INI ADALAH PERBUATAN PALING ALAMI DAN SEDERHANA, sama seperti bernapas dan berjalan. Yaitu, Kita duduk di meja makan, mengambil sendok, lalu mulai menyuap, tanpa menyadari besarnya konsekuensi global dari makanan di atas piring kita. Daging sapi kita berasal dari Selandia Baru. Gandum datang dari Australia, jeruk dari China, kedelai dari Amerika, sementara beras murah—bukan dari Kerawang Bekasi, tapi jauh-jauh dari Thailand.
!break!
Kehidupan masyarakat modern telah membebaskan kita dari beban menanam, memanen, atau bahkan menyiapkan makanan kita sehari-hari. Sebagai gantinya, beban itu cukuplah berupa membayar makanan kita dengan uang. Kita baru tersadar hanya ketika harga-harga pangan naik dan konsekuensi dari kelalaian tersebut ternyata besar adanya.
Tahun lalu, harga pangan yang melangit menyadarkan seluruh planet ini. Antara 2005 hingga sekitar Agustus 2008, harga gandum dan jagung naik tiga kali lipat, sementara harga beras berlipat lima, menyulut kerusuhan pangan di sekitar 20 negara dan menjerumuskan 75 juta jiwa tambahan ke dalam jurang kemiskinan. Namun tak seperti kejutan-kejutan sebelumnya yang disebabkan kekurangan pangan jangka pendek, lonjakan harga kali ini terjadi pada saat petani dunia menuai panen terbanyak dalam sejarah. Agaknya, harga yang tinggi tersebut merupakan gejala dari masalah lebih besar, yang merundung jaringan pangan di seluruh dunia. Selain itu, masalah tersebut tak akan hilang dalam waktu dekat. Sederhananya: hampir sepanjang 10 tahun belakangan ini, dunia mengonsumsi lebih banyak pangan daripada yang dihasilkan. Setelah beberapa tahun digerogoti, pada 2007 cadangan pangan dunia turun hingga tinggal 61 hari konsumsi global, angka terendah kedua dalam sejarah.
“Pertumbuhan produktivitas pertanian hanya satu-dua persen per tahun. Ini terlalu rendah untuk mengimbangi perkembangan penduduk dan permintaan yang terus bertambah,” kata Joachim von Braun, direktur umum International Food Policy Research Institute di Washington DC mengingatkan adanya puncak krisis.
Harga yang tinggi merupakan sinyal terakhir yang menunjukkan bahwa permintaan melebihi pasokan, bahwa jumlah pangan memang tak cukup untuk semua orang. Agflasi—atau efek inflasi dari kenaikan harga pangan—seperti ini paling terasa oleh semiliar orang termiskin di planet ini karena pada umumnya mereka menghabiskan 50 hingga 70 persen pendapatan untuk membeli makanan. Meski harga sudah turun seiring melesunya ekonomi dunia, tetapi masih tetap tak jauh dari harga tertinggi dalam sejarah. Sementara itu, masalah rendahnya cadangan, pertambahan penduduk, dan melambatnya pertumbuhan produksi yang mendasarinya masih tetap ada. Perubahan iklim—dengan musim tanam yang lebih panas dan air yang semakin langka—diperkirakan akan mengurangi hasil panen mendatang di hampir seluruh dunia, menyebabkan momok yang disebut sebagian ilmuwan sebagai krisis pangan tak berkesudahan.
!break!
Jadi, apa yang seyogyanya dilakukan oleh dunia yang lapar, sesak, dan panas ini?
Inilah pertanyaan yang kini digulati oleh von Braun dan para koleganya di Consultative Group on International Agricultural Research. Grup tersebut merupakan gabungan pusat-pusat penelitian pertanian terkemuka di dunia yang ikut melipatgandakan hasil rata-rata produksi jagung, beras, dan gandum dunia antara medio 1950-an hingga medio 1990-an, suatu prestasi yang hebat sehingga disebut sebagai revolusi hijau. Namun begitu, dengan bertambahnya penduduk yang akan mencapai sembilan miliar jiwa pada pertengahan abad ini, para pakar tersebut kini mengatakan bahwa kita harus mengulang performa tersebut, menggandakan produksi pangan sekarang di tahun 2030.
Dengan kata lain, kita perlu revolusi hijau lagi. Kali ini, tempo yang diperlukan harus setengah dari waktu sebelumnya.
SEJAK NENEK MOYANG KITA berhenti berburu dan meramu untuk beralih membajak dan bercocok tanam sekitar 12.000 tahun silam, populasi manusia meningkat sejalan dengan kemampuan pertaniannya. Setiap kemajuan—domestikasi hewan, irigasi, bersawah—mengakibatkan lonjakan populasi manusia. Setiap kali suplai pangan stabil, jumlah penduduk akhirnya juga stabil. Penulis Arab dan China masa silam mencatat hubungan antara populasi dan sumber pangan, tetapi baru pada akhir abad ke-18 ada seorang cendekiawan Inggris yang mencoba menjelaskan mekanisme hubungan di antara keduanya secara eksak—dan dia menjadi ilmuwan sosial yang mungkin paling sering dihujat dalam sejarah.
Thomas Robert Malthus, yang namanya dipakai dalam istilah “keruntuhan Malthus” dan “kutukan Malthus,” adalah matematikawan yang lembut, seorang pendeta—dan, sebagaimana kata para pengkritiknya, jenis orang yang benar-benar pesimistis. Saat beberapa filsuf Pencerahan, yang mabuk akibat keberhasilan Revolusi Prancis, mulai meramalkan perbaikan kondisi manusia yang terus-menerus tanpa terganggu, Malthus menjungkirkan teori mereka. Populasi enduduk menurut pengamatannya, meningkat menurut deret ukur, berlipat dua setiap 25 tahun jika tidak dikendalikan, sementara produksi pertanian meningkat menurut deret hitung—jauh lebih lambat. Manusia tak bisa lolos dari perangkap biologis ini.
!break!
“Pertumbuhan populasi jauh lebih besar dari kemampuan bumi menghasilkan makanan bagi manusia,” tulis Malthus dalam Essay on the Principle of Population pada 1798. “Ini berarti ada kontrol populasi yang kuat dan selalu bekerja dengan terbatasnya pangan.” Malthus berpendapat bahwa kontrol tersebut dapat dilakukan sukarela seperti pengaturan kelahiran, berpantang sanggama, atau menunda pernikahan—atau terpaksa, melalui bencana perang, kelaparan, dan penyakit. Dia menganjurkan agar bantuan pangan hanya diberikan kepada kaum termiskin karena merasa bahwa bantuan seperti itu memperbanyak anak yang lahir dalam kemiskinan. Pendapatnya yang keras ini membuatnya jadi tokoh jahat dalam sastra Inggris, yang dikarang sendiri oleh Charles Dickens. Ketika Ebenezer Scrooge diminta memberi sedekah bagi orang miskin dalam kisah A Christmas Carol, bankir kejam ini berkata kepada para pekerja amal itu bahwa kaum papa seharusnya pergi ke rumah miskin atau penjara. Dan jika mereka memilih mati daripada pergi ke sana, “lebih baik mati saja, dan mengurangi surplus populasi.”
Revolusi industri dan pertanian di seluruh Inggris meningkatkan jumlah pangan di Inggris secara dramatis sehingga mencemplungkan Malthus ke dalam kotak sampah era Victoria. Namun, revolusi hijaulah yang benar-benar membuat pendeta itu menjadi olok-olok ekonom modern. Dari 1950 hingga sekarang, dunia mengalami pertumbuhan populasi terbesar dalam sejarah manusia. Setelah era Malthus, ada tambahan enam miliar manusia di meja makan planet ini. Namun, berkat metode produksi padi-padian yang lebih baik, sebagian besar manusia dapat diberi makan. Kita akhirnya menyingkirkan batas Malthus selamanya.
Setidaknya, demikianlah anggapan kita.
PADA MALAM KE-15 bulan sembilan kalender Imlek, 3.680 penduduk desa yang hampir semuanya bermarga “He” duduk di bawah terpal bocor di alun-alun Yaotian, China, dan menikmati jamuan 13 jenis hidangan. Acara tersebut adalah jamuan tradisional untuk menghormati leluhur mereka. Mangkok sup yang mengepul beriring lewat, diikuti oleh pinggan mi, nasi, ikan, udang, sayur kukus, dim sum, bebek, ayam, akar teratai, burung dara, jamur kuping, serta daging babi yang dimasak dalam pelbagai cara, semuanya langsung tandas.
Bahkan di saat resesi global pun orang masih relatif makmur di Provinsi Guangdong di China tenggara, tempat suku Yaotian duduk berimpitan di antara lahan kebun yang sempit dan blok-blok pabrik baru yang menjadikan Guangdong salah satu provinsi termakmur di China. Apabila sedang punya uang, orang China biasa makan babi. Babi dalam jumlah besar. Konsumsi daging babi per kapita di negara dengan penduduk terbanyak ini meningkat 45 persen antara 1993 hingga 2005, dari 24 kilogram menjadi 34 kilogram setahun.
Shen Guangrong, seorang konsultan industri daging babi yang ramah dan mengenakan kaus polo bergaris jambon, ingat ayahnya memelihara seekor babi setiap tahun, yang disembelih saat Tahun Baru Imlek. Itu menjadi satu-satunya daging yang mereka makan di tahun itu. Babi yang dipelihara ayah Shen tak memerlukan biaya mahal—varietas hitam-putih yang mudah hidup dan bosa makan hampir apa saja: sisa makanan, akar-akaran, sampah. Tak demikian halnya dengan babi modern China. Setelah demonstrasi berdarah di Lapangan Tiananmen 1989 yang menjadi puncak tahun kerusuhan politik yang diperparah dengan mahalnya harga pangan, pemerintah mulai menawarkan insentif pajak kepada peternakan industri besar untuk memenuhi permintaan yang meningkat. Shen ditugaskan bekerja di salah satu tempat pemberian makan hewan terpusat (TPMT) khusus babi, di dekat Shenzhen. Peternakan seperti itu yang menjamur beberapa tahun terakhir ini bergantung pada varietas yang diberi makan campuran berteknologi tinggi berupa tepung kedelai, jagung, dan suplemen agar binatang-binatang itu tumbuh pesat.
!break!
Ini berita baik bagi rata-rata orang China yang gemar daging babi—yang konsumsi dagingnya masih tetap sekitar 40 persen konsumsi daging di AS. Namun, ini berbahaya bagi suplai biji-bijian dunia. Karena walaupun babi-asam-manis itu lezat, makan daging adalah cara makan yang tidak efisien karena untuk mendapatkan kalori dengan jumlah yang sama antara daging babi dan biji-bijan, babi harus makan biji-bijian sebanyak lima kali lipat dibandingkan kita langsung mengonsumsi biji-bijian tersebut—sepuluh kali lipat jika kita membahas daging sapi yang diberi makan padi-padian di AS. Karena semakin banyak biji-bijian yang dialihkan untuk ternak dan produksi biofuel kendaraan, konsumsi biji-bijian dunia per tahun meningkat dari 815 juta metrik ton pada 1960 menjadi 2,16 miliar metrik ton pada 2008. Sejak 2005, demam bioetanol saja telah meningkatkan pertumbuhan konsumsi padi-padian dari sekitar 20 juta ton per tahun menjadi 50 juta ton, menurut Lester Brown dari Earth Policy Institute, walaupun pertumbuhan itu dapat berubah karena lesunya industri etanol.
China yang menjadi negara penanam jagung terbesar kedua di dunia sekalipun tidak dapat menghasilkan cukup jagung bagi semua babinya. Sebagian besar dari kekurangannya dipenuhi dengan mengimpor kedelai dari AS atau Brasil, salah satu dari sedikit negara yang masih dapat memperluas lahan pertaniannya—terkadang dengan membabat hutan hujan. Naiknya permintaan untuk pangan, makanan ternak, dan biofuel menjadi penyebab utama deforestasi di daerah tropis. Antara 1980 hingga 2000, lebih dari separuh luas lahan pertanian baru di kawasan tropis dibuat dari hutan hujan utuh; Brasil saja memperluas lahan kedelainya di Amazonia 10 persen per tahun mulai dari 1990 hingga 2005.
Sebagian kedelai Brasil itu mungkin sampai ke bak makan ternak di Guangzhou Lizhi Farms, TPMT terbesar di Guangdong. CAFO itu terletak di sebuah lembah hijau, yang tak jauh dari jalan tol empat jalur yang sedang dibangun, memiliki sekitar 60 kandang babi berwarna putih yang tersebar di sekeliling kolam-kolam besar, bagian sistem pengolahan limbah dari 100.000 ekor babi. Kota Guangzhou juga membangun pabrik-pengemasan-daging baru yang akan memotong 5.000 ekor babi tiap hari. Pada saat penduduk China mencapai 1,5 miliar jiwa, sekitar 20 tahun mendatang, beberapa pakar memperkirakan mereka perlu 200 juta babi tambahan hanya untuk mengimbangi jumlah tersebut. Itu baru di China. Konsumsi daging dunia diperkirakan akan berlipat dua pada 2050. Ini berarti kita perlu biji-bijian tambahan dalam jumlah sangat banyak.
INI BUKAN PERTAMA KALINYA dunia berada di tepi jurang krisis pangan—ini hanyalah pengulangan yang terbaru. Pada usia 83, Gurcharan Singh Kalkat telah hidup cukup lama untuk menginngat salah satu bencana kelaparan terburuk di abad ke-20. Pada 1943, sebanyak empat juta manusia meninggal dalam “koreksi Malthus” yang dikenal sebagai Kelaparan Benggala. Selama dua dasawarsa berikutnya, India harus mengimpor jutaan ton biji-bijian untuk mengasupi rakyatnya.
Lalu datanglah revolusi hijau. Pada medio 1960-an saat India berjuang mengasupi rakyatnya selama musim kering yang kembali membawa bencana, seorang pemulia tanaman AS Norman Borlaug bekerja sama dengan para peneliti India untuk membawa varietas gandum unggul temuannya ke Punjab. Bibit baru itu berkah dari Tuhan, ujar Kalkat yang saat itu menjabat sebagai deputi direktur pertanian Punjab. Pada 1970, dengan upaya yang sama, petani memperoleh hasil lipat tiga. “Kami bingung mau diapakan surplus tersebut. Kami liburkan sekolah sebulan lebih awal agar dapat menyimpan hasil panen gandum di gedung sekolah,” kata Kalkat.
Borlaug lahir di Iowa dan menganggap misinya adalah menyebarkan metode pertanian produksi-tinggi yang mengubah Midwest Amerika menjadi lumbung gandum bagi tempat-tempat miskin di seluruh dunia. Varietas gandum genjah terbarunya yang berbatang besar dan pendek menopang bulir yang penuh dan besar, merupakan terobosan yang mengejutkan. Varietas ini dapat menghasilkan bulir melebihi gandum jenis lain—asalkan tersedia banyak air, pupuk buatan, serta tak banyak gangguan gulma dan hama. Karena itu, pemerintah India menyubsidi pembuatan saluran irigasi, pupuk, dan penggalian sumur pipa untuk irigasi, serta memberi petani listrik gratis untuk memompa air. Varietas gandum baru tersebut segera menyebar ke seluruh Asia, mengubah cara bertani tradisional jutaan petani dan segera diikuti oleh galur padi “ajaib” baru. Tanaman pangan jenis baru tersebut tumbuh dewasa lebih cepat, sehingga petani bisa panen dua kali setahun, alih-alih hanya sekali. Kini panen gandum, beras, dan kapas dua kali setahun merupakan hal biasa di Punjab, yang bersama tetangganya Haryana, saat ini memasok lebih dari 90 persen gandum yang dibutuhkan negara-negara bagian yang kurang padi-padian di India.
!break!
Revolusi hijau yang dimulai Borlaug tidak ada hubungannya dengan label hijau ramah-lingkungan yang populer saat ini. Dengan penggunaan pupuk buatan dan pestisida untuk memelihara ladang luas dari tanaman sejenis, metode yang dikenal sebagai monokultur, cara baru pertanian industri ini merupakan antitesis dari tren pertanian organik saat ini. Sebetulnya, William S. Gaud yang saat itu menjabat administrator di US Agency for International Development menciptakan frase itu pada 1968 untuk menggambarkan alternatif bagi revolusi merah Rusia, yaitu saat buruh, tentara, dan rakyat jelata yang lapar memberontak terhadap pemerintahan tsar. Revolusi hijau yang lebih damai sangat berhasil, sehingga Borlaug mendapat Hadiah Nobel Perdamaian pada 1970.
Sayangnya, saat ini keajaiban revolusi hijau telah berakhir di Punjab: Tak ada lagi pertumbuhan hasil panen sejak medio 1990-an. Irigasi berlebihan menyebabkan penurunan aras air secara drastis, yang saat ini disedot oleh 1,3 juta sumur pipa, sementara ribuan hektare lahan produktif rusak karena salinisasi dan digenangi air. Empat puluh tahun pemakaian pestisida, pupuk, dan irigasi intensif telah merusak tanah abu-abu berlempung di Punjab. Dalam beberapa kasus, juga membahayakan masyarakatnya.
Di desa petani Bhuttiwala yang berdebu, yang dihuni 6.000 jiwa di distrik Muktsar, tetua desa Jagsir Singh dengan janggut panjang dan turban biru kobalt, menghitung korban yang jatuh: “Ada 49 orang yang meninggal karena kanker dalam empat tahun terakhir. Sebagian besar anak muda. Airnya tidak sehat. Beracun, tercemar. Tapi tetap saja orang minum air itu,” katanya.
Setelah menempuh jalan tanah sempit dan melewati beberapa gundukan tahi sapi kering, Singh memperkenalkan Amarjeet Kaur, wanita langsing usia 40 tahun yang selama bertahun-tahun mengambil air untuk keperluan rumah tangganya dari pompa tangan di kampung mereka yang tanahnya sekeras bata . Dia didiagnosis mengidap kanker payudara tahun lalu. Tej Kaur, 50 tahun, juga mengidap kanker payudara. Pembedahannya, ujarnya, tidak semenyakitkan kehilangan cucunya yang berusia tujuh tahun karena “kanker darah”—leukemia. Jagdev Singh adalah anak lelaki usia 14 tahun berwajah cakap yang tulang belakangnya rusak perlahan-lahan. Sambil duduk di kursi roda, dia menonton SpongeBob yang disulih suara ke dalam bahasa Hindi sementara ayahnya mendiskusikan prognosisnya. “Kata dokter, usianya tak akan sampai 20 tahun,” kata Bhola Singh.
Tak ada bukti bahwa kanker ini disebabkan oleh pestisida. Namun, para peneliti menemukan pestisida dalam darah, air, dan sayur petani Punjab, bahkan dalam air susu ibu. Demikian banyaknya orang naik kereta api dari daerah Malwa ke rumah sakit kanker di Bikaner sehingga kereta itu dijuluki Kereta Kanker. Pemerintah cukup cemas sehingga mengucurkan miliaran rupiah untuk pengolahan air osmosis-balik bagi desa-desa yang terparah.
!break!
Bukan itu saja, biaya pupuk dan pestisida yang tinggi menyebabkan banyak petani Punjab terlilit utang. Satu penelitian menemukan lebih dari 1.400 kasus petani bunuh diri di 93 desa antara 1988 hingga 2006. Beberapa grup menyatakan jumlah kasus bunuh diri di negara bagian itu mencapai 40.000 hingga 60.000 kasus selama periode tersebut. Banyak yang minum racun pestisida atau gantung diri di ladangnya.
“Revolusi hijau hanya membawa kemalangan bagi kami,” ujar Jarnail Singh, seorang pensiunan guru di desa Jajjal. “Tanah, lingkungan, dan air kami rusak karenanya. Dulu kami sering mengadakan pesta, orang dapat berkumpul dan bersukaria. Kini kami berkumpul di rumah sakit. Pemerintah mengorbankan masyarakat Punjab demi padi-padian.”
Pihak lain tentu saja memandang hal tersebut secara berbeda. Rattan Lal, seorang ilmuwan tanah terpandang di Ohio State University yang lulus dari Punjab Agricultural University tahun 1963 percaya bahwa penyalahgunaan—dan bukan penggunaan—teknologi revolusi hijaulah yang menyebabkan sebagian besar masalah. Ini termasuk penggunaan pupuk, pestisida, dan irigasi secara berlebihan, serta pembuangan semua sisa tanaman dari ladang yang pada dasarnya justru mengikis zat hara tanah. “Saya menyadari masalah kualitas serta surutnya air. Namun, revolusi hijau menyelamatkan ratusan juta jiwa. Memang menimbulkan masalah air, tapi pilihan lainnya adalah membiarkan orang mati kelaparan,” ujar Lal.
Dalam hal produksi, manfaat revolusi hijau sulit diingkari. India tidak lagi mengalami kelaparan sejak Borlaug memperkenalkan bibitnya di saat produksi biji-bijian dunia berlipat lebih dari dua kalinya. Beberapa ilmuwan menganggap pertambahan produksi padi saja menyebabkan pertambahan 700 juta manusia di planet ini.
Banyak ilmuwan pertanian dan petani yang percaya bahwa solusi bagi krisis pangan kita saat ini adalah revolusi hijau kedua, terutama didasarkan pada pengetahuan tentang gen yang baru-baru ini ditemukan. Para pemulia tanaman kini mengetahui urutan hampir seluruh dari sekitar 50.000 gen jagung dan kedelai, serta menggunakan pengetahuan tersebut dengan cara yang tak terbayangkan empat atau lima tahun lalu, ujar Robert Fraley, kepala bagian teknologi di raksasa pertanian Monsanto. Fraley percaya bahwa modifikasi genetika yang memungkinkan pemulia tanaman memperbaiki jenis tertentu dengan kelebihan spesies lain akan menghasilkan varietas baru yang lebih unggul, mengurangi kebutuhan pupuk, serta lebih tahan kekeringan—sasaran utama selama dasawarsa terakhir. Dia yakin bahwa dengan bioteknologi, tanaman utama Monsanto yang meliputi jagung, kapas, dan kedelai akan memberikan hasil dua kali lipat sebelum 2030. “Kita kini bersiap-siap menyambut masa terobosan ilmiah penting dalam sejarah pertanian.”
AFRIKA ADALAH BENUA tempat lahirnya Homo sapiens. Dengan tanahnya yang gersang, kurang hujan, dan penduduk yang terus bertambah, Afrika dapat dengan amat baik menyiratkan masa depan spesies kita. Karena pelbagai sebab—kurangnya prasarana, korupsi, pasar yang tak terjangkau—revolusi hijau tidak pernah sampai ke sini. Produksi pertanian per kapita malah menurun di Afrika sub-Sahara antara 1970 hingga 2000, sementara jumlah penduduk meningkat pesat, mengakibatkan defisit pangan sepuluh juta ton tiap tahun. Benua itu kini ditempati oleh lebih dari seperempat dari total jumlah orang terlapar di dunia.
Malawi yang kecil dan tidak berpantai, yang disebut “hati Afrika yang hangat” oleh industri pariwisata yang optimistis, juga berada di jantung Afrika yang lapar adalah contoh sempurna tentang derita pertanian di benua itu. Mayoritas penduduk Malawi, salah satu negara termiskin dan terpadat di Afrika, adalah petani jagung yang menyambung hidup dengan sekitar dua puluh ribu rupiah sehari. Tahun 2005 kekeringan kembali melanda Malawi dan sepertiga lebih dari penduduknya yang berjumlah 13 juta jiwa perlu bantuan pangan untuk bertahan hidup. Presiden Malawi Bingu wa Mutharika menyatakan bahwa dia dipilih bukan untuk memimpin negara pengemis. Setelah awalnya gagal membujuk Bank Dunia dan donatur lainnya untuk menyubsidi proyek revolusi hijau, Bingu memutuskan untuk membelanjakan sekitar 580 miliar rupiah dari kas negara untuk mendistribusikan bibit hibrida dan pupuk kepada petani miskin. Bank Dunia akhirnya mendukung upaya Malawi dan meminta Bingu menargetkan subsidi itu kepada para petani yang termiskin. Sekitar 1,3 juta keluarga petani menerima kupon pembelian tiga kilogram bibit jagung hibrida serta dua karung pupuk 50-kilogram dengan harga sepertiga dari harga pasar.
!break!
Yang terjadi selanjutnya adalah yang disebut Keajaiban Malawi. Bibit yang baik serta sedikit pupuk—dan kembali turunnya hujan—membantu petani meraup panen raya dua tahun berikutnya (sayangnya, panen tahun lalu turun sedikit). Panen 2007 diperkirakan 3,44 juta metrik ton, suatu rekor nasional. “Mereka berubah dari 44 persen defisit menjadi 18 persen surplus, produksinya naik dua kali lipat,” ujar Pedro Sanchez, direktur Tropical Agriculture Program di Columbia University yang menyarankan program ini kepada pemerintah Malawi. “Tahun berikutnya mereka mendapat 53 persen surplus dan mengekspor jagung ke Zimbabwe. Sungguh perubahan yang dramatis.”
Demikian dramatisnya sehingga perubahan itu meningkatkan kesadaran tentang pentingnya investasi di bidang pertanian untuk mengurangi kemiskinan dan kelaparan di tempat-tempat seperti Malawi. Pada bulan Oktober 2007, Bank Dunia mengeluarkan laporan kritis yang menyimpulkan bahwa badan itu, donatur internasional, dan pemerintah di Afrika tidak cukup membantu petani miskin di Afrika dan telah lalai berinvestasi di bidang pertanian selama 15 tahun sebelumnya. Setelah puluhan tahun menentang investasi publik di bidang pertanian dan menganjurkan solusi berbasis pasar bebas yang jarang terwujud, beberapa institusi seperti Bank Dunia mengubah strateginya dan mengucurkan dana untuk pertanian selama dua tahun terakhir ini.
Program subsidi di Malawi adalah bagian dari gerakan yang lebih besar untuk, akhirnya, membawa revolusi hijau ke Afrika. Sejak 2006, Rockefeller Foundation dan Bill and Melinda Gates Foundation telah menyumbang hampir lima triliun rupiah untuk mendanai Alliance for a Green Revolution in Africa, yang fokus utamanya adalah membawa program pemuliaan tanaman ke universitas-universitas di Afrika dan menyediakan cukup pupuk bagi ladang petani. Sanchez dari Columbia University bersama ekonom jempolan dan pahlawan kemiskinan Jeffrey Sachs menyediakan contoh konkret dari manfaat investasi seperti itu di 80 desa kecil yang terkelompok menjadi sekitar selusin “Desa Milenium” yang tersebar di tempat-tempat wabah kelaparan di Afrika. Dengan bantuan beberapa bintang musik rock dan aktor papan atas, Sanchez dan Sachs membelanjakan sekitar 3 miliar rupiah setahun di tiap desa kecil itu. Jumlahnya per orang setara dengan sepertiga PDB per kapita Malawi, sehingga banyak orang dalam komunitas pengembangan itu yang ragu apakah program seperti itu dapat bertahan lama.
Phelire Nkhoma, perempuan ceking yang ulet, bekerja sebagai petugas pemasyarakatan pertanian di salah satu dari dua Desa Milenium Malawi—tepatnya tujuh desa dengan total penduduk 35.000 jiwa. Dia menerangkan program tersebut saat kami mengendarai mobil pikap baru milik PBB dari kantornya di Distrik Zomba melintasi ladang hitam terbakar yang diselingi kembang ungu pohon jacaranda. Penduduk desa mendapatkan bibit hibrida dan pupuk secara gratis—asalkan saat panen, mereka menyumbang tiga karung jagung ke program asupan sekolah. Mereka mendapat kelambu dan obat antimalaria. Mereka memperoleh klinik lengkap dengan petugas kesehatan, lumbung untuk menyimpan hasil panen, serta sumur yang airnya aman diminum dalam radius satu kilometer dari setiap rumah. Sekolah dasar yang baik, sistem jalan yang bagus, dan sambungan listrik, serta internet akan dibangun di desa-desa ini, dan desa “Madonna”, yang terletak lebih ke utara.
“Madonna yang itu?” tanyaku.
“Ya. Kudengar dia bercerai dengan suami terbarunya. Benar begitu?”
Kemakmuran terlihat jelas di Desa Milenium, tempat Nkhoma memperlihatkan rumah-rumah baru dari bata yang beratap seng berkilat, sebuah lumbung yang penuh dengan bibit dan pupuk, sementara di bawah naungan sebatang pohon, seratus warga desa atau lebih dengan sabar mendengar penjelasan seorang bankir tentang cara mengajukan pinjaman pertanian. Banyak orang mengantre di depan jendela kasir di truk lapis baja milik Opportunity International Bank of Malawi. Salah seorang dari mereka adalah Cosmas Chimwara, seorang penjual kubis berusia 30-tahun. “Penjualan kubis berjalan bagus,” ujarnya. “Saya punya tiga sepeda, TV, ponsel, dan rumah yang lebih bagus.”
!break!
Kisah seperti itu menghangatkan hati Faison Tipoti adalah kepala desa yang berperan penting membawa proyek terkenal itu ke tempat tersebut. “Ketika Jeff Sachs datang dan bertanya, ‘Apa yang kalian inginkan?’ kami bilang bukan uang, bukan terigu, tapi beri kami pupuk dan bibit hibrida, dan dia akan melakukan kebajikan,” ujar Tipoti dengan suara yang dalam. Penduduk desa tak lagi menghabiskan hari-hari mereka di jalan mengemis makanan untuk anak mereka yang kena busung lapar dan penyakit lainnya. Tatapannya beralih ke arah beberapa anak yang bermain-main saat mencuci pakaian dan mengambil air dari sumur desa yang baru. “Berkat adanya proyek ini, tersedia air yang segar dan bersih di mana-mana,” kata Tipoti.
Namun, apakah pengulangan revolusi hijau—dengan paket tradisional pupuk buatan, pestisida, dan irigasi, dibantu bibit hasil rekayasa genetika—benar-benar merupakan jawaban krisis pangan dunia? Tahun lalu sebuah penelitian besar yang disebut “Penilaian Internasional atas Pengetahuan, Sains, dan Teknologi Pertanian untuk Pengembangan” menyimpulkan bahwa pertumbuhan produksi luar biasa yang dihasilkan oleh sains dan teknologi dalam 30 tahun terakhir telah gagal memperbaiki akses pangan di banyak tempat miskin di dunia. Penelitian enam tahun yang diprakarsai Bank Dunia dan Organisasi Pangan dan Pertanian PBB FAO, serta melibatkan sekitar 400 pakar pertanian dari seluruh dunia tersebut menganjurkan perubahan paradigma pertanian ke arah praktik yang lebih berkelanjutan dan ramah lingkungan yang akan bermanfaat bagi 900 juta petani kecil di dunia, bukan hanya bagi pelaku agribisnis.
Warisan revolusi hijau dalam bentuk tanah gersang dan akuifer yang kering merupakan satu alasan untuk mencari strategi baru. Demikian pula yang disebut penulis dan profesor dari University of California, Berkeley, Michael Pollan, sebagai tumit Achilles dalam metode revolusi hijau saat ini: ketergantungan kepada bahan bakar fosil. Gas alam, misalnya, adalah bahan mentah untuk pupuk nitrogen. “Cara satu-satunya agar satu petani dapat menyediakan pangan bagi 140 orang adalah dengan monokultur. Dan monokultur perlu banyak pupuk dan pestisida yang berbasis bahan bakar fosil,” ujar Pollan. “Ini hanya bisa dilakukan pada era bahan bakar fosil murah, dan era itu akan segera berakhir. Menganjurkan orang bergantung pada bahan bakar fosil sangatlah tidak bertanggung jawab.”
Sampai sekarang, terobosan genetika yang akan membebaskan tanaman revolusi hijau dari ketergantungannya yang tinggi pada irigasi dan pupuk masih belum tercapai. Tanaman rekayasa yang dapat menyediakan nitrogen sendiri atau yang tahan kekeringan “terbukti lebih sulit didapat dari perkiraan mereka,” kata Pollan. Fraley dari Monsanto memperkirakan perusahaannya akan menjual jagung tahan kekeringan di pasar AS sebelum 2012. Namun, pertambahan hasil panen selama musim kering itu diperkirakan hanya 6 hingga 10 persen di atas standar tanaman yang tak kebal kekeringan. Jadi, fokus sudah mulai bergeser ke arah proyek-proyek kecil dan minim modal yang tersebar di seantero Afrika dan Asia. Ada yang menyebutnya agroekologi, yang lain menyebutnya pertanian berkelanjutan, tetapi ide dasarnya revolusioner: bahwa kita harus berhenti berkonsentrasi pada peningkatan hasil panen semata apapun konsekuensinya, tetapi juga mempertimbangkan dampak lingkungan dan sosial dari produksi pangan tersebut. Vandana Shiva adalah fisikawan nuklir yang menjadi ahli agroekologi dan yang menjadi pengeritik tersengit perihal revolusi hijau India. “Saya menyebutnya monokultur pikiran. Mereka hanya melihat hasil gandum dan beras, sementara jenis dan kualitas makanan secara keseluruhan menurun. Dulu ada 250 jenis tanaman pangan di Punjab sebelum revolusi hijau,” katanya. Shiva berpendapat bahwa pertanian berskala kecil yang heterogen dapat memberikan hasil lebih banyak dengan produk berbasis minyak bumi yang lebih sedikit. Penelitian Shiva memperlihatkan bahwa penggunaan kompos, alih-alih pupuk dari gas alam, meningkatkan zat organik di dalam tanah, menyimpan karbon, serta menahan kelembapan—dua kelebihan penting bagi petani yang menghadapi perubahan iklim. “Jika kita membicarakan solusi krisis pangan, inilah metode yang kita perlukan,” tambah Shiva.
!break!
Di Malawi utara, satu proyek membuahkan banyak hasil yang sama dengan proyek Desa Milenium dengan biaya yang jauh lebih murah. Tidak ada bibit jagung hibrida, pupuk gratis, ataupun jalan baru di Ekwendeni. Alih-alih, proyek Soils, Food and Healthy Communities (SFHC) membagikan bibit kacang-kacangan, resep, serta petunjuk teknis cara menanam tanaman bergizi seperti kacang tanah, kacang iris, dan kedelai yang memperkaya tanah dengan mengikat nitrogen di samping menyehatkan pola makan anak-anak. Program tersebut dimulai tahun 2000 di Rumah Sakit Ekwendeni, tempat para staf program menemukan banyak kasus malnutrisi. Penelitian menyimpulkan bahwa penyebabnya adalah monokultur jagung yang mengakibatkan petani kecil hanya mendapat panen yang sedikit karena tanah dengan zat hara yang terkuras serta pupuk yang mahal.
Truk pikap proyek itu perlu didorong dulu agar bisa hidup, tapi tak lama kemudian Boyd Zimba, asisten koordinator proyek ini, dan Zacharia Nkhonya, penyelia keamanan pangan, sudah terguncang-guncang di jalan, sambil membicarakan efek negatif Keajaiban Malawi. “Pertama, subsidi pupuk tak bisa bertahan lama,” ujar Nkhonya, seorang pria kecil kuat yang murah senyum. “Kedua, tak semua orang kebagian. Ketiga, hanya ada sekali setahun, sementara kacang-kacangan bersifat jangka panjang—tanah bertambah baik setiap tahun, tidak seperti pupuk.”
Di desa kecil Encongolweni, kelompok yang terdiri atas 20-an orang petani SFHC menyambut kami dengan lagu tentang makanan yang mereka buat dari kedelai dan kacang iris. Kami duduk di balai desa seperti mengikuti peneguhan iman, sementara mereka menceritakan tentang perubahan hidup mereka setelah menanam kacang-kacangan. Kisah yang disampaikan Ackim Mhone umum ditemui. Dengan menyertakan kacang-kacangan dalam rotasi tanam, dia melipatgandakan panen jagung di lahannya yang sempit, sementara penggunaan pupuk turun setengahnya. “Itu cukup untuk mengubah hidup keluargaku,” kata Mhone. Dia pun bisa memperbaiki rumah dan membeli ternak. Kemudian, Alice Sumphi, petani berusia 67 tahun yang senyumnya nakal, menari di ladang tomat mudanya yang setinggi lutut. Wanita itu dengan bangga menyatakan bahwa tomatnya lebih besar daripada hasil petani yang lebih muda. Para peneliti Kanada menemukan bahwa setelah delapan tahun, anak-anak dari 7.000 keluarga lebih yang terlibat dalam proyek tersebut menunjukkan kenaikan berat badan yang signifikan, jelas membuktikan kaitan antara kesehatan tanah dan kesehatan masyarakat di Malawi.
Itulah sebabnya koordinator riset proyek tersebut, Rachel Bezner Kerr, merasa waswas bahwa berbagai yayasan yang punya dana besar menganjurkan revolusi hijau yang baru di Afrika. “Sangat merisaukan. Ini membuat petani bergantung pada bahan baku mahal yang diproduksi dari jauh yang menguntungkan perusahaan besar, bukannya pada metode agroekologi yang menggunakan sumber daya dan keterampilan lokal. Menurut saya bukan ini solusinya,” katanya.
!break!
Model mana pun yang berhasil—pertanian sebagai seni ekologi multitanaman, sebagai industri teknologi tinggi, atau kombinasi keduanya—tantangan untuk menyediakan cukup pangan bagi sembilan miliar mulut pada 2050 bakal sulit. Dua miliar manusia kini sudah hidup di bagian-bagian terkering Bumi, sementara perubahan iklim diperkirakan semakin memangkas hasil panen di daerah-daerah tersebut. Sebesar apapun potensi hasil panennya, tanaman tetap perlu air untuk tumbuh. Sementara tak lama lagi, setiap tahun dapat saja menjadi musim kering bagi sebagian besar wilayah di Bumi.
Penelitian iklim yang baru memperlihatkan bahwa gelombang panas yang ekstrem, seperti yang membuat tanaman layu dan membunuh ribuan orang di Eropa Barat tahun 2003, kemungkinan besar menjadi hal lazim di daerah tropis dan subtropis sebelum akhir abad ini. Gletser Himalaya yang kini menjadi sumber air bagi ratusan juta orang, ternak, dan lahan pertanian di China dan India tengah meleleh lebih cepat dan dapat betul-betul lenyap pada 2035. Dalam skenario terburuk, hasil panen beberapa jenis padi-padian dapat menurun sebanyak 10-15 persen di Asia Selatan sebelum 2030. Perkiraan di Afrika bagian selatan lebih mengenaskan. Di wilayah yang sudah dilanda kelangkaan air dan kerawanan pangan ini, panen jagung yang berarti segalanya bagi mereka itu dapat turun sebanyak 30 persen—atau 47 persen dalam skenario terburuk. Sementara itu jumlah penduduk terus bertambah dengan laju neto 2,5 mulut baru yang harus diberi makan setiap detik. Itu berarti sekitar 4.500 mulut baru selama Anda membaca artikel ini.
Tak pelak lagi, kita kembali pada Malthus.
PADA SUATU HARI YANG DINGIN DI MUSIM GUGUR, yang memerahkan wajah penduduk London yang paling tangguh sekalipun, saya mengunjungi British Library dan memeriksa edisi pertama buku yang masih menimbulkan debat sengit tersebut. Essay on the Principle of Population karya Malthus terlihat seperti buku teks anak SMP. Di balik uraiannya yang jelas dan tegas, bergema suara pendeta desa nan rendah hati yang berharap, lebih dari apapun, teorinya salah.
“Orang yang mengatakan Malthus salah biasanya belum membaca tulisannya,” kata Tim Dyson, profesor bidang studi kependudukan di London School of Economics. “Sudut pandangnya tidak berbeda dari sudut pandang Adam Smith dalam jilid pertama The Wealth of Nations. Tak seorang pun yang berakal sehat meragukan pendapat bahwa jumlah penduduk harus berada dalam batasan sumber dayanya. Selain itu, kapasitas masyarakat dalam meningkatkan sumber daya dari basis itu sangat terbatas.”
Walaupun esainya menekankan “kontrol positif” pada populasi melalui kelaparan, penyakit, dan perang, “kontrol preventif”-nya mungkin lebih penting. Tenaga kerja yang bertambah, tulis Malthus, akan menurunkan upah yang cenderung membuat orang menunda pernikahan sampai dapat menopang keluarganya dengan lebih baik. Menunda pernikahan berarti menurunkan tingkat kesuburan yang menciptakan kontrol yang sama kuatnya terhadap jumlah penduduk. Kini diketahui bahwa inilah mekanisme dasar yang mengatur pertumbuhan penduduk di Eropa barat selama sekitar 300 tahun sebelum revolusi industri—bukti yang sangat kuat bagi ilmuwan sosial mana pun, ujar Dyson.
Namun, ketika Inggris baru-baru ini mengeluarkan uang pecahan 20 pound sterling yang baru, gambar Adam Smith lah yang tertera, bukan TR Malthus. Malthus tidak sesuai dengan etos saat itu. Orang tak ingin berpikir tentang batas. Namun saat jumlah penduduk di planet ini mendekati sembilan miliar jiwa, dan semua memperebutkan peluang yang sama, gaya hidup yang sama, makanan yang sama, mengabaikan batas itu membahayakan nasib manusia.
Tak ada ekonom klasik yang hebat meramalkan kedatangan revolusi industri atau transformasi ekonomi dan pertanian yang diakibatkannya. Energi murah yang tersedia dalam batu bara—dan kemudian bahan bakar fosil lainnya—menyebabkan kenaikan terbesar pangan, kekayaan pribadi, dan jumlah penduduk di dunia, sehingga jumlah manusia di Bumi meningkat tujuh kali lipat populasi era Malthus. Namun, kekurangan makan, kelaparan, dan malnutrisi tetap saja menghantui kita, sebagaimana yang diramalkan Malthus.
“Beberapa tahun lalu saya bekerja sama dengan seorang ahli demografi China,” kata Dyson. “Suatu hari dia menunjukkan dua huruf China äººå£ di atas pintu kantornya yang berarti ‘penduduk.’ Huruf itu terdiri atas huruf orang (人) dan mulut (å£). Itu sungguh membuat saya terkesan. Pada akhirnya harus ada keseimbangan antara jumlah penduduk dan sumber daya. Pendapat bahwa kita dapat terus tumbuh selamanya, tentu saja itu konyol.”
Mungkin dari dalam kuburnya di Bath Abbey, Malthus sedang menggoyang jari yang tinggal tulang dan berkata, “Kubilang juga apa.”
Penulis | : | |
Editor | : | Administrator |
KOMENTAR