Di desa tepencil Velika Hoca di bagian barat daya Kosovo—ini adalah negara baru atau provinsi Serbia yang memberontak, tergantung kepada siapa Anda bertanya—warganya masih membicarakan laga yang pecah beberapa tahun lampau. Peristiwa itu merebak pascaperang Kosovo, diawali pertempuran antara gerilyawan kaum geriliya separatis Albania dengan tentara Serbia dan berakhir ketika serangan udara NATO menghujani Serbia dan presiden otoriternya, Slobodan Milosevic, hingga akhirnya tunduk pada bulan Juni 1999. Pihak Barat yang beranggapan bahwa kedamaian akan kembali bertahta setelah sang diktaktor dan pasukannya takluk, turun tangan untuk menghentikan kekejaman terhadap etnik Albania di Kosovo dan mencegah terjadinya krisis pengungsian.
!break!
Namun realitas pascaperang jauh dari kedamaian. Etnik mayoritas Albania kini menduduki puncak kekuasaan, sedangkan minoritas Serbia tergusur ke dasar. Pembunuhan warga sipil terus berlangsung dan arus pengungsian, kali ini warga Serbia, mengalir dari Kosovo yang bergunung-gunung, Kosovo yang dilanda perselisihan etnis endemik dan stagnasi ekonomi dan berukuran lebih kecil dibandingkan pusat kota Los Angeles.
Pada hari terjadinya laga di Velika Hoca yang jadi tempat beberapa ratus etnik Serbia bertahan di lembah antara bukit-bukit berbatu, seorang politikus lokal dan mantan prajurit Bojan Nakalamic—lelaki yang pendek gemuk, angkuh, dan belum berusia 30 tahun—melayangkan pukulan untuk membela harga diri etnik Serbia. Hanya sedikit harga diri yang tersisa di tanah yang mereka sebut sebagai tanah leluhur bangsa Serbia itu.
Sesuai dengan jalan cerita, beberapa pemuda Albania memasuki desa tersebut dan mulai menggoda sejumlah gadis setempat. Hari itu diakhiri dengan penghinaan dan pengusiran yang sepantasnya terhadap para pemuda Albania tersebut dari tempat etnik Serbia dan Bojan Nakalamiclah yang memimpin pemukulan itu. Bagi warga Velika Hoca, peristiwa tersebut menjadi bukti bahwa orang Serbia masih mampu menghasilkan seorang pahlawan, seorang lelaki yang disegani. Bagiku, setiap kali hal itu diceritakan kembali, Nakalamic sepertinya semakin seperti preman nasionalis.
!break!
Jadi, adalah sebuah kejutan ketika aku akhirnya bertemu dengan Nakalamic dan mengetahui—dalam situasi pemutarbalikan fakta ala Balkan yang klasik—bahwa lelaki tangguh yang memukuli warga Albania karena menyeberangi garis batas budaya itu telah berpihak kepada mereka secara politis, bergabung dengan pemerintahannya yang baru dan menentang pemerintah Serbia dalam upayanya tersebut. Nakalamic tidak berniat untuk mendukung nasionalisme Albania. Namun, sebagai anggota masyarakat yang tersingkir di negeri yang tak ramah, ia menyimpulkan bahwa mengungkung diri di dalam ghetto Serbia hanya membawa petaka. Ia memberitahuku dalam bahasa Inggris yang hati-hati, ”Jika kita ingin bertahan hidup di Kosovo, kita harus berpartisipasi.”
Bendera Gereja Ortodoks Serbia yang menjadi simbol identitas bangsa Serbia selama perjuangan ratusan tahun memuat semboyan ”Hanya Persatuan yang Akan Menyelamatkan Bangsa Serbia.” Bendera tersebut menaungi sebuah masyarakat sebagaimana dicatat oleh masa lalu yang panjang. Peperangan dan belas kasihan dari kerajaan-kerajaan penakluk telah mencerai-beraikan bangsa Serbia yang jumlahnya lebih dari 10 juta jiwa ke berbagai tempat. Ke selatan menuju kantong-kantong permukiman di Kosovo (di mana 150.000 orang masih bertahan) dan Montenegro; ke segenap Serbia tengah, tempat sebagian besar bangsa Serbia menetap saat ini; ke utara yaitu Hongaria; dan ke barat, tersebar di Bosnia dan Herzegovina serta Kroasia (banyak lainnya menyebar ke Eropa Barat dan Amerika Utara). Selama berabad-abad mereka berjuang dengan semangat berkobar untuk menyatukan bangsanya yang terpencar, menetapkan tanah air, dan memelihara identitas unik mereka.
Namun persatuan adalah upaya pencarian yang melibatkan bangsa Serbia ke dalam konflik keji dengan tetangga-tetangganya di Balkan, daerah yang memiliki beragam etnik, dan juga dengan dunia luas. Kini bangsa Serbia seringkali dilihat sebagai agresor utama dalam peperangan berdarah era 1990-an yang memecah-belah Yugoslavia. Dengan banyaknya orang Serbia yang terlibat dalam kejahatan terhadap kemanusiaan—termasuk pembersihan etnis dan genosida dalam perang di Bosnia—bangsa Serbia memerotes keras bahwa Barat telah menuduh mereka, sementara kejahatan-kejahatan serupa yang dilakukan terhadap mereka diabaikan. Bangsa Serbia menghadapi sebuah pertanyaan yang mengganggu: apakah arti persatuan bagi bangsa Serbia dalam Eropa abad ke-21?
Pertanyaan tersebut bersifat memecah-belah bagi bangsa Serbia sekaligus menggelisahkan bagi tetangga-tetangganya. Bagi Nakalamic, jawaban dari pertanyaan itu diawali dengan mengedepankan kepentingan desanya. Oleh karena itu ia telah menerima kursi sebagai orang Serbia satu-satunya dalam dewan kota Rahovec (Orahovac) yang bertugas mengawasi desa-desa setempat, termasuk Velika Hoca. Dewan tersebut berada di bawah juridiksi Republik Kosovo, wilayah dengan 90 persen warganya terdiri atas etnik Albania yang mendeklarasikan kemerdekan dari Serbia pada Februari 2008 dengan dukungan kuat Amerika Serikat dan sebagian besar negara Eropa. Bagi banyak orang Serbia, langkah tersebut menjadikan Nakalamic seorang pengkhianat.
!break!
Setelah Kosovo merdeka, pemirsa televisi di seluruh dunia menyaksikan para nasionalis radikal menyerang Belgrade, Ibukota Serbia, memecahkan jendela-jendela dan membakar simbol keangkuhan campur tangan asing—yaitu kedutaan AS. Pemerintah Serbia menganggap kemerdekaan Kosovo sebagai pemekaran ilegal atas tanah kedaulatan Serbia. Mereka memerintahkan warga Serbia di Kosovo—banyak di antara mereka menerima bantuan tunai dari Serbia—untuk memboikot pemilu di sana, dan sebagian besar menurutinya. Tanpa memenuhi syarat pemilihan dari distriknya, Nakalamic kekurangan suara untuk memasuki dewan sehingga tidak dapat berpartisipasi penuh dalam menyusun anggaran ataupun peraturan lokal.
Namun banyak warga Serbia yang tampaknya menerima kehadiran perbatasan baru itu serta prospek terhadap Serbia yang lebih kecil dan tenang yang akur dengan tetangga-tetangganya. ”Orang-orang berbaris dan berdemonstrasi, tetapi tidak seorang pun yang betul-betul yakin kami bakal mendapatkan Kosovo kembali,” kata Marina Alavanja, wanita muda yang kutemui di Belgrade ketika ia dan tunangannya, seorang keturunan Karibia Amerika dari New York, menikmati minum tengah malam bersama teman-temannya di sebuah jalanan yang modis di Belgrade. Alavanja, seorang pelajar di Florence, adalah orang Serbia yang liberal dan berorientasi internasional dan yang menjadi tumpuan harapan pemerintahan di Barat. Setelah kemerdekaan Kosovo dan kerusuhan yang terjadi setelahnya, pemilih Serbia, pada musim semi 2008, mengejutkan dunia ketika memilih sebuah pemerintahan yang pro-pemerintahan di Uni Eropa yang berjanji akan mengusut penjahat perang Serbia—bukti kepercayaan yang luas bahwa harapan terbesar bagi negara tersebut untuk mengalami perkembangan budaya dan ekonomi adalah dengan bersama-sama Barat.
Namun pihak luar tidak boleh salah menafsirkan ketidak-keberatan mereka sebagai sebuah bentuk penerimaan, kata Alavanja. ”Ini menyangkut harga diri orang Serbia,” katanya. ”Kami tidak bisa berkata, ’Tentu saja, ambillah Kosovo. Lakukan apa saja yang kalian inginkan terhadap kami.’ Jika begitu, bangsa seperti apa kami ini?” Srdja Popovic, pengacara hak asasi manusia yang mengejar tersangka-tersangka penjahat perang Serbia, mengatakan bahwa jurang antara kaum nasionalis yang non-kompromistis dengan kaum demokrat ala Barat, termasuk presiden Serbia Boris Tadic, tidaklah selebar yang dikira oleh orang asing. Bagi Popovic, semua partai besar dalam batas-batas tertentu memiliki idealisme untuk menyatukan semua wilayah yang ditempati bangsa Serbia—ini adalah katalis peperangan pada 1990-an. ”Terlalu berlebihan jika dikatakan bahwa negara ini terpecah antara kaum demokrat dan nasionalis,” katanya. ”Dalam kenyataannya, idealisme nasionalis masih dominan.”
Demikian pula halnya dengan obsesi terhadap masa lalu, yang merupakan sebuah narasi atas penderitaan dan keberanian nasional bangsa Serbia. ”Rakyat kecil seringkali menjadi korban ketidakadilan,” ucap Dragoljub Micunovic, seorang tokoh oposisi pada era kekuasaan Milosevic dan kini telah menduduki posisi tinggi dalam partai Demokrat. Micunovic menyebutkan aneksasi Bosnia (tempat tinggal bagi banyak warga Serbia) oleh Austria-Hongaria pada 1908. Walau terhina, Serbia terpaksa menurutinya. Namun pada 1914, warga Serbia Bosnia Gavrilo Princip melawan, menewaskan putra mahkota Austria di Sarajevo dan memicu terjadinya Perang Dunia I. Setengah dari populasi pemuda Serbia usia militer tewas dalam perang tersebut, tetapi kerajaan pengganggu berhasil dikalahkan dan di Serbia masa kini, Princip dianggap seorang pahlawan.
!break!
Titik nol bagi kemartiran warga Serbia saat ini ada di Kosovo. Bagi orang Serbia sayap kanan, para politisi seperti Demokrat yang menolak untuk melakukan perlawanan hingga titik darah penghabisan dianggap sebagai Judas. Pencercaan dari kisah keagamaan tersebut disengaja karena banyak warga Serbia menganggap Kosovo sebagai tanah air spiritualnya. Slobodan Milosevic mengeksploitasi sentimen tersebut pada 1980-an. Ia berhasil menduduki kursi kepresidenan diantaranya dengan menggunakan platform yang bertujuan menghancurkan kekuasaan bangsa Albania di Kosovo. Milosevic meninggal tahun 2006 saat menjalani pengadilan maraton dengan dakwaan kejahatan perang, termasuk kekerasan terhadap warga sipil etnik Albania di Kosovo. Sulit untuk menilai apakah sisa aura propagandanya yang bersifat ofensif atau pemuliaan keaslian budayalah yang menggerakkan sebagian orang Serbia untuk menyebut Kosovo sebagai Yerusalem mereka, dan sebagian lainnya menyebut Kosovo dengan Golgotha mereka.
Penulis | : | |
Editor | : | Administrator |
KOMENTAR