Surgutneftegas menggunakan panen minyak untuk membiayai program modernisasi yang ambisius. Di pusat manajemen ladang minyak, para insinyur komputer telah merancang sebuah peta digital raksasa khusus untuk memantau dan mengatur kinerja ladang tersebut. Peta itu menampilkan data real-time yang dikirimkan dengan sinyal radio tersandi dari stasiun pompa, sumur aktif, dan jalur pipa. Melalui tampilan ini, manajer bisa melihat berapa daya listrik yang terpakai, adakah sumur yang perlu perbaikan, atau adakah saluran pipa yang bocor.
!break!
Perlindungan lingkungan, yang hampir tak diperhatikan selama era Soviet, kini menjadi bagian dari etos yang baru. Ini bukan berarti bahwa industri perminyakan tiba-tiba peduli tentang flora dan fauna. Lebih tepatnya, harga minyak yang mahal menjadi insentif agar meminimalkan yang terbuang, demikian pula kesepakatan lisensi yang menetapkan denda besar jika terjadi tumpahan minyak. Selain itu, karena telah menjadi pemain dunia, perusahaan-perusahaan minyak Rusia menjadi lebih peka terhadap perhatian internasional pada lingkungan. “Mempertahankan reputasi baik sangatlah penting,” ujar Alexey Knizhnikov dari World Wildlife Fund di Moskwa. “Kalau tidak, kegiatan bisnis bisa terhambat.”
Lubov Malyshkina, direktur departemen lingkungan Surgutneftegas, adalah insinyur kimia dengan gelar pascasarjana di bidang ilmu perlindungan terhadap korosi dan geoekologi. Dia juga menjabat sebagai anggota terpilih di parlemen daerah. Pada era Soviet, ujarnya, kementerian perminyakan di Moskwa yang tak memahami kondisi lokal, dulu mengirimkan bahan kimia yang tak manjur untuk menangani tumpahan minyak atau bencana lain. Sekarang departemen Malyshkina, yang menggunakan dana anggaran hampir 4,5 triliun rupiah, langsung membeli sendiri. Dia menunjukkan salah satunya kepada saya: wahana Truxor buatan Swedia dengan kembang ban mirip tank, yang menghancurkan gambut jenuh minyak sehingga tumpahan bisa dibersihkan. Perusahaan tersebut juga menanamkan empat puluh lima miliar rupiah untuk fasilitas baru yang mendaur ulang ban bekas menjadi serat yang bisa dicampur dengan aspal untuk mengaspal jalan milik perusahaan.
Satu sisi industri perminyakan di sini yang tak berubah: pekerjaan neftyanik masih tetap melelahkan dan berbahaya. Di sebuah anjungan sekitar satu jam perjalanan dari Surgut, penduduk desa yang mencari jamur tampak mungil dibandingkan pompa raksasa dengan gerakan berirama yang mirip burung raksasa mematukkan paruhnya ke dalam tanah. Tangga besi yang licin oleh minyak membawa kita ke anjungan, tempat bor melubangi batu dengan mata berlapis intan berdiameter semeter kurang. Bising dan penuh polusi udara, tetapi saya diberitahu bahwa ini merupakan tempat yang nyaman di musim dingin, karena anjungan bor bermandi uap. Karyawan bekerja dengan shift delapan jam selama 30 hari berturut-turut, tidur di lokasi itu juga dalam kereta gandeng, lalu libur hingga maksimum 30 hari di luar lokasi. Alkohol dilarang keras. Karyawan dipersilakan minum sepuasnya selama libur, asalkan tidak mabuk saat masuk kembali.
Namun, pekerjaan itu tetap merupakan jalur menuju kemakmuran yang tak terbayangkan beberapa tahun lalu. Pekerja yang paling tak berpengalaman pun memeroleh gaji sembilan juta rupiah sebulan, sementara tenaga yang paling senior bisa mencapai 36 juta. Ada bonus jika melampaui kuota harian. Neftyanik yang hemat bisa menabung hingga cukup untuk membeli flat dalam kompleks apartemen di Surgut—atau malah rumah tinggal di Lembah Pengemis.
!break!
Semua hal ini tentu saja mengagumkan. Namun, pertanyaan yang lebih penting bagi Surgutneftegas, dan semua perusahaan minyak di Khanty-Mansi, adalah mampukah mereka mengatasi berbagai tantangan teknik, ekonomi, dan politik di masa mendatang. Walaupun sebagian besar analis berpendapat bahwa Siberia bagian barat akan tetap menjadi sumber terbesar minyak Rusia sampai setidaknya 20 tahun mendatang, ladang-ladang minyak di kawasan tersebut semakin tua. Menyedot minyak tambahan dari dalam tanah semakin sulit dan mahal, sementara mempertahankan produksi memerlukan suntikan modal dan keahlian dari luar Rusia. Namun, pajak yang memberatkan—semua penghasilan kotor di atas 225 ribu rupiah per barel masuk ke kas pemerintah federal—dan permainan kekuasaan yang didukung Kremlin membekukan iklim investasi seperti badai salju Siberia. Cukup berkunjung ke Nefteyugansk, sebuah kota berpenduduk 114.000 jiwa di pinggir Sungai Ob, sekitar satu jam dari Surgut, untuk mengetahui sebabnya.
Panen minyak menjadi semburan hitam permasalahan di Nefteyugansk yang memiliki penampilan dan suasana seperti kawasan industri yang kumuh. Di alun-alun kota bertebaran pipa besi sementara di sungai, tong minyak Shell yang hancur mengambang di dekat sebuah dok reyot. Beberapa langkah memasuki gerbang pemakaman umum kota, terletak makam Vladimir Petukhov, penghuni paling tersohor di kompleks kuburan tersebut. Pada 1996 masyarakat kota memilih Petukhov sebagai walikota. Dua tahun kemudian, saat berjalan ke tempat kerja pada suatu pagi di bulan Juni, dia ditembak mati oleh dua orang pembunuh. Goresan di batu nisan marmer hitamnya menggambarkan dia memakai sweter tanpa kerah dan jaket kulit.
Selama lebih dari sepuluh tahun, minyak menjadi pusat perebutan kekuasan yang kejam dan kisruh di Nefteyugansk. Masalah tersebut dimulai pada pertengahan 1990-an ketika seorang bankir kaya baru dari Moskwa mengambil alih salah satu produsen utama minyak Rusia—dan menggeser satu-satunya bos besar di kota itu—dalam suatu lelang privatisasi. Sang bankir, Mikhail Khodorkovsky, menjadikan unit Nefteyugansk sebagai cabang utama dalam perusahaan minyak barunya, Yukos. Namun, dia membuat kesal kota itu dengan menunda pembayaran pajak, menunggak pembayaran upah pekerja berbulan-bulan. Pak walikota Petukhov, seorang mantan neftyanik, memimpin aksi unjuk rasa menentang para penguasa baru dari Moskwa, yang dikatakannya “meludahi muka kita, muka para pekerja perminyakan.” Pembunuhan sang walikota, pada usia 48 tahun, membuat murka warga kota. Banyak di antaranya yang mengaitkan kejadian itu dengan sikapnya yang menentang Yukos. “Utang darah ini atas namamu,” demikian bunyi poster anti-Yuko yang dipasang di balai kota oleh orang-orang yang berkabung atas kematian Petukhov.
Selama lima tahun tak ada seorang pun yang diadili. Selama itu kota tersebut dipimpin oleh pejabat korup yang akhirnya dijebloskan ke penjara karena menggelapkan dana pembangunan rumah pensiun di kawasan Laut Hitam nan sejuk, yang dijanjikan kepada para pekerja perminyakan. Sementara itu, harga minyak naik semakin tinggi, menggembungkan jumlah kekayaan Khodorkovsky. Lalu, palu diketukkan.
!break!
Pada Juni 2003, jaksa penuntut Moskwa menangkap kepala keamanan Yukos dengan tuduhan merencanakan pembunuhan Petukhov. Empat bulan kemudian mereka menangkap Khodorkovsky dengan tuduhan penipuan dan penggelapan pajak. Otoritas pajak menyita cabang Nefteyugansk dan menyerahkannya ke sebuah perusahaan yang dikendalikan Kremlin, Rosneft. Khodorkovsky dinyatakan bersalah dan dijebloskan ke penjara di Siberia bagian tenggara, tempat wajahnya disayat oleh seorang narapidana. Sementara itu, si kepala keamanan dinyatakan bersalah dalam persidangan yang disiarkan secara luas oleh televisi negara. Perkembangan terakhir, jaksa penuntut umum mengumumkan Februari lalu bahwa salah satu pemilik Yukos, Leonid Nevzlin juga akan dituntut atas pembunuhan Petukhov.
Mungkin kejadiannya memang seperti yang dinyatakan pemerintah, tetapi coba tanya penduduk Nefteyugansk tentang pembunuhan tersebut. Kemungkinan besar mereka mengangkat bahu dan menyatakan tak tahu mana yang dapat dipercaya. Elemen-elemen yang terkoordinasi dalam kasus Yukos berbau plot Moskwa, disusun oleh orang-orang bermental KGB yang menguasai Kremlin. Hasilnya yang pasti, ”sapi perahan” tersebut—yang masih merupakan sumber penghasilan kota itu—berpindah dari tangan oligarki Moskwa ke tangan Kremlin.
Ketika saya tiba di kota itu, Sergey Burov sudah empat bulan menjadi walikota. Dia pernah menjabat sebagai wakil direktur Rosneft dan sebelum itu manajer senior di Yukos. Dia pun tak asing dengan kekerasan: Pada 2005, pagi hari saat berjalan ke mobilnya, sebutir peluru bersarang di perutnya. Peristiwa itu sepertinya perbuatan pembunuh bayaran, namun jaksa penuntut umum menutup kasus tersebut tanpa menemukan biang keroknya.
Penulis | : | |
Editor | : | Administrator |
KOMENTAR