Di desa tepencil Velika Hoca di bagian barat daya Kosovo—ini adalah negara baru atau provinsi Serbia yang memberontak, tergantung kepada siapa Anda bertanya—warganya masih membicarakan laga yang pecah beberapa tahun lampau. Peristiwa itu merebak pascaperang Kosovo, diawali pertempuran antara gerilyawan kaum geriliya separatis Albania dengan tentara Serbia dan berakhir ketika serangan udara NATO menghujani Serbia dan presiden otoriternya, Slobodan Milosevic, hingga akhirnya tunduk pada bulan Juni 1999. Pihak Barat yang beranggapan bahwa kedamaian akan kembali bertahta setelah sang diktaktor dan pasukannya takluk, turun tangan untuk menghentikan kekejaman terhadap etnik Albania di Kosovo dan mencegah terjadinya krisis pengungsian.
!break!
Namun realitas pascaperang jauh dari kedamaian. Etnik mayoritas Albania kini menduduki puncak kekuasaan, sedangkan minoritas Serbia tergusur ke dasar. Pembunuhan warga sipil terus berlangsung dan arus pengungsian, kali ini warga Serbia, mengalir dari Kosovo yang bergunung-gunung, Kosovo yang dilanda perselisihan etnis endemik dan stagnasi ekonomi dan berukuran lebih kecil dibandingkan pusat kota Los Angeles.
Pada hari terjadinya laga di Velika Hoca yang jadi tempat beberapa ratus etnik Serbia bertahan di lembah antara bukit-bukit berbatu, seorang politikus lokal dan mantan prajurit Bojan Nakalamic—lelaki yang pendek gemuk, angkuh, dan belum berusia 30 tahun—melayangkan pukulan untuk membela harga diri etnik Serbia. Hanya sedikit harga diri yang tersisa di tanah yang mereka sebut sebagai tanah leluhur bangsa Serbia itu.
Sesuai dengan jalan cerita, beberapa pemuda Albania memasuki desa tersebut dan mulai menggoda sejumlah gadis setempat. Hari itu diakhiri dengan penghinaan dan pengusiran yang sepantasnya terhadap para pemuda Albania tersebut dari tempat etnik Serbia dan Bojan Nakalamiclah yang memimpin pemukulan itu. Bagi warga Velika Hoca, peristiwa tersebut menjadi bukti bahwa orang Serbia masih mampu menghasilkan seorang pahlawan, seorang lelaki yang disegani. Bagiku, setiap kali hal itu diceritakan kembali, Nakalamic sepertinya semakin seperti preman nasionalis.
!break!
Jadi, adalah sebuah kejutan ketika aku akhirnya bertemu dengan Nakalamic dan mengetahui—dalam situasi pemutarbalikan fakta ala Balkan yang klasik—bahwa lelaki tangguh yang memukuli warga Albania karena menyeberangi garis batas budaya itu telah berpihak kepada mereka secara politis, bergabung dengan pemerintahannya yang baru dan menentang pemerintah Serbia dalam upayanya tersebut. Nakalamic tidak berniat untuk mendukung nasionalisme Albania. Namun, sebagai anggota masyarakat yang tersingkir di negeri yang tak ramah, ia menyimpulkan bahwa mengungkung diri di dalam ghetto Serbia hanya membawa petaka. Ia memberitahuku dalam bahasa Inggris yang hati-hati, ”Jika kita ingin bertahan hidup di Kosovo, kita harus berpartisipasi.”
Bendera Gereja Ortodoks Serbia yang menjadi simbol identitas bangsa Serbia selama perjuangan ratusan tahun memuat semboyan ”Hanya Persatuan yang Akan Menyelamatkan Bangsa Serbia.” Bendera tersebut menaungi sebuah masyarakat sebagaimana dicatat oleh masa lalu yang panjang. Peperangan dan belas kasihan dari kerajaan-kerajaan penakluk telah mencerai-beraikan bangsa Serbia yang jumlahnya lebih dari 10 juta jiwa ke berbagai tempat. Ke selatan menuju kantong-kantong permukiman di Kosovo (di mana 150.000 orang masih bertahan) dan Montenegro; ke segenap Serbia tengah, tempat sebagian besar bangsa Serbia menetap saat ini; ke utara yaitu Hongaria; dan ke barat, tersebar di Bosnia dan Herzegovina serta Kroasia (banyak lainnya menyebar ke Eropa Barat dan Amerika Utara). Selama berabad-abad mereka berjuang dengan semangat berkobar untuk menyatukan bangsanya yang terpencar, menetapkan tanah air, dan memelihara identitas unik mereka.
Namun persatuan adalah upaya pencarian yang melibatkan bangsa Serbia ke dalam konflik keji dengan tetangga-tetangganya di Balkan, daerah yang memiliki beragam etnik, dan juga dengan dunia luas. Kini bangsa Serbia seringkali dilihat sebagai agresor utama dalam peperangan berdarah era 1990-an yang memecah-belah Yugoslavia. Dengan banyaknya orang Serbia yang terlibat dalam kejahatan terhadap kemanusiaan—termasuk pembersihan etnis dan genosida dalam perang di Bosnia—bangsa Serbia memerotes keras bahwa Barat telah menuduh mereka, sementara kejahatan-kejahatan serupa yang dilakukan terhadap mereka diabaikan. Bangsa Serbia menghadapi sebuah pertanyaan yang mengganggu: apakah arti persatuan bagi bangsa Serbia dalam Eropa abad ke-21?
Pertanyaan tersebut bersifat memecah-belah bagi bangsa Serbia sekaligus menggelisahkan bagi tetangga-tetangganya. Bagi Nakalamic, jawaban dari pertanyaan itu diawali dengan mengedepankan kepentingan desanya. Oleh karena itu ia telah menerima kursi sebagai orang Serbia satu-satunya dalam dewan kota Rahovec (Orahovac) yang bertugas mengawasi desa-desa setempat, termasuk Velika Hoca. Dewan tersebut berada di bawah juridiksi Republik Kosovo, wilayah dengan 90 persen warganya terdiri atas etnik Albania yang mendeklarasikan kemerdekan dari Serbia pada Februari 2008 dengan dukungan kuat Amerika Serikat dan sebagian besar negara Eropa. Bagi banyak orang Serbia, langkah tersebut menjadikan Nakalamic seorang pengkhianat.
!break!
Setelah Kosovo merdeka, pemirsa televisi di seluruh dunia menyaksikan para nasionalis radikal menyerang Belgrade, Ibukota Serbia, memecahkan jendela-jendela dan membakar simbol keangkuhan campur tangan asing—yaitu kedutaan AS. Pemerintah Serbia menganggap kemerdekaan Kosovo sebagai pemekaran ilegal atas tanah kedaulatan Serbia. Mereka memerintahkan warga Serbia di Kosovo—banyak di antara mereka menerima bantuan tunai dari Serbia—untuk memboikot pemilu di sana, dan sebagian besar menurutinya. Tanpa memenuhi syarat pemilihan dari distriknya, Nakalamic kekurangan suara untuk memasuki dewan sehingga tidak dapat berpartisipasi penuh dalam menyusun anggaran ataupun peraturan lokal.
Namun banyak warga Serbia yang tampaknya menerima kehadiran perbatasan baru itu serta prospek terhadap Serbia yang lebih kecil dan tenang yang akur dengan tetangga-tetangganya. ”Orang-orang berbaris dan berdemonstrasi, tetapi tidak seorang pun yang betul-betul yakin kami bakal mendapatkan Kosovo kembali,” kata Marina Alavanja, wanita muda yang kutemui di Belgrade ketika ia dan tunangannya, seorang keturunan Karibia Amerika dari New York, menikmati minum tengah malam bersama teman-temannya di sebuah jalanan yang modis di Belgrade. Alavanja, seorang pelajar di Florence, adalah orang Serbia yang liberal dan berorientasi internasional dan yang menjadi tumpuan harapan pemerintahan di Barat. Setelah kemerdekaan Kosovo dan kerusuhan yang terjadi setelahnya, pemilih Serbia, pada musim semi 2008, mengejutkan dunia ketika memilih sebuah pemerintahan yang pro-pemerintahan di Uni Eropa yang berjanji akan mengusut penjahat perang Serbia—bukti kepercayaan yang luas bahwa harapan terbesar bagi negara tersebut untuk mengalami perkembangan budaya dan ekonomi adalah dengan bersama-sama Barat.
Namun pihak luar tidak boleh salah menafsirkan ketidak-keberatan mereka sebagai sebuah bentuk penerimaan, kata Alavanja. ”Ini menyangkut harga diri orang Serbia,” katanya. ”Kami tidak bisa berkata, ’Tentu saja, ambillah Kosovo. Lakukan apa saja yang kalian inginkan terhadap kami.’ Jika begitu, bangsa seperti apa kami ini?” Srdja Popovic, pengacara hak asasi manusia yang mengejar tersangka-tersangka penjahat perang Serbia, mengatakan bahwa jurang antara kaum nasionalis yang non-kompromistis dengan kaum demokrat ala Barat, termasuk presiden Serbia Boris Tadic, tidaklah selebar yang dikira oleh orang asing. Bagi Popovic, semua partai besar dalam batas-batas tertentu memiliki idealisme untuk menyatukan semua wilayah yang ditempati bangsa Serbia—ini adalah katalis peperangan pada 1990-an. ”Terlalu berlebihan jika dikatakan bahwa negara ini terpecah antara kaum demokrat dan nasionalis,” katanya. ”Dalam kenyataannya, idealisme nasionalis masih dominan.”
Demikian pula halnya dengan obsesi terhadap masa lalu, yang merupakan sebuah narasi atas penderitaan dan keberanian nasional bangsa Serbia. ”Rakyat kecil seringkali menjadi korban ketidakadilan,” ucap Dragoljub Micunovic, seorang tokoh oposisi pada era kekuasaan Milosevic dan kini telah menduduki posisi tinggi dalam partai Demokrat. Micunovic menyebutkan aneksasi Bosnia (tempat tinggal bagi banyak warga Serbia) oleh Austria-Hongaria pada 1908. Walau terhina, Serbia terpaksa menurutinya. Namun pada 1914, warga Serbia Bosnia Gavrilo Princip melawan, menewaskan putra mahkota Austria di Sarajevo dan memicu terjadinya Perang Dunia I. Setengah dari populasi pemuda Serbia usia militer tewas dalam perang tersebut, tetapi kerajaan pengganggu berhasil dikalahkan dan di Serbia masa kini, Princip dianggap seorang pahlawan.
!break!
Titik nol bagi kemartiran warga Serbia saat ini ada di Kosovo. Bagi orang Serbia sayap kanan, para politisi seperti Demokrat yang menolak untuk melakukan perlawanan hingga titik darah penghabisan dianggap sebagai Judas. Pencercaan dari kisah keagamaan tersebut disengaja karena banyak warga Serbia menganggap Kosovo sebagai tanah air spiritualnya. Slobodan Milosevic mengeksploitasi sentimen tersebut pada 1980-an. Ia berhasil menduduki kursi kepresidenan diantaranya dengan menggunakan platform yang bertujuan menghancurkan kekuasaan bangsa Albania di Kosovo. Milosevic meninggal tahun 2006 saat menjalani pengadilan maraton dengan dakwaan kejahatan perang, termasuk kekerasan terhadap warga sipil etnik Albania di Kosovo. Sulit untuk menilai apakah sisa aura propagandanya yang bersifat ofensif atau pemuliaan keaslian budayalah yang menggerakkan sebagian orang Serbia untuk menyebut Kosovo sebagai Yerusalem mereka, dan sebagian lainnya menyebut Kosovo dengan Golgotha mereka.
Di sebuah bukit sebelah barat Velika Hoca, di bawah pos pengamatan yang ditempati oleh penjaga perdamaian NATO selama hampir satu dekade, terdapat sebuah makam yang memiliki pemandangan yang luas: diantara kumpulan rumah tua dan perkebunan anggur sisi bukit yang memasok pabrik anggur kota tersebut, dimiliki oleh biara Ortodoks Serbia, lebih dari selusin gereja kecil tersebar di lembah tersebut. Beberapa diantaranya merupakan harta peninggalan abad pertengahan yang dihiasi lukisan-lukisan dinding yang menggambarkan kehidupan Kristus, ikon-ikon santo, dan Hari Kiamat. Tidak seorang pun termasuk pendeta setempat yang mampu menjelaskan mengapa kawasan pertanian sederhana tersebut menjadi tempat investasi bagi hal-hal yang suci selama berabad-abad.
Beberapa gereja di desa tersebut, menurut Bojan Nakalamic, dibangun pada masa kekuasaan Raja Stefan Dusan di abad ke-14. Sebagai pemimpin terbesar bangsa Serbia, ia mendirikan kerajaan Serbia terbesar dibandingkan sebelum maupun sesudah masanya. Kosovo berada di pusat kerajaan ketika Dusan menamakan dirinya ”Kaisar dan Penguasa Mutlak bangsa Serbia dan Yunani, Bulgaria dan Albania.”
Seraya terkekeh, namun dengan tangannya di atas jantung, Nakalamic berkata: ”Di luar aku tampil sebagai seorang politisi Kosovo. Namun di dalam, aku seorang Dusan.”
!break!
Hanya beberapa dekade setelah kematian Dusan pada 1389, sebuah pasukan yang mungkin terdiri atas 25.000 orang Serbia berhadapan dengan kekuatan superior Ottoman di Padang Kosovo. Kemudian menurut banyak orang Serbia, pasukan Serbia tumbang dalam sebuah kekalahan yang agung. Serbia lumpuh di hadapan Kekaisaran Ottoman yang melebarkan sayapnya, yang mengakibatkan terhapusnya negeri Serbia dari peta dalam kurun satu abad lebih sedikit. Namun Pertempuran di Kosovo terus hidup dalam literatur dan lagu bangsa Serbia sebagai simbol perjuangan melawan dominasi asing.
Serbia memeroleh kembali kemerdekaannya pada abad ke-19 dan merebut Kosovo pada abad ke-20 pada masa keruntuhan Kekaisaran Ottoman. Meski begitu, dominasi bangsa Turki selama beberapa abad tidak hanya membentuk kesadaran bangsa Serbia akan sebuah ketertindasan, tetapi juga memencarkan mereka ke bagian barat semenanjung Balkan. Pada penutupan abad ke-20, gelombang sejarah kembali berbalik dengan runtuhnya Yugoslavia. Banyak keturunan Serbia yang sebelumnya melarikan diri dari pemerintahan Ottoman kini kembali bermunculan, menambah bab baru dalam kisah penderitaan bangsa Serbia.
Namun bagaimanapun, penderitaan yang diakibatkan oleh bangsa Serbia merupakan hal yang paling jelas diingat dunia. Di bagian pasar tua etnik Turki di ibukota Bosnia, Sarajevo, seorang pria bernama Dragan Tanic memegang lenganku dan memutar tubuhku ke arah perbukitan yang menjulang di selatan. ”Jika Engkau berdiri di sini selama 10 detik pada hari yang salah saat perang—dor!” Ia menepuk tangannya di tengah dadaku untuk mengindikasikan bahwa diriku baru saja terbunuh oleh penembak runduk. ”Orang-orang Serbia di pegunungan membunuhmu. Itu hari yang normal di Sarajevo.”
Di luar dugaan, mereka yang akrab dengan nama Slavia mungkin dapat menebak bahwa Tanic sendiri adalah orang Serbia. Seperti ribuan warga Serbia Bosnia lainnya di seputar Sarajevo, Tanic turut mengangkat senjata melawan pasukan Serbia yang mengepung kota tersebut tidak lama setelah Bosnia mendeklarasikan kemerdekaannya dari Yugoslavia pada 1992. Dalam situasi tersebut, warisan agama tidaklah sepenting siapa yang tengah menembakinya. ”Mereka menyerang tempat tinggal saya dan jika seseorang melakukannya, aku akan melawannya.”
!break!
Namun Tanic adalah anggota kelompok minoritas. Warga Serbia Bosnia lainnya—yang tidak rela bermukim di negara yang bakal didominasi oleh muslim Bosnia atau Bosniak—memilih untuk melawan kemerdekaan Bosnia. Mereka mengontrol gudang senjata Tentara Rakyat Yugoslavia dan menguasai 70 persen wilayah Bosnia pada bulan-bulan pertama perang, memaksa penduduk non-Serbia meninggalkan tanah yang mereka kuasai. Perintah yang berlaku saat itu adalah keharusan untuk membersihkan wilayah yang dihuni oleh populasi minoritas yang besar dan bermasalah, yang tidak cocok untuk diikutsertakan dalam Serbia yang bersatu.
Di akhir peperangan, pembersihan etnik berubah menjadi semata pembantaian di seputar kota Srebrenica, Bosnia timur. Di kota itu, pasukan Serbia Bosnia mungkin menewaskan 8.000 jiwa, kebanyakan warga sipil laki-laki dan anak lelaki Bosniak—korban dijejerkan lalu ditembak, yang mencoba lari diburu. Peristiwa tersebut menjadi episode tunggal paling berdarah di Eropa sejak berakhirnya Perang Dunia II—kejadian genosida pertama di Eropa sejak Holocaust, berdasarkan ketetapan Pengadilan Internasional.
Srebrenica adalah peristiwa yang menentukan dalam sejarah modern bangsa Serbia. Walaupun pengadilan menetapkan bahwa Serbia tidak langsung terlibat, orang-orang Serbia Bosnia yang jadi pelaku turut menciptakan citra bahwa semua orang Serbia adalah pembunuh yang haus darah—hal ini merusak kepentingan nasional yang mungkin lebih parah dibandingkan serangan musuh manapun.
Ketika perang berakhir pada 1995 dan tak lama kemudian pengepungan Sarajevo yang telah berlangsung selama empat tahun juga berakhir, Bosnia secara garis besar telah terpecah-pecah ke dalam beberapa kelompok etnik. Kini, meski umumnya warga masyarakat saling bergaul dengan baik, para pemimpin etnik masih bersitegang. Politikus Bosniak mengecam separatisme etnik Serbia dan penjahat-penjahat perang yang masih hidup bebas, sementara para pemimpin etnik Serbia—37 persen dari total populasi Bosnia—membuat etnik Bosniak gusar dengan retorika mengenai pemisahan diri. Di ibukota, sebagian besar warga etnik Serbia telah pindah ke kawasan-kawasan Bosnia yang dikuasai oleh etnik tersebut, sementara etnik Bosniak mengalir ke arah yang berlawanan. Sarajevo tetap mempertahankan penampilannya yang multietnik—Tanic dan istrinya yang Muslim-Kroasia, Sanja, sebagai contoh. Namun kenyataannya, kota tersebut kini dapat dikatakan menjadi kota muslim yang homogen, tidak seperti yang diingat oleh Dragan Tanic ketika masih kecil.
!break!
Di sebuah cafe di Jalan Ferhadija yang ramai, hanya beberapa langkah dari lokasi pembantaian banyak warga sipil oleh peluru Serbia pada masa perang, Tanic berkata: ”Saya tumbuh besar tidak jauh dari sini, di mana ibu saya masih tinggal. Namun saya bisa duduk di sini selama dua jam dan tidak menemui siapapun yang kukenal.”
Jauh di atas lokasi bertemunya Sungai Danube dan Sava di Belgrade, Benteng Kalemegdan yang besar menjaga sebuah bukit tempat tentara-tentara Romawi dahulu berkemah. Di kemudian hari, kerajaan-kerajaan asing yang mengusai kawasan ini menggunakan kastil tersebut sebagai pos penjaga garis perbatasan. Di bawah benteng terdapat jalan-jalan lusuh meski dahulu elegan dari Kota Tua Belgrade—bertaburan dengan gedung-gedung yang tetap dalam kondisi rusak berat akibat serangan pesawat tempur NATO pada masa perang Kosovo satu dekade silam. Ke arah barat, di seberang Sungai Sava berdiri Belgrade Baru, sebuah kawasan urban tak berkarakter nan luas yang mulai dibangun pasca Perang Dunia II. Selain itu, di pinggiran kota terdapat sebuah kamp kecil yang rindang dan damai—dahulu di era komunis merupakan gelanggang remaja—yang ditempati para pengungsi etnik Serbia yang melarikan diri dari negara-negara baru yang baru lahir di saat disintegrasi Yugoslavia berlangsung.
Salah satu pengungsi di sana adalah Maritsa Stula, seorang perempuan kecil yang kalem berusia medio 50-an dengan senyum yang kaku. Kampung halaman Stula adalah Osijek, kota Kroasia yang terletak 160 kilometer barat laut Belgrade. Kota itu ada di dalam kawasan di mana, berabad-abad yang lalu, para penguasa Austria memberikan tanah dan kebebasan beragama kepada etnik Serbia yang melarikan diri dari pemerintahan Ottoman jika mereka setuju untuk menjaga perbatasan militer terhadap bangsa Turki. Pada 1970-an, ketika Stula mulai membangun rumah tangganya Di Osijek, kedua kerajaan tersebut telah lama mati, tetapi lebih dari 600.000 etnik Serbia penganut Kristen Ortodoks hidup di Kroasia yang didominasi oleh penganut Katolik Roma—etnik Serbia Ortodoks sebanyak 14 persen dari total populasi.
Pada masa-masa itu, menurut Stula, tidak seorang pun yang peduli siapa orang Kroasia dan siapa orang Serbia. Yugoslavia masih kuat dan makmur, Presiden seumur hidup Marshal Tito masih memegang kekuasaan di tangannya yang dingin dan semua warga Yugoslavia memiliki status yang setara.
!break!
Oleh karena itu, Stula tak dapat memahami ketika tetangga-tetangganya diharuskan untuk mendengarkan ketika, di masa memudarnya kekuasaan Tito, terompet nasionalisme mulai berkumandang di Belgrade dan di Ibukota Kroasia, Zagreb. Orang-orang Serbia membicarakan tentang orang-orang Kroasia yang bersekutu dengan Nazi menyekap mereka di kamp-kamp konsentrasi lalu membantai ratusan ribu tahanan pada saat Perang Dunia II. Mereka bertanya-tanya, apakah bakal terjadi pembantaian berikutnya dalam waktu dekat? Sementara itu, orang-orang Kroasia menggunjingkan penyiksaan di Yugoslavia yang dilakukan oleh komunis Serbia, yang kini tengah merencanakan untuk mengambil alih tanah seluas ribuan kilometer persegi di jantung Kroasia untuk Serbia Raya. Kekuatan politikus nasionalis di seluruh Yugoslavia yang rapuh semakin membesar dan kehidupan di Osijek menjadi pahit. Pada 1990, warga etnik Serbia di seluruh Kroasia mendeklarasikan kemerdekaan, mengusir warga etnik Kroasia dari tempat tinggalnya di hampir sepertiga wilayah republik tersebut. Kemudian pada Juni 1991, Kroasia memilih untuk berpisah dari Yugoslavia.
Pada suatu hari di bulan berikutnya, seorang tetangga Kroasia yang menderita kesedihan mendalam, muncul di depan pintu rumah Stula; sejumlah pria kasar telah memerintahkan si tetangga untuk menembak keluarga Stula jika mereka tidak segera hengkang. Mereka bukanlah warga Osijek yang baik, tetapi warga pedesaan yang marah—mungkin mereka juga kehilangan tempat tinggalnya, kata Stula. Lalu, Stula menumpang bus ke timur bersama ketiga anaknya, suaminya menyusul kemudian, dan ia belum pernah melihat rumahnya lagi sejak saat itu.
Stula merupakan bagian dari gelombang pengungsi yang pertama; ratusan ribu berikutnya melarikan diri di akhir perang kemerdekaan Kroasia ketika pasukan Kroasia berhasil menguasai wilayah-wilayah etnik Serbia yang memisahkan diri dengan dukungan logistik dan kekuatan udara negara-negara NATO. Ratusan warga yang memutuskan untuk terus bertahan, sebagian besar terdiri atas kaum lansia, tewas.
Hingga 2008, Serbia menampung hampir 320.000 warga yang tercerabut dari kawasan-kawasan terjauh di bekas negara Yugoslavia. Sekurangnya 200.000 orang berasal dari Kosovo, lokasi yang mengalami kebijakan aneh Milosevic dalam menjawab serangan bom NATO, yaitu dengan mengosongkan wilayah luas di provinsi tersebut dari warga etnik Albania. Ketika Milosevic turun tahta dan lebih dari 850.000 warga buangan etnik Albania mengalir kembali dari kamp-kamp pengungsian di negara asing, banyak warga etnik Serbia yang melarikan diri, mengetahui bahwa mereka akan menjadi sasaran empuk. Lebih banyak lagi yang kemudian diusir, meski ada pasukan penjaga perdamaian yang terkadang gagal merespon ketika ada gerombolan warga yang marah menyerang penduduk sipil tak bersenjata.
!break!
Sisa pengungsi datang dari Kroasia, seperti Stula, atau Bosnia. Stula merindukan rumahnya yang telah lama hilang di Kroasia, tetapi ia mengatakan bahwa kondisi di sana bisa lebih buruk. Ia mendapatkan pekerjaan sebagai juru masak di sebuah restoran di Delta City, sebuah mal mewah yang dibuka tahun 2007 oleh pria terkaya di Serbia. Berkat reformasi ekonomi pasca pemerintahan Milosevic, perekonomian Serbia telah menguat kembali dengan pertumbuhan rata-rata sebesar 7 persen dalam beberapa tahun terakhir. Pendapatan individu meningkat cepat dan mal tersebut ramai setiap hari. Pekerjaan tersebut memberikan penghasilan terbaik yang pernah diperoleh Stula selama ini. Namun, jika Stula bisa menabung untuk mendapatkan dokumen perjalanan Uni Eropa, ia berencana meninggalkan Serbia selamanya—mungkin ke Inggris, di mana anak lelaki tertuanya berhasil mendaftarkan diri sebagai mahasiswa.
Stula menepuk lenganku, menghibur, ketika ia mengetahui kewarganegaraanku, seakan meminta maaf karena merupakan orang pertama yang harus mengabarkan berita ini. ”Amerika. Ne dobra. Ne dobra,” ujarnya. Tidak baik, tidak baik. Dia bertanya, mengapa Amerika mengusir orang miskin dari rumah mereka di Kosovo? ”Bill Clinton, ne dobra. Albright, Rice, ne dobra. Bush...’’
Di sebuah pesta kecil pada suatu malam di atas rumah kapal di Sungai Sava di Belgrade, celaan yang terlontar tidak sehalus sebelumnya, sikap keberatan terasa lebih kasar. Dua pemuda berambut panjang dan bermuka merah memintaku untuk menebak berapa ton sisa mesiu uranium yang telah dijatuhkan AS di negara mereka pada tahun 1999 dan berapa kasus kanker yang dapat diakibatkannya. Apakah aku tahu tentang warga sipil Serbia yang terbunuh akibat pengeboman AS dalam perang Kosovo? Tanya seseorang. Tidak mungkin, tebak mereka, karena media AS secara efektif telah menyensor materi yang tidak menampilkan pihak Serbia sebagai Nazi zaman sekarang. Mereka menelaah jauh ke belakang, meninjau tragedi yang terjadi pada kedua Perang Dunia. Salah satu diantara keduanya—seorang yang berbicara dalam bahasa Inggris yang terlihat seperti orang kota berumur 20-an dan dapat berasal dari manapun di Eropa—terlihat seakan ingin menangis. Apakah aku memiliki gambaran apapun tentang penderitaan etnik Serbia?
Ada sebuah desa di bagian barat Serbia yang bernama Sljivovica, dalam bahasa Serbia berarti minuman brandy yang terbuat dari prem yang dikenal dengan nama slivovitz di negara-negara berbahasa Inggris. Minuman tersebut merupakan salah satu dari serangkaian minuman keras berbahan dasar buah-buahan yang disebut rakija. Minuman tersebut adalah pusat dari kehidupan sosial warga Serbia dan Yugoslavia lainnya karenadipakai untuk bersulang dengan teman-teman dan menyambut tamu. Sesuai dengan ucapan seorang pendeta kampung di Kosovo pada suatu pagi setelah istrinya menuangkan segelas kecil cairan bening yang mungkin mengandung lebih dari 50 persen alkohol, rakija yang bagus terasa seperti api di dalam perut, bukan di tenggorokan. Dengan mata yang berair, aku berusaha menampilkan ekspresi bahwa sakit yang kurasakan terdapat di perut.
!break!
Namun dengan semakin dekatnya Serbia untuk memperoleh keanggotaan Uni Eropa dan dalam upaya mengharmonisasikan peraturan-peraturannya dengan standar Eropa, dapatkah rakija asli Serbia tetap bertahan? Produksi minuman keras diatur dengan sangat ketat di Uni Eropa dan cenderung berpihak terhadap perusahaan-perusahaan penyulingan besar, sementara rakija yang paling dihargai adalah hasil produksi industri rumahan, seperti milik sang pendeta.
Sljivovica sepertinya adalah tempat yang tepat untuk menemukan pembuat rakija domestik yang mungkin khawatir untuk bergabung dengan Eropa. Para pria yang tengah menikmati kopi di sebuah kafana (kedai) di dekat jalan raya menunjuk ke arah sebuah gang yang menanjak ke bukit, tak jauh dari tempat tersebut.
Di samping rumah terakhir di jalan itu, dua lelaki, satu muda yang satu tua, bekerja mengelilingi sebuah panci yang menghitam dan masih mengeluarkan asap serta aroma lumbung pertanian yang asam manis. Ostoja Stanic yang berusia 80 tahun memasukkan bahan bakar ke dalam kotak pembakaran, sementara Milan Stanic, 32 tahun, menuangkan berember-ember buah prem yang telah difermentasi ke dalam panci. Setengah jam kemudian, campuran tersebut mulai mendidih, dan cairan alkohol encer pun mengalir keluar. Manis dan berkadar alkohol rendah, cairan tersebut dinamakan rakija halus. Penyulingan yang kedua dapat menaikkan kadar alkoholnya. Aku bertanya kepada Milan Stanic apakah birokrasi UE dapat mematikan usaha penyulingannya yang kecil ini.
Ia bergegas berbicara dalam bahasa Inggris untuk menekankan argumennya: ”Kami menginginkan Uni Eropa.”
Ia memamerkan beberapa barel kayu ek yang baru—masing-masing menampung ribuan liter rakija—di dekat sebuah gedung beton yang setengah jadi. Keluarga Stanic akan memperluas kegiatan mereka, jelas Milan. Sebuah mesin penyulingan yang lebih besar tengah dipesan. Milan telah berkonsultasi dengan beberapa pakar pertanian tentang panenan prem keluarganya dan meneliti tentang proses penyulingan melalui Internet. Ia membayangkan sebuah botol yang seolah ada di depannya, menelusuri tulisan di label botol itu dengan jemarinya—”Sljivovica dari Sljivovica.”
!break!
Menurut Milan, dengan semakin merapatnya Serbia ke negara-negara Eropa yang lain, pasar-pasar baru akan terbuka, dan orang yang selama ini hanya dapat menemukan slivovitz pabrikan akan segera dapat mencoba minuman yang asli. Di gudang bawah tanah di dalam rumah, Milan menyedot rakija tua dengan selang plastik dan mengalirkan minuman keras tersebut ke dalam botol dua liter. Ia mengedipkan matanya, ”aku mempelajari hal ini ketika pengeboman NATO berlangsung; hanya ini cara satu-satunya untuk mendapatkan bensin.” Topik tersebut tidak pernah jauh dari pembicaraan. Ia lalu menyalami tanganku dan bergegas pergi untuk menghadiri pernikahan seorang pekerja di kafana milik keluarganya.
Ostoja Stanic memilih untuk menetap dan menjaga tempat penyulingan. Ia berkisah tentang peperangan yang terjadi di masa mudanya dan saling bunuh antara dua kelompok perlawanan anti-Nazi yang berseteru: Chetnik yang setia terhadap monarki Serbia dan pejuang komunis yang dipimpin Tito, si calon pemimpin Yugoslavia. Kelompok Chetnik sering menggorok leher warga di sekitar tempat tersebut, tutur Ostoja. Bagi Ostoja yang saat itu masih remaja, pahlawan yang sesungguhnya adalah partisannya Tito yang melakukan perlawanan heroik mematikan terhadap Jerman di kota Uzice yang letaknya tak jauh. Namun aku tahu bahwa dalam beberapa jam perjalanan dari tempat itu, ada sejumlah laki-laki tua lainnya yang akan mengatakan bahwa para pejuang Tito membantai warga tak berdosa di sana. Inilah penggalan cerita yang sempurna tentang sejarah bangsa Serbia—penuh dengan darah dan keberanian, dengan segelintir cerita yang berakhir bahagia ataupun kebenaran mutlak.
Namun Ostoja Stanic hanya berbicara sekedarnya. Bisnis utamanya adalah membuat rakija. Ia memberiku sebuah botol slivovitz berukuran dua liter, menepuk punggungku ketika aku berupaya membayarnya, dan pergi untuk memasukkan kayu bakar ke dalam mesin penyulingan yang tengah berasap.
Penulis | : | |
Editor | : | Administrator |
KOMENTAR