Kisah seperti itu menghangatkan hati Faison Tipoti adalah kepala desa yang berperan penting membawa proyek terkenal itu ke tempat tersebut. “Ketika Jeff Sachs datang dan bertanya, ‘Apa yang kalian inginkan?’ kami bilang bukan uang, bukan terigu, tapi beri kami pupuk dan bibit hibrida, dan dia akan melakukan kebajikan,” ujar Tipoti dengan suara yang dalam. Penduduk desa tak lagi menghabiskan hari-hari mereka di jalan mengemis makanan untuk anak mereka yang kena busung lapar dan penyakit lainnya. Tatapannya beralih ke arah beberapa anak yang bermain-main saat mencuci pakaian dan mengambil air dari sumur desa yang baru. “Berkat adanya proyek ini, tersedia air yang segar dan bersih di mana-mana,” kata Tipoti.
Namun, apakah pengulangan revolusi hijau—dengan paket tradisional pupuk buatan, pestisida, dan irigasi, dibantu bibit hasil rekayasa genetika—benar-benar merupakan jawaban krisis pangan dunia? Tahun lalu sebuah penelitian besar yang disebut “Penilaian Internasional atas Pengetahuan, Sains, dan Teknologi Pertanian untuk Pengembangan” menyimpulkan bahwa pertumbuhan produksi luar biasa yang dihasilkan oleh sains dan teknologi dalam 30 tahun terakhir telah gagal memperbaiki akses pangan di banyak tempat miskin di dunia. Penelitian enam tahun yang diprakarsai Bank Dunia dan Organisasi Pangan dan Pertanian PBB FAO, serta melibatkan sekitar 400 pakar pertanian dari seluruh dunia tersebut menganjurkan perubahan paradigma pertanian ke arah praktik yang lebih berkelanjutan dan ramah lingkungan yang akan bermanfaat bagi 900 juta petani kecil di dunia, bukan hanya bagi pelaku agribisnis.
Warisan revolusi hijau dalam bentuk tanah gersang dan akuifer yang kering merupakan satu alasan untuk mencari strategi baru. Demikian pula yang disebut penulis dan profesor dari University of California, Berkeley, Michael Pollan, sebagai tumit Achilles dalam metode revolusi hijau saat ini: ketergantungan kepada bahan bakar fosil. Gas alam, misalnya, adalah bahan mentah untuk pupuk nitrogen. “Cara satu-satunya agar satu petani dapat menyediakan pangan bagi 140 orang adalah dengan monokultur. Dan monokultur perlu banyak pupuk dan pestisida yang berbasis bahan bakar fosil,” ujar Pollan. “Ini hanya bisa dilakukan pada era bahan bakar fosil murah, dan era itu akan segera berakhir. Menganjurkan orang bergantung pada bahan bakar fosil sangatlah tidak bertanggung jawab.”
Sampai sekarang, terobosan genetika yang akan membebaskan tanaman revolusi hijau dari ketergantungannya yang tinggi pada irigasi dan pupuk masih belum tercapai. Tanaman rekayasa yang dapat menyediakan nitrogen sendiri atau yang tahan kekeringan “terbukti lebih sulit didapat dari perkiraan mereka,” kata Pollan. Fraley dari Monsanto memperkirakan perusahaannya akan menjual jagung tahan kekeringan di pasar AS sebelum 2012. Namun, pertambahan hasil panen selama musim kering itu diperkirakan hanya 6 hingga 10 persen di atas standar tanaman yang tak kebal kekeringan. Jadi, fokus sudah mulai bergeser ke arah proyek-proyek kecil dan minim modal yang tersebar di seantero Afrika dan Asia. Ada yang menyebutnya agroekologi, yang lain menyebutnya pertanian berkelanjutan, tetapi ide dasarnya revolusioner: bahwa kita harus berhenti berkonsentrasi pada peningkatan hasil panen semata apapun konsekuensinya, tetapi juga mempertimbangkan dampak lingkungan dan sosial dari produksi pangan tersebut. Vandana Shiva adalah fisikawan nuklir yang menjadi ahli agroekologi dan yang menjadi pengeritik tersengit perihal revolusi hijau India. “Saya menyebutnya monokultur pikiran. Mereka hanya melihat hasil gandum dan beras, sementara jenis dan kualitas makanan secara keseluruhan menurun. Dulu ada 250 jenis tanaman pangan di Punjab sebelum revolusi hijau,” katanya. Shiva berpendapat bahwa pertanian berskala kecil yang heterogen dapat memberikan hasil lebih banyak dengan produk berbasis minyak bumi yang lebih sedikit. Penelitian Shiva memperlihatkan bahwa penggunaan kompos, alih-alih pupuk dari gas alam, meningkatkan zat organik di dalam tanah, menyimpan karbon, serta menahan kelembapan—dua kelebihan penting bagi petani yang menghadapi perubahan iklim. “Jika kita membicarakan solusi krisis pangan, inilah metode yang kita perlukan,” tambah Shiva.
!break!
Di Malawi utara, satu proyek membuahkan banyak hasil yang sama dengan proyek Desa Milenium dengan biaya yang jauh lebih murah. Tidak ada bibit jagung hibrida, pupuk gratis, ataupun jalan baru di Ekwendeni. Alih-alih, proyek Soils, Food and Healthy Communities (SFHC) membagikan bibit kacang-kacangan, resep, serta petunjuk teknis cara menanam tanaman bergizi seperti kacang tanah, kacang iris, dan kedelai yang memperkaya tanah dengan mengikat nitrogen di samping menyehatkan pola makan anak-anak. Program tersebut dimulai tahun 2000 di Rumah Sakit Ekwendeni, tempat para staf program menemukan banyak kasus malnutrisi. Penelitian menyimpulkan bahwa penyebabnya adalah monokultur jagung yang mengakibatkan petani kecil hanya mendapat panen yang sedikit karena tanah dengan zat hara yang terkuras serta pupuk yang mahal.
Truk pikap proyek itu perlu didorong dulu agar bisa hidup, tapi tak lama kemudian Boyd Zimba, asisten koordinator proyek ini, dan Zacharia Nkhonya, penyelia keamanan pangan, sudah terguncang-guncang di jalan, sambil membicarakan efek negatif Keajaiban Malawi. “Pertama, subsidi pupuk tak bisa bertahan lama,” ujar Nkhonya, seorang pria kecil kuat yang murah senyum. “Kedua, tak semua orang kebagian. Ketiga, hanya ada sekali setahun, sementara kacang-kacangan bersifat jangka panjang—tanah bertambah baik setiap tahun, tidak seperti pupuk.”
Di desa kecil Encongolweni, kelompok yang terdiri atas 20-an orang petani SFHC menyambut kami dengan lagu tentang makanan yang mereka buat dari kedelai dan kacang iris. Kami duduk di balai desa seperti mengikuti peneguhan iman, sementara mereka menceritakan tentang perubahan hidup mereka setelah menanam kacang-kacangan. Kisah yang disampaikan Ackim Mhone umum ditemui. Dengan menyertakan kacang-kacangan dalam rotasi tanam, dia melipatgandakan panen jagung di lahannya yang sempit, sementara penggunaan pupuk turun setengahnya. “Itu cukup untuk mengubah hidup keluargaku,” kata Mhone. Dia pun bisa memperbaiki rumah dan membeli ternak. Kemudian, Alice Sumphi, petani berusia 67 tahun yang senyumnya nakal, menari di ladang tomat mudanya yang setinggi lutut. Wanita itu dengan bangga menyatakan bahwa tomatnya lebih besar daripada hasil petani yang lebih muda. Para peneliti Kanada menemukan bahwa setelah delapan tahun, anak-anak dari 7.000 keluarga lebih yang terlibat dalam proyek tersebut menunjukkan kenaikan berat badan yang signifikan, jelas membuktikan kaitan antara kesehatan tanah dan kesehatan masyarakat di Malawi.
Itulah sebabnya koordinator riset proyek tersebut, Rachel Bezner Kerr, merasa waswas bahwa berbagai yayasan yang punya dana besar menganjurkan revolusi hijau yang baru di Afrika. “Sangat merisaukan. Ini membuat petani bergantung pada bahan baku mahal yang diproduksi dari jauh yang menguntungkan perusahaan besar, bukannya pada metode agroekologi yang menggunakan sumber daya dan keterampilan lokal. Menurut saya bukan ini solusinya,” katanya.
!break!
Model mana pun yang berhasil—pertanian sebagai seni ekologi multitanaman, sebagai industri teknologi tinggi, atau kombinasi keduanya—tantangan untuk menyediakan cukup pangan bagi sembilan miliar mulut pada 2050 bakal sulit. Dua miliar manusia kini sudah hidup di bagian-bagian terkering Bumi, sementara perubahan iklim diperkirakan semakin memangkas hasil panen di daerah-daerah tersebut. Sebesar apapun potensi hasil panennya, tanaman tetap perlu air untuk tumbuh. Sementara tak lama lagi, setiap tahun dapat saja menjadi musim kering bagi sebagian besar wilayah di Bumi.
Penelitian iklim yang baru memperlihatkan bahwa gelombang panas yang ekstrem, seperti yang membuat tanaman layu dan membunuh ribuan orang di Eropa Barat tahun 2003, kemungkinan besar menjadi hal lazim di daerah tropis dan subtropis sebelum akhir abad ini. Gletser Himalaya yang kini menjadi sumber air bagi ratusan juta orang, ternak, dan lahan pertanian di China dan India tengah meleleh lebih cepat dan dapat betul-betul lenyap pada 2035. Dalam skenario terburuk, hasil panen beberapa jenis padi-padian dapat menurun sebanyak 10-15 persen di Asia Selatan sebelum 2030. Perkiraan di Afrika bagian selatan lebih mengenaskan. Di wilayah yang sudah dilanda kelangkaan air dan kerawanan pangan ini, panen jagung yang berarti segalanya bagi mereka itu dapat turun sebanyak 30 persen—atau 47 persen dalam skenario terburuk. Sementara itu jumlah penduduk terus bertambah dengan laju neto 2,5 mulut baru yang harus diberi makan setiap detik. Itu berarti sekitar 4.500 mulut baru selama Anda membaca artikel ini.
Tak pelak lagi, kita kembali pada Malthus.
PADA SUATU HARI YANG DINGIN DI MUSIM GUGUR, yang memerahkan wajah penduduk London yang paling tangguh sekalipun, saya mengunjungi British Library dan memeriksa edisi pertama buku yang masih menimbulkan debat sengit tersebut. Essay on the Principle of Population karya Malthus terlihat seperti buku teks anak SMP. Di balik uraiannya yang jelas dan tegas, bergema suara pendeta desa nan rendah hati yang berharap, lebih dari apapun, teorinya salah.
“Orang yang mengatakan Malthus salah biasanya belum membaca tulisannya,” kata Tim Dyson, profesor bidang studi kependudukan di London School of Economics. “Sudut pandangnya tidak berbeda dari sudut pandang Adam Smith dalam jilid pertama The Wealth of Nations. Tak seorang pun yang berakal sehat meragukan pendapat bahwa jumlah penduduk harus berada dalam batasan sumber dayanya. Selain itu, kapasitas masyarakat dalam meningkatkan sumber daya dari basis itu sangat terbatas.”
Walaupun esainya menekankan “kontrol positif” pada populasi melalui kelaparan, penyakit, dan perang, “kontrol preventif”-nya mungkin lebih penting. Tenaga kerja yang bertambah, tulis Malthus, akan menurunkan upah yang cenderung membuat orang menunda pernikahan sampai dapat menopang keluarganya dengan lebih baik. Menunda pernikahan berarti menurunkan tingkat kesuburan yang menciptakan kontrol yang sama kuatnya terhadap jumlah penduduk. Kini diketahui bahwa inilah mekanisme dasar yang mengatur pertumbuhan penduduk di Eropa barat selama sekitar 300 tahun sebelum revolusi industri—bukti yang sangat kuat bagi ilmuwan sosial mana pun, ujar Dyson.
Namun, ketika Inggris baru-baru ini mengeluarkan uang pecahan 20 pound sterling yang baru, gambar Adam Smith lah yang tertera, bukan TR Malthus. Malthus tidak sesuai dengan etos saat itu. Orang tak ingin berpikir tentang batas. Namun saat jumlah penduduk di planet ini mendekati sembilan miliar jiwa, dan semua memperebutkan peluang yang sama, gaya hidup yang sama, makanan yang sama, mengabaikan batas itu membahayakan nasib manusia.
Tak ada ekonom klasik yang hebat meramalkan kedatangan revolusi industri atau transformasi ekonomi dan pertanian yang diakibatkannya. Energi murah yang tersedia dalam batu bara—dan kemudian bahan bakar fosil lainnya—menyebabkan kenaikan terbesar pangan, kekayaan pribadi, dan jumlah penduduk di dunia, sehingga jumlah manusia di Bumi meningkat tujuh kali lipat populasi era Malthus. Namun, kekurangan makan, kelaparan, dan malnutrisi tetap saja menghantui kita, sebagaimana yang diramalkan Malthus.
“Beberapa tahun lalu saya bekerja sama dengan seorang ahli demografi China,” kata Dyson. “Suatu hari dia menunjukkan dua huruf China äººå£ di atas pintu kantornya yang berarti ‘penduduk.’ Huruf itu terdiri atas huruf orang (人) dan mulut (å£). Itu sungguh membuat saya terkesan. Pada akhirnya harus ada keseimbangan antara jumlah penduduk dan sumber daya. Pendapat bahwa kita dapat terus tumbuh selamanya, tentu saja itu konyol.”
Mungkin dari dalam kuburnya di Bath Abbey, Malthus sedang menggoyang jari yang tinggal tulang dan berkata, “Kubilang juga apa.”
Penulis | : | |
Editor | : | Administrator |
KOMENTAR