulu putih yang panjang bergantung mirip jubah dari masing-masing bahunya. Nama ilmiah burung itu—Semioptera wallacii—disematkan untuk menghormati orang yang pertama kali memperkenalkannya kepada kalangan ilmuwan. Orang itu adalah Alfred Russel Wallace, seorang naturalis muda berkebangsaan Inggris yang melakukan penelitian lapangan di Nusantara pada akhir 1850-an dan awal 1860-an. Yang tidak akan kita lihat di Ternate adalah plakat atau patung megah untuk mengenang posisi Wallace dalam sejarah ilmu pengetahuan atau untuk memperingati kenyataan bahwa dari pulau kecil inilah, pada 9 Maret 1858, dia mengirimkan surat berisi kumpulan catatan dan makalah penelitiannya, melalui kapal pos Belanda bertenaga uap yang berlayar ke Eropa.
Surat itu dialamatkan kepada Charles Darwin. Bersama surat itu, Wallace melampirkan makalah singkat berjudul “On the Tendency of Varieties to depart indefinitely from the Original Type”. Makalah itu adalah hasil tulisan tangan yang tergesa-gesa selama dua malam, menyusul saat-saat Wallace, yang tengah dilanda demam, memahami arti penting temuannya. Lompatan pemahaman di tengah-tengah derita demam tersebut diperoleh setelah selama lebih dari sepuluh tahun dia berspekulasi dan melakukan penelitian yang cermat. Apa yang diuraikan dalam makalah itu adalah sebuah teori evolusi (meskipun tak dinamakan demikian) melalui seleksi alam (juga tidak menggunakan frasa itu) yang sangat mirip dengan teori yang sudah dikembangkan, tetapi belum dipublikasikan oleh Darwin yang di kala itu sudah menjadi seorang naturalis terpandang dengan reputasi yang biasa-biasa saja.
Ini adalah babak klasik dalam sejarah ilmu pengetahuan, kisah tentang sebuah kebetulan dan konsekuensinya yang berulang-ulang dikisahkan dalam banyak buku tentang bagaimana biologi evolusi terwujud: rumusan yang nyaris serempak tentang apa yang saat ini kita pikir sebagai teori Darwin yang merupakan karya Darwin sendiri dan seorang pemula yang masih muda, Alfred Russel Wallace. Klasik atau tidak, dewasa ini banyak orang yang tidak menyadari sejarah tersebut. Wallace yang semasa hidupnya terkenal sebagai mitra junior Darwin dan juga terkenal karena sumbangsihnya yang lain terhadap ilmu pengetahuan dan pemikiran sosial, terlupakan setelah dia berpulang pada tahun 1913. Pada beberapa dasawarsa belakangan ini, kemasyhurannya dihidupkan kembali, baik oleh para cendekiawan yang menggali setiap aspek kehidupan Darwin—Wallace merupakan bagian yang amat penting—maupun oleh sejumlah penulis bacaan populer. Batu nisannya, di desa Broadstone, tidak lagi berdiri goyah dan dirambati dahan-dahan pohon. Fotonya kini digantung di samping foto lama Darwin di dalam ruang rapat Linnean Society di London.
Kepada perkumpulan ilmiah inilah penemuan-bersama Darwin-Wallace diumumkan 150 tahun lalu pada 1 Juli 1858 malam. Berbagai tulisan Wallace tentang beraneka pokok bahasan, dari teori evolusi dan keadilan sosial hingga kehidupan di Mars mulai hadir kembali dalam bentuk cetak ataupun muncul di internet. Wallace dikenal di kalangan ahli sejarah ilmu pengetahuan sebagai pendiri biogeografi evolusi (kajian tentang spesies apa tinggal di mana, dan mengapa), khususnya sebagai perintis biogeografi pulau (dari ilmu inilah tumbuh biologi pelestarian), sebagai ahli teori awal tentang mimikri adaptif, dan sebagai tokoh bijak melampaui zamannya yang menyerukan tentang apa yang sekarang ini kita kenal sebagai keanekaragaman hayati. Artinya, Wallace adalah tokoh yang sangat penting dalam transisi dari sejarah alam gaya-lama ke biologi modern. Selama tahun-tahunnya di lapangan, Wallace juga merupakan seorang kolektor yang produktif, penuai keajaiban alam yang tak kenal belas kasihan; spesimen serangga dan burung miliknya memperkaya koleksi museum dan ilmu taksonomi. Namun, tetap saja, kebanyakan orang yang mengenal Alfred Russel Wallace mengenalnya hanya sebagai mitra yang ada di bawah bayang-bayang Charles Darwin, orang yang bersama-sama menemukan teori evolusi oleh seleksi alam, tetapi tidak mendapatkan penghormatan yang setara.
!break!
Kisah Wallace memang rumit, terkesan gagah berani, sekaligus membingungkan. Selain sebagai salah seorang ahli biologi lapangan paling hebat pada abad ke-19, Wallace adalah orang yang berpendirian keras dan temperamental, antusiasmenya sering berubah-ubah, jiwanya yang resah tidak pernah merasa puas dengan tempat tinggalnya, memercayai alam gaib dan pertemuan dengan ruh, penggemar frenologi (studi tentang kepribadian seseorang berdasarkan bentuk dan ukuran tengkorak), menjalani sambil lalu mesmerisme (hipnotisme), belakangan menolak teori Darwin dalam hal perkembangan otak manusia, penentang vaksinasi cacar air, dan pendukung gerakan nasionalisasi kepemilikan tanah pribadi yang luas. Semua hal tersebut dan berbagai sifat eksentrik lainnya menyebabkan para pencela Wallace memiliki alasan untuk meremehkannya sebagai orang aneh. Mereka memang meremehkannya. Pertanyaan yang tak seorang pun cendikiawan dan penyusun biografi menjawabnya secara memadai adalah: bagaimana memahami sekaligus berbagai prestasi yang luar biasa, pendirian yang radikal, dan fanatisme yang sembrono ada di dalam diri seorang manusia—sosok empirisis paripurna serta seorang naturalis lapangan? Seandainya saja dia ini, Alfred Wallace, bukan tokoh yang nyata, pastilah hanya seorang novelis ganjil yang bisa menciptakannya.
Hal mendasar pertama dalam biografi Alfred Wallace adalah bahwa baginya, sama seperti bagi Will Shakespeare (yang miskin), tetapi tidak demikian bagi Charles Darwin (yang berada), kemelaratan adalah pangkal dari penemuan. Dia adalah pemuda yang selalu ingin tahu, yang berasal dari keluarga tak berpunya. Pada usia 14, tahun 1837, setelah meninggalkan sekolah, dia bekerja. Darwin yang saat itu adalah seorang pemuda bangsawan berusia 28 tahun dengan ayah hartawan yang mendanai petualangan ilmiahnya, baru pulang dengan menumpang kapal Beagle.
Wallace bisa dikatakan otodidak, sering mengunjungi perpustakaan dan serikat pekerja selama kurun sepuluh tahun dia bekerja sebagai penyigi lahan, tukang bangunan, dan guru di kota Leicester. Pada mulanya dia berkenalan dengan kehidupan dan berbagai tulisan Robert Owen, pendiri sosialisme Inggris yang menjadi “guru pertamanya dalam filsafat sifat manusia,” demikian yang diingat Wallace di kemudian hari dan hal itu memengaruhinya dalam membangun pendirian sosialismenya sendiri. Pada masa penyigiannya yang terutama dia jalani di pedesaan Wales, Wallace tertarik pada alam lewat pengamatannya terhadap tetumbuhan. Dia sering berjalan jauh melintasi lahan tandus dan pegunungan, melatih dirinya sendiri untuk mengidentifikasi keluarga tumbuhan dengan bantuan buku panduan yang harganya murah. Pekerjaannya sebagai guru memberinya waktu untuk membaca berbagai jenis bahan bacaan, termasuk Personal Narrative of Travels karya Humboldt dan, tentu saja, Essay on the Principle of Population karya Malthus yang telah mengilhami pemikiran Charles Darwin tentang perjuangan untuk bertahan hidup dan yang kemudian juga mengilhami pemikiran Wallace. Meskipun Wallace menyadari bahwa dia tidak cocok menjadi guru, setahun di Leicester menghasilkan satu peristiwa yang terus dikenang: dia berteman dengan seorang pemuda bernama Henry Walter Bates, yang pernah magang sebagai pembuat kaus kaki, yang memperkenalkannya kepada kenikmatan mengoleksi kumbang.
Buku selalu penting bagi Wallace dan dia bersaksi bahwa dua buku telah membantunya menetapkan jalan hidupnya. Salah satu di antaranya adalah Jurnal karya Charles Darwin yang menceritakan perjalanannya dengan kapal Beagle. Jurnal itu berisi paparan kisah perjalanan semarak yang nyaris tidak menyinggung gagasan evolusi. Buku lain yang lebih revolusioner dan kontroversial adalah buku laris tanpa nama pengarang berjudul Vestiges of the Natural History of Creation,diterbitkan tahun 1844, yang menyampaikan visi evolusi tentang kehidupan di Bumi, meskipun tidak dalam bentuk yang menarik bagi sebagian besar pembaca yang berwawasan. Pandangan yang diterima dalam budaya Barat saat itu adalah bahwa Tuhan membentuk semua spesies melalui tindakan khusus penciptaan dan bahwa setiap spesies pada dasarnya ajek, tidak mampu berubah jauh dari tipe idealnya. Keadaan ajek tersebut bukan hanya menjadi dogma agama, tetapi juga menjadi keyakinan ilmiah; filsuf ilmu pengetahuan William Whewell, misalnya, belum lama menulis: “Spesies memiliki keberadaan yang nyata di alam dan transmutasi dari satu spesies menjadi spesies lain tidaklah ada.” Untuk menyanggah pandangan itu, Vestiges menyusun hipotesis “hukum perkembangan” pada makhluk hidup, di mana satu spesies secara bertahap bertransformasi menjadi spesies lain akibat keadaan eksternal, dari bentuk kehidupan sederhana menjadi bentuk kehidupan yang kompleks, hingga menjadi dan termasuk manusia. Hasilnya adalah adaptasi. Tuhan tetap memainkan peran, menurut Vestiges, tetapi hanya dari jarak jauh saja—sebagai perancang utama proses tersebut.
!break!
Buku itu berisi campuran berbagai fakta menarik, pernak-pernik aneh tentang spesies tertentu, wawasan praktis, hipotesis yang yang lemah, dan lompatan liar dari satu teori ke teori lainnya, yang menimbulkan reaksi beragam atau menghibur para pembacanya, mulai dari Ratu Victoria, John Stuart Mill, hingga Florence Nightingale. Darwin menilai buku ini lemah, tetapi menarik. Wallace yang lebih muda dan lebih mudah terpukau menganggap ada “hipotesis yang orisinal dan cerdas” dalam buku itu, hipotesis yang masih harus dibuktikan kebenarannya, atau kekeliruannya, lewat penelitian lebih lanjut. Baginya, Vestiges menampilkan “rangsangan” untuk menggali data sejarah alam sekaligus mengemukakan hipotesis baru yang dapat digunakan untuk menguji kebenaran data baru. Karena merasa tergugah, Wallace dan temannya Bates menyusun rencana untuk berangkat menuju hutan hujan Amazon dalam rangka mencari data seperti itu.
Karena boleh dikatakan tidak punya uang, mereka mendanai biaya penelitian dengan mengirim berbagai spesimen sejarah alam ke Inggris untuk dijual ke sejumlah museum dan kolektor perorangan. Yang paling banyak diminati adalah kupu-kupu, kumbang, burung, dan jika semakin langka dan indah, semakin baik. Wiraniaga mereka adalah Samuel Stevens dari Jalan Bloomsbury di London, seorang lelaki jujur yang berperan penting dalam kehidupan Wallace, yang menghubungkannya dengan para pembeli dan pada akhirnya dengan para ilmuwan Inggris.
Petualangan Wallace selama empat tahun di Amazon—menjelajahi kawasan hulu sungai terpencil di sepanjang Rio Uaupés dan tempat lainnya (sementara Bates menempuh perjalanan yang berbeda), melakukan pengamatan, mengumpulkan spesimen, membuat catatan, menggambar sketsa—merupakan sebuah kemenangan dari ketekunan, sangat besar nilainya sebagai sebuah latihan, tetapi berakhir dengan malapetaka. Wallace berlayar pulang dari Pará (Belém), Brasil, Agustus 1852, menumpang kapal Helen yang kemudian terbakar dan karam. Wallace berhasil bertahan hidup dengan sekoci, tetapi semua koleksi bawaannya yang terdiri atas ribuan serangga dan mungkin ratusan kulit burung, musnah. Kemudian kapal yang menyelamatkannya, perahu yang diragukan kualitasnya, Jordeson, dilanda topan yang ganas dan juga nyaris karam. “Lima puluh kali aku bersumpah sejak meninggalkan Pará,” begitu Wallace menulis surat kepada temannya, “jika aku akhirnya mencapai Inggris, aku tak akan pernah lagi mengarungi lautan. Namun, niat baik itu dengan segera luntur.” Baru beberapa hari terpincang-pincang di darat, Wallace sudah mulai merencanakan perjalanan berikutnya. Kali ini dia akan menuju ke timur, ke dunia penuh pulau.
Ekspedisinya ke Nusantara yang berlangsung lama sungguh berbeda, jauh lebih banyak hasilnya dalam bentuk spesimen dan gagasan. Wallace tiba di Singapura pada bulan April 1854 dan dia menghabiskan waktu delapan tahun berikutnya berzigzag ke pulau-pulau di Nusantara, menggunakan segala macam kapal, mulai dari kapal pos bertenaga uap, sekunar milik saudagar, hingga sampan belongkang. Di darat, dia menjalani kehidupan sebagaimana penduduk setempat, tinggal di rumah-rumah beratap dedaunan kering dan menyantap makanan apapun yang dapat dia beli atau barter. Dia singgah di Sumatra, Jawa, Bali, Lombok, Kalimantan, Sulawesi, Halmahera, Ternate, Bacan, Timor, Seram, kepulauan Aru di ujung timur kepulauan itu, dan di semenanjung Kepala Burung di Papua. Dia berlayar melipir Pulau Komodo (meskipun rajin mencari fauna ternama, dia tetap tidak menyadari keberadaan komodo).
!break!
Di beberapa tempat seperti Serawak dan Aru, dia tinggal selama berbulan-bulan, menjaring kupu-kupu dan menangkap kumbang di hutan sekitar, menembak burung, atau sekadar mengolah spesimen dan kesan-kesannya, merawat kakinya yang terkena infeksi, memulihkan kesehatannya setelah terserang malaria, menunggu hujan reda atau angin berganti arah. Dia juga mempelajari bahasa Melayu sekadar cukup untuk memenuhi keperluan di daerah terpencil. Dia mempekerjakan seorang pemuda Kalimantan bernama Ali untuk membantunya berburu burung dan mengerjakan tugas-tugas lainnya. Pergi ke mana pun, Wallace mengumpulkan, menyiapkan, dan mengemas serangga, kulit burung, dan kulit mamalia dengan penuh kehati-hatian, selalu menjaganya sampai dia mencapai pelabuhan, kemudian mengapalkan barang konsinyasi itu kepada Samuel Stevens di London.
Dari Aru yang kecil saja, dengan cendrawasih dan satwa istimewa lainnya, Wallace berhasil membawa lebih dari 9.000 spesimen yang berasal dari 1.600 spesies, banyak di antaranya baru bagi ilmu pengetahuan. Dia memperkirakan, seluruhnya mungkin bernilai sekitar 500 pound sterling. Stevens menjualnya dengan harga dua kali lipat—yang nilainya sekitar 940.000.000 juta rupiah saat ini.
Jumlah spesimen yang diperoleh dari Aru, yang mencerminkan nisbah spesimen terhadap spesies nyaris sebesar enam berbanding satu, menyiratkan fakta penting yang menentukan tentang Alfred Wallace dan cara kerjanya. Karena berperan sebagai kolektor komersial sekaligus ahli sejarah alam, dia menghendaki banyak spesimen untuk satu spesies tertentu, bukan hanya satu atau dua spesimen saja yang mewakili spesies itu, terutama jika spesies itu terlihat mengesankan, seperti kupu-kupu sayap burung, kumbang sungut panjang, atau burung cenderawasih. Di Amazon, Wallace mengumpulkan 12 spesimen burung merah menyala yang menakjubkan, cock-of-the-rock Guyana (Rupicola rupicola) dan mengakui bahwa dia pasti sudah akan menangkap 50 ekor kalau saja burung itu tidak langka dan susah diperoleh.
Di Aru pun sama, dengan rakusnya dia mengumpulkan sebanyak-banyaknya spesimen cendrawasih kuning besar (Paradisaea apoda). Meski demikian, belakangan, sewaktu melakukan ekskursi di sepanjang Sungai Maros, Sulawesi, dia berhasil memperoleh enam spesimen Papilio androcles yang bagus, salah satu kupu-kupu jeruk terbesar, dengan ekor putihnya yang panjang terjurai seperti pita hias. Dari Pulau Waigeo, tepat di lepas pantai Kepala Burung Papua, dia memanen 24 ekor cendrawasih merah (Paradisaea rubra). Tujuan Wallace mengumpulkan banyak spesimen bukan hanya untuk mendapatkan persediaan spesies yang teramat cantik dalam jumlah banyak untuk dijual; tetapi juga karena hasratnya untuk mewakilkan setiap spesies dalam koleksi pribadinya dengan “seri yang bagus” dari setiap jenis.
!break!
Konsekuensi dari aktivitas pengumpulan yang berlebihan seperti itu adalah Wallace melihat dan mengenali—yang jika dibandingkan, Charles Darwin lebih lambat dalam melihat dan mengenali—sesuatu yang penting tentang makhluk di alam liar: bahwa di antara individu dalam setiap spesies memiliki variasi yang sangat beragam. Tidak setiap spesimen Papilio androcles mempunyai ekor yang sama panjangnya dan sama putihnya dengan sesamanya. Tidak setiap burung cendrawasih kuning besar sama besarnya dengan sesamanya. Setiap individu bervariasi secara genetis dari saudara kandung dan sepupunya dalam berbagai hal yang sepertinya membuktikan ketidakadilan fisiologis dan nyata.
Wawasan ini krusial bagi gagasan tentang evolusi melalui seleksi alam. Variasi individual memberikan materi yang berbeda agar seleksi bisa berlangsung. Darwin mengakui adanya variasi seperti itu pada spesies yang dipelihara manusia, tetapi baru menyadari adanya kelaziman dalam hal tersebut di alam pada saat melakukan proyek yang panjang tentang klasifikasi teritip. Ini adalah sebuah penyimpangan selama delapan tahun di dalam perjalanannya yang lamban untuk menerbitkan teorinya. Wallace membutuhkan waktu yang lebih singkat untuk mencapai hal tersebut karena dalam keadaan terpaksa membiayai hidupnya sebagai kolektor komersial, dia terus-menerus menyaksikan keragaman dalam kumpulan koleksinya.
Pola penyebaran spesies dalam ruang dan waktu memberikan berbagai petunjuk lain yang menuju sebuah teori evolusi. Pola-pola tersebut tidak terlalu banyak mengungkapkan kepada Wallace tentang bagaimana proses evolusi itu mungkin terjadi, tetapi menegaskan kembali hipotesisnya (diturunkan dari buku Vestiges) bahwa spesies memang mengalami evolusi, dari satu spesies menjadi yang lain, melalui semacam proses pewarisan dan transformasi alamiah.
Meskipun Wallace tidak menggunakan istilah “biogeografi”, sudah sejak 1852 dia menerapkan cabang ilmu pengetahuan tersebut. Setelah kembali dari Brasil, Wallace menerbitkan makalah berjudul “On the Monkeys of the Amazon” dan dalam tulisan itu dia menguraikan penyebaran spesies monyet di bagian hulu Basin Amazon dan menunjukkan bahwa setiap spesies menghuni salah satu sisi dari tiga sungai besar yang saling bertemu: sungai utama Amazon, sungai Negro, dan sungai Madeira. Fakta ini sangat menarik perhatiannya. Jika Tuhan menciptakan semua spesies dari nol dan menempatkan mereka di lokasinya yang sesuai, mengapa Tuhan tidak menempatkan monyet di kedua sisi sungai?
Tiga tahun kemudian di Kalimantan, tatkala sedang menunggu berakhirnya musim hujan di sebuah rumah kecil yang sepi di dekat muara Sungai Serawak, tanpa teman kecuali kokinya yang orang Melayu, Wallace teringat pada beberapa buku yang pernah dibacanya (seperti Treatise on the Geography and Classification of Animals karya Swainson, Travels karya Humboldt, jurnalnya Darwin) dan sejumlah katalog museum yang pernah dia periksa. Semua sumber itu menyajikan banyak sekali data mentah tentang penyebaran satwa di dunia—spesies dan kelompok spesies mana yang ada di suatu tempat, tapi tidak ada di tempat lain. Burung kolibri hanya terdapat di Amerika; burung madu hanya di Dunia Lama, dari Afrika barat terus ke arah timur. Burung tukan adalah famili burung Amerika tropis; burung enggang kira-kira menempati ceruk yang sama dengan tukan, tetapi di Afrika tropis, Asia, dan kepulauan timur. Pola yang sama juga terlihat pada serangga, ikan, reptil, mamalia, dan tumbuhan. Wallace sangat penasaran, ingin tahu mengapa demikian. Menurut perkiraannya, begitu tulisnya kemudian, “fakta ini belum pernah dimanfaatkan secara patut sebagai petunjuk tentang cara spesies menjelma.”
!break!
Dia juga ingat, setelah membaca tiga jilid opus karya Charles Lyell tentang geologi dan rekaman fosil, bagaimana spesies yang bermiripan tampak muncul berturutan dengan berjalannya waktu. Dengan menggabungkan kedua bentuk bukti ini, secara geografis dan geologis, Wallace merumuskan apa yang dinamakannya “hukum” asal-usul spesies: “Setiap spesies menjelma secara serta-merta di dalam ruang dan waktu bersama spesies sebelumnya yang berkerabat dengannya.” Dia menyusun makalah yang membahas gagasan itu dan melayangkannya ke London. Pokok bahasan yang tersirat, yang jelas tetapi tidak dinyatakan, adalah evolusi—spesies yang “berkerabat erat” (mirip) muncul berdampingan dalam ruang geografi dan dalam waktu geologi karena mereka diturunkan dari leluhur yang sama. Wallace saat itu yakin akan fakta dasar evolusi tersebut. Namun, dia masih belum dapat mengemukakan mekanisme yang melatarbelakangi transformasi itu.
Makalahnya langsung dimuat dalam sebuah jurnal sejarah alam yang bermutu, tetapi kebanyakan orang yang membacanya, termasuk Darwin, tidak menyadari bahwa isi makalah itu adalah perwujudan langkah besar kedua dari seorang naturalis muda yang belum dikenal menuju teori asal-usul evolusi. Alih-alih umpan balik positif dan perdebatan ilmiah yang sebenarnya diharapkan Wallace, dia malah mendapatkan pesan dari Samuel Stevens yang menyampaikan bahwa beberapa orang naturalis menggerutu bahwa Wallace yang masih muda itu sebaiknya berhenti berteori dan berpaku pada kegiatan pengumpulan fakta saja.
Wallace mengabaikan saran yang meremehkan dirinya itu. Dalam persinggahannya di pulau Bali dan Lombok yang dipisahkan oleh selat yang dalam, tetapi sempit, dia mengamati adanya serangkaian pola ada-dan-tiada lainnya. “Di Bali ada burung letuk-letuk, murai, dan pelatuk,” begitu tulisnya. Di Lombok, “ketiga spesies ini sudah tidak terlihat lagi, tetapi banyak sekali burung kakatua, burung isap madu, dan burung gosong, yang sama sekali tidak ada di Bali atau di pulau lain yang lokasinya lebih ke barat.” Dia kemudian juga menyaksikan disparitas yang serupa di antara pulau-pulau yang lebih besar, yakni Kalimantan dan Sulawesi yang lokasinya tepat di bagian utara dan saling berhadapan dengan dipisahkan oleh selat lain yang juga dalam. Kalimantan, pulau yang terletak di sebelah barat, dihuni oleh berbagai jenis monyet, kucing liar, rusa, musang, linsang, dan bajing yang sangat beraneka ragam. Sulawesi, yang terletak di sebelah timur, dihuni oleh beberapa mamalia asli, salah satu di antaranya kuskus berkantung, yang spesies “kerabatnya” (kuskus yang berbeda, dan mamalia berkantung atau marsupilia pada umumnya) dapat ditemukan ke arah timur, di seluruh Maluku, Papua, dan Australia. Semua fakta ini cocok dengan visi evolusi biogeografi secara lebih meyakinkan daripada dengan dogma religius tentang penciptaan khusus.
Langkah ketiga untuk menuju teorinya adalah langkah yang diambilnya pada tahun 1858 di suatu tempat di Ternate atau di sekitarnya, ketika dia secara tiba-tiba menggabungkan berbagai petunjuk dari biogeografi dengan fenomena keragaman intra-spesies, yakni wawasan Malthus tentang pertumbuhan populasi secara berlebihan, fakta bahwa makanan dan habitat bersifat terbatas, meski di saat laju reproduksi tidak terbatas, dan kenyataan bahwa kebanyakan anak yang lahir dari suatu spesies tidak dapat bertahan hidup. “Jika secara samar-samar direnungkan dampak dari kehancuran yang luar biasa dan terus-menerus ini, mau tak mau aku bertanya dalam hati, Mengapa ada sebagian yang mati dan sebagian sanggup bertahan hidup?” Jawabannya adalah bahwa varian yang paling cocok dengan keadaanlah yang sanggup bertahan hidup. “Antelop berkaki lebih pendek atau lebih lemah pastilah lebih rentan terhadap serangan keluarga kucing karnivora,” demikian katanya. Lebih lanjut, proses ini pasti menghasilkan perubahan arah yang adaptif dalam spesies itu secara keseluruhan. Mengapa jerapah berleher panjang? Karena yang berleher pendek tidak berhasil melahirkan keturunan yang sanggup bertahan hidup.
Dengan penuh semangat, Wallace mengirimkan naskahnya kepada Darwin yang dikenalnya sebagai seorang yang bersahabat, meskipun merupakan sahabat pena dalam urusan ilmu pengetahuan yang suka menjaga jarak. Dalam surat pengantarnya, Wallace mengatakan bahwa dia berharap gagasan tersebut akan mencengangkan Darwin, sebagaimana yang juga dirasakannya.
!break!
Tentu saja Darwin tidak tercengang. Bagi Darwin, gagasan itu sudah berumur 20 tahun dan itu adalah gagasannya. Namun, meski sudah selama dua dasawarsa melakukan penelitian yang terus menerus, mengasah pendiriannya, mengalami godaan dari berbagai proyek lain, dan keraguan, Darwin tidak pernah menerbitkannya sehingga tidak memiliki bukti bahwa dialah yang pertama kali merumuskan gagasan itu.
Alfred Wallace sedang terjebak di pantai Papua, menderita akibat cuaca basah, kelaparan, dan demam pada suatu senja di bulan Juli ketika makalahnya, bersama tulisan Darwin yang belum diterbitkan, dibacakan sebagai presentasi bersama di hadapan Linnean Society. Peristiwa itu, sebuah hasil kompromi yang rentan dan agak angkuh yang memberikan kesempatan kepada Darwin untuk secara bersama-sama mengumumkan penemuan tersebut bersama Wallace, diatur oleh dua orang ilmuwan sahabat Darwin yang sangat berpengaruh. Wallace sendiri tidak dimintai pendapat soal perhelatan tersebut, meskipun dia merasa senang dan tersanjung ketika mendengar berita itu. Pada bulan November tahun berikutnya, 1859, Wallace masih berada di Nusantara, masih tetap mengejar spesies kupu-kupu baru, dan menjalani kerasnya kehidupan, ketika Charles Darwin menerbitkan On the Origin of Species, buku yang dengan terburu-buru ditulisnya setelah dipicu oleh makalah Wallace. Wallace menerima salinan yang dikirim untuknya melalui kapal pos sebagai bentuk penghargaan dari Darwin, dan membacanya lima atau enam kali, dan setiap kali merasa terkesan oleh cara Darwin meramu seluruh pokok bahasan itu secara padu. “Ini adalah ‘Principia,’ dalam bidang sejarah alam,” begitu tulisnya kepada seorang teman lama.
“Bapak Darwin telah memberikan kepada dunia sebuah ilmu pengetahuan baru dan menurut pendapatku namanya patut dianggap lebih penting daripada nama filsuf masa lalu dan zaman modern mana pun. Inilah pujian tertinggi yang dapat kuberikan untuknya!!!” Jika nama Darwin lebih penting daripada nama filsuf mana pun, jelas akan lebih penting pula daripada nama Wallace sebagai pengarang teori evolusi ini. Memang seperti itulah yang terjadi. Namun, Wallace, sebagai sosok yang rendah hati, yang merasa cukup nyaman dengan kekuatan dan keterbatasannya sendiri, tidak mempersoalkannya.
Pada waktu yang hampir bersamaan, Wallace mengirimkan makalah lain ke London untuk diterbitkan dalam jurnal Linnean Society dengan judul “On the Zoological Geography of the Malay Archipelago”.
Dalam makalahnya, dia menulis secara lebih terperinci tentang pengamatannya atas penyebaran satwa untuk mengenali dua wilayah biogeografi yang sangat berbeda, India dan Australia. Tariklah garis melalui selat antara Kalimantan dan Sulawesi, teruskan ke selatan antara Bali dan Lombok, maka di sebelah barat garis itu akan kita dapati primata, karnivora (termasuk harimau, ada di Bali, tetapi tidak lebih jauh dari situ), insektivora, ayam pegar, burung luntur, cucak-cucakan, dan spesies lain yang khas Asia; di sebelah timurnya akan kita dapati burung kakaktua, burung serindit, kasuari, burung gosong, kuskus dan mamalia berkantung lainnya, serta jauh lebih banyak jenis burung betet daripada bajing. Kedua wilayah ini, meskipun kondisi iklim dan habitatnya bermiripan, dihuni oleh dua kelompok satwa yang benar-benar berbeda. “Fakta semacam ini hanya bisa dijelaskan dengan penerimaan penuh atas perubahan besar di permukaan Bumi,” begitu tulis Wallace. Yang dimaksudkannya adalah: tidak begitu saja Tuhan menempatkan spesies di tempat kita menemukannya. Sejarah, evolusi, sebaran ekologis, dan perubahan geologislah yang menempatkannya.
!break!
Delapan tahun kemudian, ahli anatomi yang brilian dan juga pendukung Darwin, Thomas H. Huxley, menyebut batas timur-barat ini sebagai “garis Wallace” dan nama itu terus abadi sampai sekarang. Meskipun Wallace dengan tepat menyimpulkan bahwa Bali dan Kalimantan dulu pernah menjadi bagian dari daratan Asia, dia tidak tahu bahwa mendangkalnya laut (selama zaman es) telah menyebabkan kedua daratan itu sesekali menyatu; dia juga tidak dapat membayangkan bahwa Sulawesi adalah sebuah pulau tak lazim yang terbentuk akibat bertemunya beberapa lempeng tektonik. Namun, dia memiliki beberapa petunjuk yang memperkirakan hal tersebut dengan presentasi yang spesifik dari sejumlah bukti yang berhasil dikumpulkannya selama tahun-tahun ketika dia mencari dan mengumpulkannya. Garis Wallace, yang memisahkan wilayah Asia Tenggara dari wilayah Australia, menjadi salah satu fakta mendasar dalam biogeografi modern. Garis itu sendiri hanyalah cara menjelaskan perbedaan antara fauna Asia dan Australia; yang membuatnya istimewa dan bermanfaat adalah berbagai pertanyaan yang berkaitan dengan evolusi, ekologi, dan geologi jadi tersalurkan. Alfred Wegener, yang mengajukan teori pergeseran benua di awal abad ke-20, pastilah termasuk salah seorang ilmuwan yang harus berterima kasih pada karya Alfred Russel Wallace ini.
Wallace kembali ke Inggris pada tahun 1862, dan saat itu edisi ketiga On the Origin of Species sudah terbit dan Charles Darwin semakin dikagumi dan dikecam di penjuru dunia. Wallace tiba di London sambil membawa dua ekor cendrawasih yang masih hidup, yang dijualnya ke Zoological Gardens. Darwin menyambut kedatangannya sebagai sejawat yang berharga dan mengundang Wallace berkunjung ke rumahnya segera setelah Wallace turun dari kapal. Selama ekspedisinya di Nusantara, Wallace memperkirakan dia telah menempuh perjalanan sejauh 22.500 kilometer di kepulauan itu (tidak termasuk jarak London-Singapura), terdiri atas 60 atau 70 kali perjalanan terpisah, dan mengumpulkan 125.660 spesimen. Berkat Samuel Stevens, Wallace memiliki cukup banyak uang yang menunggunya di Inggris.
Namun, kehidupan selanjutnya tidaklah mudah bagi Wallace. Dia kehilangan tabungan dalam jumlah yang cukup berarti akibat investasi yang ceroboh dan dia juga ikut menafkahi anggota keluarganya, termasuk ibunya. Dia berusaha melamar dua pekerjaan yang menarik (pengurusan museum, pengelolaan hutan), tetapi tidak berhasil dan mau tidak mau harus terus bekerja. Jadi, dia menyibukkan diri sebagai penulis lepas yang mengerjakan artikel dan buku. Pekerjaan itu memberinya kebebasan untuk berpikir dan melakukan penelitian sebagaimana yang diinginkannya, tetapi tidak menjamin masa depannya. Pada awal 1869 dia sudah beristri dan punya dua orang anak. Pada tahun itu pula dia menerbitkan The Malay Archipelago, uraian istimewa tentang perjalanannya di kepulauan di belahan timur. Pada tahun 1880, ketika keadaan keuangan Wallace sangat memerihatinkan, Darwin membantu mitranya itu, giat melakukan lobi, dan berhasil mengupayakan agar Wallace mendapatkan pensiun khusus dari pemerintah.
Karier Wallace selanjutnya dan pemikirannya yang beragam terlihat jelas dalam berbagai buku terbitannya. Di antaranya adalah Contributions to the Theory of Natural Selection (1870), On Miracles and Modern Spiritualism (1875), The Geographical Distribution of Animals (1876), Tropical Nature, and Other Essays (1878), Island Life (1880), Land Nationalisation (1882), Bad Times: an Essay on the Present Depression of Trade (1885), Is Mars Habitable? (1907), dan The Revolt of Democracy (1913). Ketika dia menerbitkan wacana lengkap tentang seleksi alam, pada tahun 1889, dengan kerendahan hati yang menjadi sifatnya, dia memberinya judul Darwinisme. Eponim (pencantuman nama) tidaklah penting baginya; yang penting adalah gagasan; dan dia benar-benar tidak peduli siapa yang mendapatkan nama harum untuk suatu karya tertentu.
Wallace telah menjalani kehidupan yang kaya bagi seseorang yang tidak mendapatkan pendidikan yang terlalu tinggi dan tidak pula kaya raya. Dia telah menempuh perjalanan jauh dan luas, baik dalam dunia nyata maupun dunia ilmu. Wallace telah menemukan garis kehidupannya. Tidak ada garis yang mirip dengan yang dimilikinya.
Penulis | : | |
Editor | : | Administrator |
KOMENTAR