Tak ada bukti bahwa kanker ini disebabkan oleh pestisida. Namun, para peneliti menemukan pestisida dalam darah, air, dan sayur petani Punjab, bahkan dalam air susu ibu. Demikian banyaknya orang naik kereta api dari daerah Malwa ke rumah sakit kanker di Bikaner sehingga kereta itu dijuluki Kereta Kanker. Pemerintah cukup cemas sehingga mengucurkan miliaran rupiah untuk pengolahan air osmosis-balik bagi desa-desa yang terparah.
!break!
Bukan itu saja, biaya pupuk dan pestisida yang tinggi menyebabkan banyak petani Punjab terlilit utang. Satu penelitian menemukan lebih dari 1.400 kasus petani bunuh diri di 93 desa antara 1988 hingga 2006. Beberapa grup menyatakan jumlah kasus bunuh diri di negara bagian itu mencapai 40.000 hingga 60.000 kasus selama periode tersebut. Banyak yang minum racun pestisida atau gantung diri di ladangnya.
“Revolusi hijau hanya membawa kemalangan bagi kami,” ujar Jarnail Singh, seorang pensiunan guru di desa Jajjal. “Tanah, lingkungan, dan air kami rusak karenanya. Dulu kami sering mengadakan pesta, orang dapat berkumpul dan bersukaria. Kini kami berkumpul di rumah sakit. Pemerintah mengorbankan masyarakat Punjab demi padi-padian.”
Pihak lain tentu saja memandang hal tersebut secara berbeda. Rattan Lal, seorang ilmuwan tanah terpandang di Ohio State University yang lulus dari Punjab Agricultural University tahun 1963 percaya bahwa penyalahgunaan—dan bukan penggunaan—teknologi revolusi hijaulah yang menyebabkan sebagian besar masalah. Ini termasuk penggunaan pupuk, pestisida, dan irigasi secara berlebihan, serta pembuangan semua sisa tanaman dari ladang yang pada dasarnya justru mengikis zat hara tanah. “Saya menyadari masalah kualitas serta surutnya air. Namun, revolusi hijau menyelamatkan ratusan juta jiwa. Memang menimbulkan masalah air, tapi pilihan lainnya adalah membiarkan orang mati kelaparan,” ujar Lal.
Dalam hal produksi, manfaat revolusi hijau sulit diingkari. India tidak lagi mengalami kelaparan sejak Borlaug memperkenalkan bibitnya di saat produksi biji-bijian dunia berlipat lebih dari dua kalinya. Beberapa ilmuwan menganggap pertambahan produksi padi saja menyebabkan pertambahan 700 juta manusia di planet ini.
Banyak ilmuwan pertanian dan petani yang percaya bahwa solusi bagi krisis pangan kita saat ini adalah revolusi hijau kedua, terutama didasarkan pada pengetahuan tentang gen yang baru-baru ini ditemukan. Para pemulia tanaman kini mengetahui urutan hampir seluruh dari sekitar 50.000 gen jagung dan kedelai, serta menggunakan pengetahuan tersebut dengan cara yang tak terbayangkan empat atau lima tahun lalu, ujar Robert Fraley, kepala bagian teknologi di raksasa pertanian Monsanto. Fraley percaya bahwa modifikasi genetika yang memungkinkan pemulia tanaman memperbaiki jenis tertentu dengan kelebihan spesies lain akan menghasilkan varietas baru yang lebih unggul, mengurangi kebutuhan pupuk, serta lebih tahan kekeringan—sasaran utama selama dasawarsa terakhir. Dia yakin bahwa dengan bioteknologi, tanaman utama Monsanto yang meliputi jagung, kapas, dan kedelai akan memberikan hasil dua kali lipat sebelum 2030. “Kita kini bersiap-siap menyambut masa terobosan ilmiah penting dalam sejarah pertanian.”
AFRIKA ADALAH BENUA tempat lahirnya Homo sapiens. Dengan tanahnya yang gersang, kurang hujan, dan penduduk yang terus bertambah, Afrika dapat dengan amat baik menyiratkan masa depan spesies kita. Karena pelbagai sebab—kurangnya prasarana, korupsi, pasar yang tak terjangkau—revolusi hijau tidak pernah sampai ke sini. Produksi pertanian per kapita malah menurun di Afrika sub-Sahara antara 1970 hingga 2000, sementara jumlah penduduk meningkat pesat, mengakibatkan defisit pangan sepuluh juta ton tiap tahun. Benua itu kini ditempati oleh lebih dari seperempat dari total jumlah orang terlapar di dunia.
Malawi yang kecil dan tidak berpantai, yang disebut “hati Afrika yang hangat” oleh industri pariwisata yang optimistis, juga berada di jantung Afrika yang lapar adalah contoh sempurna tentang derita pertanian di benua itu. Mayoritas penduduk Malawi, salah satu negara termiskin dan terpadat di Afrika, adalah petani jagung yang menyambung hidup dengan sekitar dua puluh ribu rupiah sehari. Tahun 2005 kekeringan kembali melanda Malawi dan sepertiga lebih dari penduduknya yang berjumlah 13 juta jiwa perlu bantuan pangan untuk bertahan hidup. Presiden Malawi Bingu wa Mutharika menyatakan bahwa dia dipilih bukan untuk memimpin negara pengemis. Setelah awalnya gagal membujuk Bank Dunia dan donatur lainnya untuk menyubsidi proyek revolusi hijau, Bingu memutuskan untuk membelanjakan sekitar 580 miliar rupiah dari kas negara untuk mendistribusikan bibit hibrida dan pupuk kepada petani miskin. Bank Dunia akhirnya mendukung upaya Malawi dan meminta Bingu menargetkan subsidi itu kepada para petani yang termiskin. Sekitar 1,3 juta keluarga petani menerima kupon pembelian tiga kilogram bibit jagung hibrida serta dua karung pupuk 50-kilogram dengan harga sepertiga dari harga pasar.
!break!
Yang terjadi selanjutnya adalah yang disebut Keajaiban Malawi. Bibit yang baik serta sedikit pupuk—dan kembali turunnya hujan—membantu petani meraup panen raya dua tahun berikutnya (sayangnya, panen tahun lalu turun sedikit). Panen 2007 diperkirakan 3,44 juta metrik ton, suatu rekor nasional. “Mereka berubah dari 44 persen defisit menjadi 18 persen surplus, produksinya naik dua kali lipat,” ujar Pedro Sanchez, direktur Tropical Agriculture Program di Columbia University yang menyarankan program ini kepada pemerintah Malawi. “Tahun berikutnya mereka mendapat 53 persen surplus dan mengekspor jagung ke Zimbabwe. Sungguh perubahan yang dramatis.”
Demikian dramatisnya sehingga perubahan itu meningkatkan kesadaran tentang pentingnya investasi di bidang pertanian untuk mengurangi kemiskinan dan kelaparan di tempat-tempat seperti Malawi. Pada bulan Oktober 2007, Bank Dunia mengeluarkan laporan kritis yang menyimpulkan bahwa badan itu, donatur internasional, dan pemerintah di Afrika tidak cukup membantu petani miskin di Afrika dan telah lalai berinvestasi di bidang pertanian selama 15 tahun sebelumnya. Setelah puluhan tahun menentang investasi publik di bidang pertanian dan menganjurkan solusi berbasis pasar bebas yang jarang terwujud, beberapa institusi seperti Bank Dunia mengubah strateginya dan mengucurkan dana untuk pertanian selama dua tahun terakhir ini.
Program subsidi di Malawi adalah bagian dari gerakan yang lebih besar untuk, akhirnya, membawa revolusi hijau ke Afrika. Sejak 2006, Rockefeller Foundation dan Bill and Melinda Gates Foundation telah menyumbang hampir lima triliun rupiah untuk mendanai Alliance for a Green Revolution in Africa, yang fokus utamanya adalah membawa program pemuliaan tanaman ke universitas-universitas di Afrika dan menyediakan cukup pupuk bagi ladang petani. Sanchez dari Columbia University bersama ekonom jempolan dan pahlawan kemiskinan Jeffrey Sachs menyediakan contoh konkret dari manfaat investasi seperti itu di 80 desa kecil yang terkelompok menjadi sekitar selusin “Desa Milenium” yang tersebar di tempat-tempat wabah kelaparan di Afrika. Dengan bantuan beberapa bintang musik rock dan aktor papan atas, Sanchez dan Sachs membelanjakan sekitar 3 miliar rupiah setahun di tiap desa kecil itu. Jumlahnya per orang setara dengan sepertiga PDB per kapita Malawi, sehingga banyak orang dalam komunitas pengembangan itu yang ragu apakah program seperti itu dapat bertahan lama.
Phelire Nkhoma, perempuan ceking yang ulet, bekerja sebagai petugas pemasyarakatan pertanian di salah satu dari dua Desa Milenium Malawi—tepatnya tujuh desa dengan total penduduk 35.000 jiwa. Dia menerangkan program tersebut saat kami mengendarai mobil pikap baru milik PBB dari kantornya di Distrik Zomba melintasi ladang hitam terbakar yang diselingi kembang ungu pohon jacaranda. Penduduk desa mendapatkan bibit hibrida dan pupuk secara gratis—asalkan saat panen, mereka menyumbang tiga karung jagung ke program asupan sekolah. Mereka mendapat kelambu dan obat antimalaria. Mereka memperoleh klinik lengkap dengan petugas kesehatan, lumbung untuk menyimpan hasil panen, serta sumur yang airnya aman diminum dalam radius satu kilometer dari setiap rumah. Sekolah dasar yang baik, sistem jalan yang bagus, dan sambungan listrik, serta internet akan dibangun di desa-desa ini, dan desa “Madonna”, yang terletak lebih ke utara.
“Madonna yang itu?” tanyaku.
“Ya. Kudengar dia bercerai dengan suami terbarunya. Benar begitu?”
Kemakmuran terlihat jelas di Desa Milenium, tempat Nkhoma memperlihatkan rumah-rumah baru dari bata yang beratap seng berkilat, sebuah lumbung yang penuh dengan bibit dan pupuk, sementara di bawah naungan sebatang pohon, seratus warga desa atau lebih dengan sabar mendengar penjelasan seorang bankir tentang cara mengajukan pinjaman pertanian. Banyak orang mengantre di depan jendela kasir di truk lapis baja milik Opportunity International Bank of Malawi. Salah seorang dari mereka adalah Cosmas Chimwara, seorang penjual kubis berusia 30-tahun. “Penjualan kubis berjalan bagus,” ujarnya. “Saya punya tiga sepeda, TV, ponsel, dan rumah yang lebih bagus.”
!break!
Penulis | : | |
Editor | : | Administrator |
KOMENTAR