Saat itu sekitar tengah malam, dan beberapa pasangan di lantai dansa Palace Restaurant bergoyang perlahan mengikuti lagu bertempo lambat. “Za nas, za neft—Untuk kita, untuk minyak,” demikian senandung sang penyanyi.
Apa pun yang ‘kan terjadi,
Untuk kita, untuk minyak…
Mari penuhi gelas kita.
!break!
Hari itu Hari Perminyakan di Provinsi Khanty-Mansi di Siberia bagian barat. Hari raya yang diperingati setiap tahun ini—untuk menghormati kerja keras para pekerja minyak, kaum neftyaniki—jatuh pada awal September, setelah masa terparah serangan nyamuk musim panas dan sebelum salju pertama turun di bulan Oktober. Beberapa jam sebelumnya, saat petang meremang, ribuan orang berkumpul di sebuah kompleks olahraga luar ruangan. Sebuah panggung berdiri, berbingkai hijaunya hutan lebat yang menjadi latar. Balon-balon dilepaskan, obor dinyalakan, dan para penyanyi melantunkan sebuah lagu:
Hanya ada satu kesenangan bagi kami,
Hanya inilah yang kami butuhkan,
Membasahi muka dengan minyak baru,
Yang menyembur dari pengeboran.
Pantas saja orang Rusia bersulang untuk minyak. Sekarang saatnya panen raya. Harga minyak dunia meningkat sepuluh kali lipat sejak tahun 1998 dan kini Rusia mengalahkan Arab Saudi sebagai penghasil minyak mentah terbesar di dunia. Anggaran Kremlin sekarang berlimpah dana bagi pembangunan sekolah, jalan, dan proyek pertahanan nasional yang baru, sementara orang kaya baru Moskwa menghabiskan miliaran rupiah membangun “dacha” (semacam bungalo) seukuran istana.
Jantung ledakan ekonomi tersebut adalah ladang minyak berpaya-paya di Siberia bagian barat, yang memeroduksi sekitar 70 persen minyak Rusia—sekitar tujuh juta barel per hari. Bagi Khanty-Mansi, sebuah kawasan hampir seluas Prancis, sumber rezeki tersebut memberi kesempatan langka untuk menciptakan kondisi hidup yang modern, bahkan menyenangkan, di kawasan yang namanya menyiratkan tempat yang keras dan terpencil. Ibu kota Khanty-Mansi, tempat berlangsungnya perayaan hari raya ini, tengah dibangun kembali dengan uang dari pendapatan pajak minyak. Bangunan-bangunan baru termasuk terminal bandara (dulunya gubuk kayu dengan kakus di luar), sebuah museum seni yang berisi lukisan dari para maestro Rusia abad ke-19, dan dua sekolah asrama yang berperalatan sangat lengkap untuk anak-anak yang berbakat di bidang matematika dan seni. Bahkan kota pedalaman Surgut yang masih terbelakang beberapa dekade yang lalu, tengah merancang kawasan pinggiran kotanya dan dirundung kemacetan lalu-lintas.
Namun, kesempatan yang diberikan oleh minyak itu bisa saja lepas dari genggaman daerah tersebut. Walaupun harga minyak membubung tinggi, produksi minyak di Siberia bagian barat stagnan dalam beberapa tahun terakhir. Dalam beberapa bulan awal pada 2008, produksi minyak Rusia sebenarnya menurun untuk pertama kalinya dalam satu dekade. Hasilnya pun nyaris tidak meningkat dari 2004 hingga 2007. Itulah periode ketika penguasa Kremlin, kelompok yang bersorot mata dingin dan bertangan besi, mengambil alih ladang-ladang terpilih yang dulu dimiliki oleh raja-raja minyak swasta. Kaum oligarki, sebagaimana diketahui, adalah jenis manusia tamak yang saling sikut untuk mendapatkan bagian terbesar. Namun, mereka juga banyak menanam modal di ladang minyak untuk memaksimalkan produksi dan keuntungan. Sebaliknya, penguasa Kremlin mengeksploitasi minyak bukan hanya untuk menjadikannya sumber kemakmuran bangsa, melainkan juga sebagai alat politis untuk kembali menjadikan Rusia kekuatan utama dunia. Taktik yang kejam tersebut telah membuat investor asing was-was, bahkan bisa-bisa merongrong ledakan ekonomi tersebut—serta kesempatan Khanty-Mansi untuk meraih masa depan yang lebih cerah.
!break!
Cadangan besar minyak Siberia bagian barat terletak di dalam tanah yang disebut oleh seorang tokoh revolusioner Marxis, yang diasingkan dan menderita di gulag, sebagai “tanah buangan dunia”. Namun, bagi yang sukarela berkunjung, daerah minyak tersebut tampak alami dan liar, menarik hati. Medannya terutama terdiri atas taiga—hutan lebat pohon perak, cedar, dan pinus yang semampai—serta boloto, rawa gambut yang nyaris beku sepanjang tahun dan di beberapa tempat dipenuhi gelembung metana. Tak ada gunung, dan sedikit bukit, namun ada banyak danau, sungai, dan kali kecil.
Eksplorasi minyak dimulai dengan serius di sini pada pertengahan 1960-an. Ketika geolog melaporkan bahwa terdapat cadangan besar minyak yang tinggal ditambang, Kremlin secara bersemangat dan dengan gaya invasi militer mengirimkan para “perintis” dan buldoser untuk menggenjot produksi. Siberia bagian barat ternyata memiliki lebih banyak emas hitam daripada yang diperkirakan semua orang. Lebih dari 70 miliar barel telah ditambang selama empat puluh tahun terakhir.
Pada awalnya, “Seluruh Siberia adalah tapal batas,” ujar Gubernur Khanty-Mansi, Alexander Filipenko. Sang gubernur tampak lebih tua daripada usianya yang 58 tahun, dengan rambut beruban yang tebal, mata berair, serta hidung belang-belang yang berkali-kali menghadapi bunga es. Filipenko tiba di Khanty-Mansi pada awal 1970-an dengan tugas membangun jembatan menyeberangi Sungai Ob, yang pada akhir abad ke-19 menjadi rute bagi tongkang butut yang mengangkut tahanan ke tempat tujuan pembuangan mereka. Proyek jembatan tersebut memerlukan empat tahun kerja keras dalam kondisi ganas. Namun, walau dipenuhi kesukaran, sang gubernur mengenang masa itu seperti lelaki tua mengenang cinta pertamanya kepada seorang gadis cantik.
Filipenko sama bersemangatnya menghadapi proyek terbarunya—pembangunan ulang ibu kota provinsi, Khanty-Mansiysk, kota berpenduduk 60.000 jiwa. Dia mengikuti setiap perincian, dan dia memiliki dana untuk menata ulang ibu kota tersebut sesuai keinginannya. Industri perminyakan di provinsi tersebut menghasilkan pajak tahunan sekitar 360 triliun rupiah—40,5 triliun di antaranya diambil Khanty-Mansi untuk keperluan sendiri. Sisanya jatuh ke tangan Moskwa.
!break!
Walaupun berlatar belakang sebagai orang partai, visi Filipenko tidak seperti Soviet. Simbol-simbol arsitektur utama kota tersebut termasuk sebuah pusat perbelanjaan beratap kubah hijau raksasa berbentuk chum, yakni tenda tradisional yang digunakan oleh penduduk pribumi setempat—suku Khanty, Mansi, dan suku-suku lain yang menggembalakan rusa kutub, berburu, dan menangkap ikan. Simbolisme itu tak mungkin terjadi pada masa Soviet, ketika negara, dengan pemujaan ideologisnya terhadap “buruh”, menolak ide keragaman identitas berdasarkan kebudayaan.
Ketika tanah Siberia yang mengandung minyak mulai dibangun, penduduk asli digiring ke desa-desa dan terputus dari kawasan berburu dan mencari ikannya. Tak lama setelah keruntuhan Uni Soviet, kaum nomad meraih status hukum sebagai “penduduk asli”, yang berhak menjelajahi ladang minyak. Walaupun sudah memiliki status baru dan penghargaan arsitektur di ibu kotanya, kondisi mereka nyaris tak mengalami perbaikan. Jumlah mereka sedikit, sekitar 30.000 jiwa seluruhnya; bahasa mereka nyaris punah; dan mereka terserang wabah Rusia kontemporer dengan parah—AIDS, kecanduan alkohol, dan tuberkulosis. Sebagian uang pajak-minyak diinvestasikan pada kapal medis yang singgah di sepanjang sungai untuk merawat pasien. Namun, para pengkritik mengatakan bahwa klinik-klinik terapung tersebut hanya mendiagnosis penyakit, lalu meninggalkan pasien tanpa sarana untuk memeroleh perawatan.
Pedesaan Rusia juga mengalami depopulasi akibat perpindahan generasi muda ke Moskwa dan kota-kota lainnya. Untuk menanggulangi hal ini, Filipenko telah melaksanakan program ambisius untuk mengubah Khanty-Mansi menjadi tempat yang akan dipilih oleh kaum muda. Usaha ini, umbarnya, berjalan baik. Dia mencatat Khanty-Mansi memiliki angka kelahiran ketiga tertinggi di antara provinsi-provinsi di Rusia, dan tak seperti negara tersebut yang secara keseluruhan jumlah penduduknya terus menurun, populasi Khanty-Mansi bertambah 18 persen sejak 1989, dari kombinasi kelahiran dan imigrasi.
Minyak menyumbang 90 persen ekonomi ibu kota tersebut, yang tak mengejutkan mengingat lonjakan harga minyak. Namun, keadaan tersebut mengarah pada masalah yang dimiliki oleh semua ekonomi yang bergantung pada sumber daya alam: Suatu saat sumber daya tersebut akan habis, dan sumber kemakmuran baru harus ditemukan. Memahami perlunya membangun prospek ekonomi selain minyak, Filipenko membujuk sekitar 80 peneliti terkemuka Akademgorodok—sebuah kota riset dan ilmu pengetahuan terkenal yang diciptakan pada masa Soviet di Siberia bagian selatan—untuk pindah ke ibu kota daerahnya untuk bekerja di institut baru yang berspesialisasi dalam teknologi informasi. Institut tersebut menyediakan jasa konsultasi bagi perusahaan minyak, namun juga mengerjakan proyek dalam bidang yang tak berkaitan, seperti nanoteknologi.
!break!
Itulah awal dari suatu “Taiga Silikon” kata Alexander Sherbakov, matematikawan berusia 60 tahun dengan kumis lebat beruban. Begitu era minyak-mudah berakhir, ucapnya, “Kami akan menelurkan ilmuwan-ilmuwan kami sendiri.” Caranya dengan menciptakan lapangan pekerjaan era informasi bagi generasi yang lebih muda. Tak seperti investasi di perminyakan, investasi di bidang ilmu pengetahuan, lanjutnya, bisa menjamin cerahnya masa depan perekonomian serta masyarakat daerah tersebut secara abadi.
Pendapatnya ini memang terlalu optimistis. Salah satu alasannya, teladan yang dipuji-pujinya itu, Lembah Silikon, berada di California yang beriklim sedang. Pada masa Soviet dulu, Kremlin bisa main perintah agar para ilmuwan terpandangnya pindah ke pusat riset di tempat terpencil. Pada masa pasca-Soviet, peneliti terkemuka Rusia boleh tinggal dan bekerja di mana saja yang dia suka, dan sebagian besar memilih untuk hidup di kota-kota makmur seperti Moskwa atau St. Petersburg.
Walaupun belum membuat Siberia menjadi magnet bagi kaum terpelajar Rusia, bum minyak menarik banyak pendatang baru lainnya: imigran miskin dari luar perbatasan Rusia. Pada suatu pagi, di tanah kosong dekat jalan raya ke ibu kota pameran Filipenko, sekelompok lelaki berjumlah sekitar 15 orang yang berpakaian lusuh dan berusia antara 20-an sampai 40-an menunggu tawaran kerja, kerja kasar sekalipun. Sebuah Nissan putih menepi, dan beberapa lelaki tersebut menghampiri untuk berbicara dengan supirnya, yang memerlukan beberapa pekerja untuk menggali kentang. Namun, upah yang ditawarkannya terlalu kecil, tak sampai 90 ribu ribu rupiah sehari, dan dia melaju kembali tanpa ada yang menerima tawaran itu.
Orang-orang ini disebut orang Rusia, meminjam istilah Jerman, sebagai gastarbeiter—pekerja tamu. Mereka ada hampir di mana-mana di Khanty-Mansi. Sebagian besar adalah kaum muslim Tajikistan, pecahan Republik Soviet di Asia Tengah yang ekonominya hancur akibat perang saudara di pertengahan 1990-an. Mereka datang pada musim semi dan pulang ke negaranya sebelum musim dingin tiba. Tak setiap hari mereka mendapatkan pekerjaan, namun ketika dapat, mereka bisa memeroleh sekitar 180 ribu rupiah dengan mengangkut sak semen untuk pekerjaan konstruksi atau dengan membersihkan rumah. Mereka bisa mentransfer uang itu kepada keluarga di rumah, sementara majikannya tak perlu membayar pajak atas upah tersebut.
!break!
Para lelaki itu enggan memenuhi permintaan saya untuk meninjau tempat tinggal mereka. Salah seorang menyatakan dia malu memperlihatkan cara hidupnya. “Anda jangan salah paham,” ujarnya. “Kami bukan penjahat; kami orang beradab. Kami cuma butuh pekerjaan.”
Mereka seharusnya mengurus surat pengenal yang menyatakan alamat mereka. Namun, seperti yang mereka tuturkan, mereka tak memiliki tempat tinggal resmi, hanya tidur seadanya di dalam garasi tanpa pemanas yang disewakan secara ilegal kepada mereka. Seorang bos pekerja—semacam tokoh mafia—menguruskan surat bagi mereka dengan menyogok kantor pendaftaran, namun surat-surat tersebut mencantumkan alamat palsu, dan menyerahkan nasib para gastarbeiter di tangan polisi. Jika tepergok, mereka terkadang dipaksa membayar “denda” (baca “suap”) di tempat, dan jika terjadi lagi bisa dideportasi. Pemerintah federal Rusia baru-baru ini mewajibkan para majikan untuk mendaftarkan pekerja dan memeriksa identitas mereka. Namun, ketentuan semacam ini kecil kemungkinan bisa menahan arus selama bum minyak masih berlangsung.
Banjir warga Rusia dari kota-kota di sebelah barat pegunungan Ural yang mengalami malaise juga menggembungkan kota-kota minyak di Siberia bagian barat. Empat puluh tahun lalu Surgut merupakan kumpulan pondok kayu, yang suhunya bisa turun hingga minus 50 derajat Celsius dan selalu diselimuti kegelapan pada pertengahan musim dingin, kecuali beberapa jam setiap hari. Sekarang Surgut merupakan salah satu kota terbesar di Siberia bagian barat, dengan populasi 300.000 jiwa. Para pendatang baru menyuarakan aspirasinya lewat kedatangannya, sebuah pertanda bahwa ekonomi-pasar baru Rusia benar-benar berjalan lancar.
Kemewahan dan kemakmuran yang tampak di Surgut dulu tak terbayangkan bisa terjadi di daerah pedalaman Rusia. Gedung penitipan anak dan pendidikan prasekolah, yang baru-baru ini direnovasi dengan biaya 46 miliar rupiah yang sebagian besar berasal dari minyak, sekarang memiliki kolam renang air hangat dalam ruangan dan kolam pusaran untuk pijat-hidro; kebun binatang kecil yang berisi kelinci, kura-kura, dan kakaktua; serta sebuah ruangan berisi panggung kayu kecil tempat anak-anak berkostum warna-warni mementaskan kisah dongeng. Saat cuaca tak memungkinkan bermain di luar, anak-anak itu bisa berkeliling naik mobil mainan di dalam ruang bermain besar berlapis kaca yang dijaga agar suhunya tak terlalu dingin. Kemudian bocah-bocah itu bisa dihibur dengan minuman panas dari gerai teh herbal.
!break!
Tentu saja “orang asing” seperti saya dipameri taman kanak-kanak terbaik di kota tersebut, tetapi hanya sebatas itu yang bisa diatur-atur agar mengesankan. Mobil Honda, Toyota, dan Nissan berjejalan di tengah kemacetan lalu lintas, sama banyaknya dengan mobil murah Lada buatan Rusia. Keluarga bermobil dua menjadi semakin lazim dengan meningkatnya standar hidup.
Bentuk perumahan di kota Rusia umumnya berupa rumah susun beton bertingkat yang besar (dan jelek). Surgut memiliki kawasan rumah tinggal satu keluarga di pinggiran kota, yang ditujukan bagi kelas menengah ke atas baru yang terdiri atas manajer perusahaan minyak, bankir, dan pengusaha. Rumah bata, yang masing-masing memiliki halaman kecil, sedang dibangun sepanjang pinggiran sungai yang dijajari pepohonan, dengan biaya rata-rata sekitar 3,6 miliar rupiah. Masyarakat kota yang cemburu menciptakan julukan ironis untuk komunitas elite tersebut: Dolina Nischikh, Lembah Pengemis.
Dulu Surgut bisa saja runtuh, seperti kota-kota lain di Rusia, pada masa kacau setelah keruntuhan Uni Soviet. Bahwa dia mampu bertahan merupakan bukti kekuatan akarnya serta stabilitas kepemimpinan politik dan ekonominya.
“Saya lahir di Surgut, anak-anak saya lahir di sini, dan cucu-cucu saya lahir di sini,” ucap Alexander Sidorov, sang walikota yang telah lama menjabat, dengan bangga. Jangkar ekonomi Surgut, perusahaan minyak Surgutneftegas, produsen keempat terbesar Rusia, sebagian besar sahamnya dimiliki oleh para manajer setempat. Tak seperti sebagian besar raja minyak Rusia, yang memimpin kekaisaran Siberia bagian barat mereka dari Moskwa, direktur utama Surgutneftegas, miliarder Vladimir Bogdanov berdiam di kota tersebut. Walaupun sekarang sudah menjadi figur terpandang di Surgut, dulu Bogdanov memulai usahanya sebagai neftyanik biasa.
Surgutneftegas menggunakan panen minyak untuk membiayai program modernisasi yang ambisius. Di pusat manajemen ladang minyak, para insinyur komputer telah merancang sebuah peta digital raksasa khusus untuk memantau dan mengatur kinerja ladang tersebut. Peta itu menampilkan data real-time yang dikirimkan dengan sinyal radio tersandi dari stasiun pompa, sumur aktif, dan jalur pipa. Melalui tampilan ini, manajer bisa melihat berapa daya listrik yang terpakai, adakah sumur yang perlu perbaikan, atau adakah saluran pipa yang bocor.
!break!
Perlindungan lingkungan, yang hampir tak diperhatikan selama era Soviet, kini menjadi bagian dari etos yang baru. Ini bukan berarti bahwa industri perminyakan tiba-tiba peduli tentang flora dan fauna. Lebih tepatnya, harga minyak yang mahal menjadi insentif agar meminimalkan yang terbuang, demikian pula kesepakatan lisensi yang menetapkan denda besar jika terjadi tumpahan minyak. Selain itu, karena telah menjadi pemain dunia, perusahaan-perusahaan minyak Rusia menjadi lebih peka terhadap perhatian internasional pada lingkungan. “Mempertahankan reputasi baik sangatlah penting,” ujar Alexey Knizhnikov dari World Wildlife Fund di Moskwa. “Kalau tidak, kegiatan bisnis bisa terhambat.”
Lubov Malyshkina, direktur departemen lingkungan Surgutneftegas, adalah insinyur kimia dengan gelar pascasarjana di bidang ilmu perlindungan terhadap korosi dan geoekologi. Dia juga menjabat sebagai anggota terpilih di parlemen daerah. Pada era Soviet, ujarnya, kementerian perminyakan di Moskwa yang tak memahami kondisi lokal, dulu mengirimkan bahan kimia yang tak manjur untuk menangani tumpahan minyak atau bencana lain. Sekarang departemen Malyshkina, yang menggunakan dana anggaran hampir 4,5 triliun rupiah, langsung membeli sendiri. Dia menunjukkan salah satunya kepada saya: wahana Truxor buatan Swedia dengan kembang ban mirip tank, yang menghancurkan gambut jenuh minyak sehingga tumpahan bisa dibersihkan. Perusahaan tersebut juga menanamkan empat puluh lima miliar rupiah untuk fasilitas baru yang mendaur ulang ban bekas menjadi serat yang bisa dicampur dengan aspal untuk mengaspal jalan milik perusahaan.
Satu sisi industri perminyakan di sini yang tak berubah: pekerjaan neftyanik masih tetap melelahkan dan berbahaya. Di sebuah anjungan sekitar satu jam perjalanan dari Surgut, penduduk desa yang mencari jamur tampak mungil dibandingkan pompa raksasa dengan gerakan berirama yang mirip burung raksasa mematukkan paruhnya ke dalam tanah. Tangga besi yang licin oleh minyak membawa kita ke anjungan, tempat bor melubangi batu dengan mata berlapis intan berdiameter semeter kurang. Bising dan penuh polusi udara, tetapi saya diberitahu bahwa ini merupakan tempat yang nyaman di musim dingin, karena anjungan bor bermandi uap. Karyawan bekerja dengan shift delapan jam selama 30 hari berturut-turut, tidur di lokasi itu juga dalam kereta gandeng, lalu libur hingga maksimum 30 hari di luar lokasi. Alkohol dilarang keras. Karyawan dipersilakan minum sepuasnya selama libur, asalkan tidak mabuk saat masuk kembali.
Namun, pekerjaan itu tetap merupakan jalur menuju kemakmuran yang tak terbayangkan beberapa tahun lalu. Pekerja yang paling tak berpengalaman pun memeroleh gaji sembilan juta rupiah sebulan, sementara tenaga yang paling senior bisa mencapai 36 juta. Ada bonus jika melampaui kuota harian. Neftyanik yang hemat bisa menabung hingga cukup untuk membeli flat dalam kompleks apartemen di Surgut—atau malah rumah tinggal di Lembah Pengemis.
!break!
Semua hal ini tentu saja mengagumkan. Namun, pertanyaan yang lebih penting bagi Surgutneftegas, dan semua perusahaan minyak di Khanty-Mansi, adalah mampukah mereka mengatasi berbagai tantangan teknik, ekonomi, dan politik di masa mendatang. Walaupun sebagian besar analis berpendapat bahwa Siberia bagian barat akan tetap menjadi sumber terbesar minyak Rusia sampai setidaknya 20 tahun mendatang, ladang-ladang minyak di kawasan tersebut semakin tua. Menyedot minyak tambahan dari dalam tanah semakin sulit dan mahal, sementara mempertahankan produksi memerlukan suntikan modal dan keahlian dari luar Rusia. Namun, pajak yang memberatkan—semua penghasilan kotor di atas 225 ribu rupiah per barel masuk ke kas pemerintah federal—dan permainan kekuasaan yang didukung Kremlin membekukan iklim investasi seperti badai salju Siberia. Cukup berkunjung ke Nefteyugansk, sebuah kota berpenduduk 114.000 jiwa di pinggir Sungai Ob, sekitar satu jam dari Surgut, untuk mengetahui sebabnya.
Panen minyak menjadi semburan hitam permasalahan di Nefteyugansk yang memiliki penampilan dan suasana seperti kawasan industri yang kumuh. Di alun-alun kota bertebaran pipa besi sementara di sungai, tong minyak Shell yang hancur mengambang di dekat sebuah dok reyot. Beberapa langkah memasuki gerbang pemakaman umum kota, terletak makam Vladimir Petukhov, penghuni paling tersohor di kompleks kuburan tersebut. Pada 1996 masyarakat kota memilih Petukhov sebagai walikota. Dua tahun kemudian, saat berjalan ke tempat kerja pada suatu pagi di bulan Juni, dia ditembak mati oleh dua orang pembunuh. Goresan di batu nisan marmer hitamnya menggambarkan dia memakai sweter tanpa kerah dan jaket kulit.
Selama lebih dari sepuluh tahun, minyak menjadi pusat perebutan kekuasan yang kejam dan kisruh di Nefteyugansk. Masalah tersebut dimulai pada pertengahan 1990-an ketika seorang bankir kaya baru dari Moskwa mengambil alih salah satu produsen utama minyak Rusia—dan menggeser satu-satunya bos besar di kota itu—dalam suatu lelang privatisasi. Sang bankir, Mikhail Khodorkovsky, menjadikan unit Nefteyugansk sebagai cabang utama dalam perusahaan minyak barunya, Yukos. Namun, dia membuat kesal kota itu dengan menunda pembayaran pajak, menunggak pembayaran upah pekerja berbulan-bulan. Pak walikota Petukhov, seorang mantan neftyanik, memimpin aksi unjuk rasa menentang para penguasa baru dari Moskwa, yang dikatakannya “meludahi muka kita, muka para pekerja perminyakan.” Pembunuhan sang walikota, pada usia 48 tahun, membuat murka warga kota. Banyak di antaranya yang mengaitkan kejadian itu dengan sikapnya yang menentang Yukos. “Utang darah ini atas namamu,” demikian bunyi poster anti-Yuko yang dipasang di balai kota oleh orang-orang yang berkabung atas kematian Petukhov.
Selama lima tahun tak ada seorang pun yang diadili. Selama itu kota tersebut dipimpin oleh pejabat korup yang akhirnya dijebloskan ke penjara karena menggelapkan dana pembangunan rumah pensiun di kawasan Laut Hitam nan sejuk, yang dijanjikan kepada para pekerja perminyakan. Sementara itu, harga minyak naik semakin tinggi, menggembungkan jumlah kekayaan Khodorkovsky. Lalu, palu diketukkan.
!break!
Pada Juni 2003, jaksa penuntut Moskwa menangkap kepala keamanan Yukos dengan tuduhan merencanakan pembunuhan Petukhov. Empat bulan kemudian mereka menangkap Khodorkovsky dengan tuduhan penipuan dan penggelapan pajak. Otoritas pajak menyita cabang Nefteyugansk dan menyerahkannya ke sebuah perusahaan yang dikendalikan Kremlin, Rosneft. Khodorkovsky dinyatakan bersalah dan dijebloskan ke penjara di Siberia bagian tenggara, tempat wajahnya disayat oleh seorang narapidana. Sementara itu, si kepala keamanan dinyatakan bersalah dalam persidangan yang disiarkan secara luas oleh televisi negara. Perkembangan terakhir, jaksa penuntut umum mengumumkan Februari lalu bahwa salah satu pemilik Yukos, Leonid Nevzlin juga akan dituntut atas pembunuhan Petukhov.
Mungkin kejadiannya memang seperti yang dinyatakan pemerintah, tetapi coba tanya penduduk Nefteyugansk tentang pembunuhan tersebut. Kemungkinan besar mereka mengangkat bahu dan menyatakan tak tahu mana yang dapat dipercaya. Elemen-elemen yang terkoordinasi dalam kasus Yukos berbau plot Moskwa, disusun oleh orang-orang bermental KGB yang menguasai Kremlin. Hasilnya yang pasti, ”sapi perahan” tersebut—yang masih merupakan sumber penghasilan kota itu—berpindah dari tangan oligarki Moskwa ke tangan Kremlin.
Ketika saya tiba di kota itu, Sergey Burov sudah empat bulan menjadi walikota. Dia pernah menjabat sebagai wakil direktur Rosneft dan sebelum itu manajer senior di Yukos. Dia pun tak asing dengan kekerasan: Pada 2005, pagi hari saat berjalan ke mobilnya, sebutir peluru bersarang di perutnya. Peristiwa itu sepertinya perbuatan pembunuh bayaran, namun jaksa penuntut umum menutup kasus tersebut tanpa menemukan biang keroknya.
Burov adalah seorang lelaki tegap dengan dada bidang yang membuat jas tampak kesempitan. Dia senang berbicara tentang masa depan kota tersebut, tidak tentang masa lalunya yang berdarah. Bermitra dengan Rosneft, tuturnya, pemerintah kota itu memiliki rencana ambisius membangun ulang Nefteyugansk. Kembalilah ke sini dua tahun lagi, katanya, dan saya akan melihat kota yang sama sekali berbeda, bahkan mungkin ada klub kapal pesiar. Setelah wawancara, sekretaris persnya memperlihatkan sebuah gedung olahraga dalam ruangan dengan kolam renang ukuran Olimpiade. Di alun-alun kota yang ditebari pipa beberapa hari lalu, para pekerja mulai memasang jalan setapak dari batu bata dan membuat bedeng bunga.
!break!
Apakah akhirnya kondisi membaik di Nefteyugansk? Warga terlihat skeptis. “Mungkin Rosneft merasa senang bisa berada di sini,” ujar Vasily Voroshilov, seorang tukang perbaikan sumur minyak berusia 52 tahun. “Namun tak demikian yang kami rasakan.”
Skeptisisme itu juga terlihat pada banyak pengamat di luar Rusia, yang menyatakan bahwa merampas kendali sebuah perusahaan minyak tak sama dengan menjalankannya. Tentang pengambilalihan perusahaan minyak Rusia oleh Kremlin, seorang analis mengatakan, ”Anda bisa mencuri mobil Chevy, namun tak berarti Anda tahu cara mengendarainya.”
Meskipun dapat menghasilkan banyak uang, minyak sama-sama bisa menjadi kutukan dan berkah bagi negeri seperti Rusia. Pada awal 1990-an, sebelum panen minyak, Boris Yeltsin menyemangati daerah-daerah untuk mengambil otonomi sebanyak-banyaknya. Saat itu potensi Rusia untuk keberagaman politik dan demokrasi rakyat kecil gaya barat berada pada titik tertinggi. Ketika harga minyak naik menjelang akhir dekade itu, Kremlin menyadari bahwa sumber kekayaan ini bisa digunakan mendorong kebangkitan global Rusia yang pernah tercapak.
Keselamatan karena minyak sejak saat itu menjadi kredo bangsa. “Minyak,” ujar pelajar berusia 16 tahun di sekolah bagi pelajar berbakat di bidang matematika di Khanty-Mansiysk, “adalah jalan satu-satunya agar bangsa kami bisa bangkit dan selamat.” Sebetulnya, ada banyak cara agar bangsa Rusia, yang kreatif dan terpelajar, bisa memulihkan negerinya. Namun, minyak menandakan keperkasaan bangsa, dan warisan minyak Rusia menciptakan semboyan-semboyan patriotik yang nyaris terdengar seperti mantra. Pada perayaan Hari Perminyakan, salah satu lagunya, yaitu sebuah penghormatan pada kekuatan gabungan neftyaniki, berbunyi, “Kami adalah jari yang dikepal menjadi tinju.”
“Status adidaya Rusia sekarang berasal dari energi, bukan dari militernya,” ujar Julia Nanay, seorang direktur senior di PFC Energy, sebuah perusahaan konsultan global yang bermarkas di Washington DC. “Kremlin menentukan nasib minyak di Siberia bagian barat. Mereka ingin mengendalikan jumlah produksi dan ekspor untuk memperbesar pengaruh geopolitik Rusia.”
!break!
Sama seperti tsar di masa silam yang memonopoli komoditas berharga seperti bulu binatang dan garam, Kremlin menginginkan kendali langsung atas minyak—dan kaum oligarki yang memproduksinya. Yang menurut, selamat; yang menentang berisiko menerima nasib seperti Khodorkovsky atau lebih buruk lagi.
Salah satu yang selamat adalah Vagit Alekperov, presiden perusahaan minyak swasta terbesar di Rusia, Lukoil. Merintis karier dengan bekerja di anjungan dekat kampung halamannya di Baku, Alekperov dikirimkan ke Siberia pada akhir 1970-an untuk mengelola sebuah tim produksi minyak. Terkenal memiliki paham paternalisme yang kuat, dia membuat murka para pekerjanya karena melarang penjualan minuman keras di desa tersebut. Beberapa pekerjanya mengambil senapan berburu dan menembak pondoknya, namun Alekperov yang selalu selamat itu tidak berada di sana saat itu.
Pada hari-hari terakhir Uni Soviet, Alekperov mendirikan Lukoil dari aset minyak utama di Siberia bagian barat. Saat ini perusahaan tersebut menjadi perusahaan global multinasional yang memiliki cadangan hidrokarbon yang hanya kalah dari ExxonMobil—serta sekitar 2.000 pompa bensin di AS. Walaupun sebagian besar cadangan Lukoil berada di Siberia bagian barat, Alekperov tetap mempertahankan kantor pusatnya yang berjarak hanya tiga kilometer dari Kremlin. Seperti para penyintas lainnya, dia tahu bahwa dia harus memperhatikan setiap perubahan dalam suasana politik yang bisa mempengaruhi nasib Lukoil, apa pun bentuknya.
Berpenampilan istimewa dengan kulit cokelat dan rambut lebat keperakan, Alekperov mengenakan busana yang dibuat sempurna. Walaupun keras, dia juga bisa tampak memukau. Ketika ditanya apakah konsumen minyak dunia akan merasa nyaman sementara Rusia mengendalikan bagian besar persediaan minyak dunia, dia bersandar di kursinya, tersenyum lebar, dan bertanya, “Apakah saya terlihat seperti beruang?” Saya tak mampu menahan tawa. “Kami sekadar mencari uang.”
!break!
Setelah menelan Yukos, mungkinkah Kremlin berikutnya ingin mencaplok Lukoil? “Saya kira pemerintah atau presiden Rusia tak akan membidik perusahaan seperti kami,” bantah Alekperov. Saya putuskan tak menyebutkan bahwa Khodorkovsky mengatakan hal yang sama tak lama sebelum dia ditahan.
Basis operasi Lukoil di Khanty-Mansi adalah kota Kogalym. Tanaman bunga di pinggir jalan dibentuk menjadi nama perusahaan minyak itu, tak jauh dari kubah emas katedral Kristen Ortodoks Rusia dan menara hijau sebuah masjid. Di sebuah rumah bersalin yang telah direnovasi—yang disebut orang Rusia sebagai roddom—Dr. Galina Pustovit, kepala bagian ginekologi memamerkan peralatan medis berstandar barat yang baru. Di negara tempat banyak wanita melahirkan anaknya dalam gedung zaman Soviet yang berbau kubis busuk dan dinding lembap, fasilitas gemerlap ini seperti hotel bintang empat.
Ketika saya mengatakan kepada Pustovit bahwa industri perminyakan Rusia dikenal korup, sang dokter menatap saya dengan tajam. “Ini semua minyak,” ujarnya, membentangkan tangannya ke seluruh bangsal ginekologi. “Perusahaan minyak yang membangun rumah sakit ini. Semua benda di kota ini dibangun dengan uang minyak, termasuk bulevar kami yang indah.” Jangan hakimi kami terlalu keras, demikian tersirat di wajahnya: Kehidupan di daerah ini lebih baik dari sebelumnya.
Mengintip Inisiatif 'Blue Carbon' Terbesar di Dunia dari Negara Termiskin di Asia
Penulis | : | |
Editor | : | Administrator |
KOMENTAR