Nationalgeographic.co.id - Pasca Perang Dunia II, Amerika Serikat harus berlomba melawan Uni Soviet agar bisa menguasai antariksa. Misi pertama mereka yang membawa manusia adalah Mercury Freedom 7 pada 5 Mei 1961.
Berangsur kemudian, lewat NASA, Amerika terus menjalankan petualangan menembus atmosfer Bumi, seperti Apollo 11 yang mengirimkan manusia pertama ke Bulan.
Meski demikian, pesawat antariksa yang digunakan masihlah sekali pakai. Barulah pada 12 April 1981, lewat pesawat Columbia, NASA bisa menerbangkan pesawat berawak yang dapat digunakan berkali-kali.
Setelah 36 kali mengorbit Bumi, Columbia mendarat di landasan dasar danau kering yang menjadi pangkalan anngkatan udara Amerika Serikat di California. Pendaratan itu disambut hangat oleh masyarakat yang menonton di sekitar lokasi.
Tetap saja, misi NASA belum pernah satu pun yang melibatkan masyarakat sipil, terutama selain kalangan kulit putih. Padahal selama dekade 1960-1970-an, Amerika Serikat mengalami pergolakan kesetaraan hak untuk kulit hitam dan perempuan.
Terlebih pada 1960 hingga 1970-an sendiri Amerika Serikat mengalami pergolakan akan hak kesetaraan dan penolakan diskriminasi terhadap kulit hitam dan perempuan.
1986, impian inklusif itu terwujud lewat pesawat antariksa Challenger yang secara teknologi digadangkan lebih unggul dari Columbia.
"Pada awalnya, satu hal yang jelas adalah setiap astronaut itu adalah pria kulit putih Anglo-Saxon," kenang Frederick Gregory, CAPCOM misi itu dalam dokumenter Challenger: the Final Flight.
"Sepertinya NASA memutuskan untuk tidak mempertahankan tradisi tersebut. Kejadian '70-an itu membuat kami sadar, bahwa kami harus memperluas pandangan kami. Mereka memiliki kampanye yang sangat positif dan kuat untuk mendorong perempuan dan minoritas [dalan misi]."
Baca Juga: Tragedi Soyuz-11: Manusia Pertama yang Gugur di Luar Angkasa
Tak hanya melibatkan Christa McAuliffe seorang guru sipil dari New Hampshire, tapi juga Ronald McNair ahli fisika yang sekaligus menjadi awak kulit hitam pernah dalam sejarah penerbangan antariksa NASA.
"Kami adalah tim yang paling beragam dari setiap perekrutan pemerintah," lanjut Gregory yang juga menjadi salah satu 35 orang terpilih dalam misi, bersama McNair dan McAuliffe
Pria kelahiran 21 Oktober 1950 itu sebenarya sudah menyukai dunia sains, ruang angkasa, dan astronaut sejak bersekolah di Carver High School. Meski demikian bukanlah hal yang mudah untuk mendapatkan ilmu dan mimpi yang besar seperti astronaut.
Pernah ketika Ron—nama akrab McNair—masih berusia sembilan tahun, ia berjalan satu mil ke perpustakaan kota untuk meminjam buku tanpa sepengetahuan orangtuanya. Walau perpustakaan itu terbuka untuk publik, tetap saja tidak terbuka untuk orang kulit hitam pada masanya.
"Jadi, ketika dia berjalan di sana, semua orang menatapnya—karena semuanya orang kulit putih—dan mereka menatapnya dan berkata, 'Siapa orang Negro ini?'," kenang Carl McNair, kakak Ron, dikutip dari NPR.
Ron diusir oleh penjaga perpustakaan, tetapi dia tetap bertahan di sana. Tak ada pilihan lain bagi petugas perpustakaan untuk memanggil polisi dan ibunya. Ron lagi-lagi tetap bersikeras agar bisa meminjam buku, hingga akhirnya dia mendapatkannya.
Tekatnya itu membuat Ron akhirnya mendapatkan gelar sarjana di bidang fisika teknik secara cumlaude di North Carolina Agricultural and Technical State University pada 1971.
Selanjutnya ia mendapatkan gelar Ph.D pada tahun 1976 di bidang fisika dari Massachusetts Institute of Technology (MIT). Bahkan, Ron mendapatkan gelar doktor kehormatan dan menjadi staf fisika di Hughes Research Lab.
Pada 1978 dia terpilih sebagai tim astronaut NASA setelah diseleksi dari sekitar 10.000 pelamar. Ronald McNair sendiri selanjutnya terpilih sebagai tujuh awak pesawat Challenger.
Baca Juga: Tantangan Besar NASA Selanjutnya? Mencuci Pakaian di Luar Angkasa
Pada 3 Februari 1984, dalam misi keempat Challenger, yakni STS-41-B, dia juga turut meluncur sebagai astronaut. Misi ini bertujuan untuk mengorbitkan dua satelit komunikasi, salah satunya adalah Palapa B2.
"Saat masih muda, ada acara TV berjudul Star Trek," kata Carl menanggapi pencapaian saudaranya. "Sekarang, Star Trek ada di masa depan—dimana ada orang kulit hitam dan orang kulit putih yang bekerja sama."
Pukul 11.38 tanggal 28 Januari 1986, misi kesepuluh pesawat Challanger tiba. Misi ini sendiri bertujuan untuk meluncurkan satelit komunikasi TDRS-B, pengamatan komet, dan pengajaran tentang luar angkasa oleh Christa McAuliffe (Teacher in Space Project).
Baca Juga: Mitos seputar ledakan pesawat antariksa Challenger
Rencananya, McNair juga akan memainkan saksofon sebagai rekaman musik di dalam misi ini.
Peluncuran ini disaksikan banyak orang saat itu karena membawa masyarakat sipil untuk pertama kalinya, dan terdiri dari kelompok yang beragam, termasuk orang Asia-Amerika pertama. Tujuan utama misi ini adalah untuk meluncurkan satelit komunikasi TDRS-B.
Naas, satu menit 13 detik dari peluncurannya, pesawat Challenger mengalami kesalahan teknis yang diawali dari munculnya nyala api hingga akhirnya meledak. Seketika itu juga ketujuh awak tewas dalam kecelekaan ini.
Untuk mengenang jasa mereka, presiden George W. Bush memberikan gelar kehormatan pada 2004. Sebuah monumen khusus Ronald McNair didirikan persis di dekat perpustakaan masa kecilnya, Lake City Public Library. McNair pun menjadi nama program beasiswa
Baca Juga: Tantangan Besar NASA Selanjutnya? Mencuci Pakaian di Luar Angkasa
Source | : | NPR |
Penulis | : | Afkar Aristoteles Mukhaer |
Editor | : | Mahandis Yoanata Thamrin |
KOMENTAR