Jauh di atas lokasi bertemunya Sungai Danube dan Sava di Belgrade, Benteng Kalemegdan yang besar menjaga sebuah bukit tempat tentara-tentara Romawi dahulu berkemah. Di kemudian hari, kerajaan-kerajaan asing yang mengusai kawasan ini menggunakan kastil tersebut sebagai pos penjaga garis perbatasan. Di bawah benteng terdapat jalan-jalan lusuh meski dahulu elegan dari Kota Tua Belgrade—bertaburan dengan gedung-gedung yang tetap dalam kondisi rusak berat akibat serangan pesawat tempur NATO pada masa perang Kosovo satu dekade silam. Ke arah barat, di seberang Sungai Sava berdiri Belgrade Baru, sebuah kawasan urban tak berkarakter nan luas yang mulai dibangun pasca Perang Dunia II. Selain itu, di pinggiran kota terdapat sebuah kamp kecil yang rindang dan damai—dahulu di era komunis merupakan gelanggang remaja—yang ditempati para pengungsi etnik Serbia yang melarikan diri dari negara-negara baru yang baru lahir di saat disintegrasi Yugoslavia berlangsung.
Salah satu pengungsi di sana adalah Maritsa Stula, seorang perempuan kecil yang kalem berusia medio 50-an dengan senyum yang kaku. Kampung halaman Stula adalah Osijek, kota Kroasia yang terletak 160 kilometer barat laut Belgrade. Kota itu ada di dalam kawasan di mana, berabad-abad yang lalu, para penguasa Austria memberikan tanah dan kebebasan beragama kepada etnik Serbia yang melarikan diri dari pemerintahan Ottoman jika mereka setuju untuk menjaga perbatasan militer terhadap bangsa Turki. Pada 1970-an, ketika Stula mulai membangun rumah tangganya Di Osijek, kedua kerajaan tersebut telah lama mati, tetapi lebih dari 600.000 etnik Serbia penganut Kristen Ortodoks hidup di Kroasia yang didominasi oleh penganut Katolik Roma—etnik Serbia Ortodoks sebanyak 14 persen dari total populasi.
Pada masa-masa itu, menurut Stula, tidak seorang pun yang peduli siapa orang Kroasia dan siapa orang Serbia. Yugoslavia masih kuat dan makmur, Presiden seumur hidup Marshal Tito masih memegang kekuasaan di tangannya yang dingin dan semua warga Yugoslavia memiliki status yang setara.
!break!
Oleh karena itu, Stula tak dapat memahami ketika tetangga-tetangganya diharuskan untuk mendengarkan ketika, di masa memudarnya kekuasaan Tito, terompet nasionalisme mulai berkumandang di Belgrade dan di Ibukota Kroasia, Zagreb. Orang-orang Serbia membicarakan tentang orang-orang Kroasia yang bersekutu dengan Nazi menyekap mereka di kamp-kamp konsentrasi lalu membantai ratusan ribu tahanan pada saat Perang Dunia II. Mereka bertanya-tanya, apakah bakal terjadi pembantaian berikutnya dalam waktu dekat? Sementara itu, orang-orang Kroasia menggunjingkan penyiksaan di Yugoslavia yang dilakukan oleh komunis Serbia, yang kini tengah merencanakan untuk mengambil alih tanah seluas ribuan kilometer persegi di jantung Kroasia untuk Serbia Raya. Kekuatan politikus nasionalis di seluruh Yugoslavia yang rapuh semakin membesar dan kehidupan di Osijek menjadi pahit. Pada 1990, warga etnik Serbia di seluruh Kroasia mendeklarasikan kemerdekaan, mengusir warga etnik Kroasia dari tempat tinggalnya di hampir sepertiga wilayah republik tersebut. Kemudian pada Juni 1991, Kroasia memilih untuk berpisah dari Yugoslavia.
Pada suatu hari di bulan berikutnya, seorang tetangga Kroasia yang menderita kesedihan mendalam, muncul di depan pintu rumah Stula; sejumlah pria kasar telah memerintahkan si tetangga untuk menembak keluarga Stula jika mereka tidak segera hengkang. Mereka bukanlah warga Osijek yang baik, tetapi warga pedesaan yang marah—mungkin mereka juga kehilangan tempat tinggalnya, kata Stula. Lalu, Stula menumpang bus ke timur bersama ketiga anaknya, suaminya menyusul kemudian, dan ia belum pernah melihat rumahnya lagi sejak saat itu.
Stula merupakan bagian dari gelombang pengungsi yang pertama; ratusan ribu berikutnya melarikan diri di akhir perang kemerdekaan Kroasia ketika pasukan Kroasia berhasil menguasai wilayah-wilayah etnik Serbia yang memisahkan diri dengan dukungan logistik dan kekuatan udara negara-negara NATO. Ratusan warga yang memutuskan untuk terus bertahan, sebagian besar terdiri atas kaum lansia, tewas.
Hingga 2008, Serbia menampung hampir 320.000 warga yang tercerabut dari kawasan-kawasan terjauh di bekas negara Yugoslavia. Sekurangnya 200.000 orang berasal dari Kosovo, lokasi yang mengalami kebijakan aneh Milosevic dalam menjawab serangan bom NATO, yaitu dengan mengosongkan wilayah luas di provinsi tersebut dari warga etnik Albania. Ketika Milosevic turun tahta dan lebih dari 850.000 warga buangan etnik Albania mengalir kembali dari kamp-kamp pengungsian di negara asing, banyak warga etnik Serbia yang melarikan diri, mengetahui bahwa mereka akan menjadi sasaran empuk. Lebih banyak lagi yang kemudian diusir, meski ada pasukan penjaga perdamaian yang terkadang gagal merespon ketika ada gerombolan warga yang marah menyerang penduduk sipil tak bersenjata.
!break!
Sisa pengungsi datang dari Kroasia, seperti Stula, atau Bosnia. Stula merindukan rumahnya yang telah lama hilang di Kroasia, tetapi ia mengatakan bahwa kondisi di sana bisa lebih buruk. Ia mendapatkan pekerjaan sebagai juru masak di sebuah restoran di Delta City, sebuah mal mewah yang dibuka tahun 2007 oleh pria terkaya di Serbia. Berkat reformasi ekonomi pasca pemerintahan Milosevic, perekonomian Serbia telah menguat kembali dengan pertumbuhan rata-rata sebesar 7 persen dalam beberapa tahun terakhir. Pendapatan individu meningkat cepat dan mal tersebut ramai setiap hari. Pekerjaan tersebut memberikan penghasilan terbaik yang pernah diperoleh Stula selama ini. Namun, jika Stula bisa menabung untuk mendapatkan dokumen perjalanan Uni Eropa, ia berencana meninggalkan Serbia selamanya—mungkin ke Inggris, di mana anak lelaki tertuanya berhasil mendaftarkan diri sebagai mahasiswa.
Stula menepuk lenganku, menghibur, ketika ia mengetahui kewarganegaraanku, seakan meminta maaf karena merupakan orang pertama yang harus mengabarkan berita ini. ”Amerika. Ne dobra. Ne dobra,” ujarnya. Tidak baik, tidak baik. Dia bertanya, mengapa Amerika mengusir orang miskin dari rumah mereka di Kosovo? ”Bill Clinton, ne dobra. Albright, Rice, ne dobra. Bush...’’
Di sebuah pesta kecil pada suatu malam di atas rumah kapal di Sungai Sava di Belgrade, celaan yang terlontar tidak sehalus sebelumnya, sikap keberatan terasa lebih kasar. Dua pemuda berambut panjang dan bermuka merah memintaku untuk menebak berapa ton sisa mesiu uranium yang telah dijatuhkan AS di negara mereka pada tahun 1999 dan berapa kasus kanker yang dapat diakibatkannya. Apakah aku tahu tentang warga sipil Serbia yang terbunuh akibat pengeboman AS dalam perang Kosovo? Tanya seseorang. Tidak mungkin, tebak mereka, karena media AS secara efektif telah menyensor materi yang tidak menampilkan pihak Serbia sebagai Nazi zaman sekarang. Mereka menelaah jauh ke belakang, meninjau tragedi yang terjadi pada kedua Perang Dunia. Salah satu diantara keduanya—seorang yang berbicara dalam bahasa Inggris yang terlihat seperti orang kota berumur 20-an dan dapat berasal dari manapun di Eropa—terlihat seakan ingin menangis. Apakah aku memiliki gambaran apapun tentang penderitaan etnik Serbia?
Ada sebuah desa di bagian barat Serbia yang bernama Sljivovica, dalam bahasa Serbia berarti minuman brandy yang terbuat dari prem yang dikenal dengan nama slivovitz di negara-negara berbahasa Inggris. Minuman tersebut merupakan salah satu dari serangkaian minuman keras berbahan dasar buah-buahan yang disebut rakija. Minuman tersebut adalah pusat dari kehidupan sosial warga Serbia dan Yugoslavia lainnya karenadipakai untuk bersulang dengan teman-teman dan menyambut tamu. Sesuai dengan ucapan seorang pendeta kampung di Kosovo pada suatu pagi setelah istrinya menuangkan segelas kecil cairan bening yang mungkin mengandung lebih dari 50 persen alkohol, rakija yang bagus terasa seperti api di dalam perut, bukan di tenggorokan. Dengan mata yang berair, aku berusaha menampilkan ekspresi bahwa sakit yang kurasakan terdapat di perut.
!break!
Namun dengan semakin dekatnya Serbia untuk memperoleh keanggotaan Uni Eropa dan dalam upaya mengharmonisasikan peraturan-peraturannya dengan standar Eropa, dapatkah rakija asli Serbia tetap bertahan? Produksi minuman keras diatur dengan sangat ketat di Uni Eropa dan cenderung berpihak terhadap perusahaan-perusahaan penyulingan besar, sementara rakija yang paling dihargai adalah hasil produksi industri rumahan, seperti milik sang pendeta.
Sljivovica sepertinya adalah tempat yang tepat untuk menemukan pembuat rakija domestik yang mungkin khawatir untuk bergabung dengan Eropa. Para pria yang tengah menikmati kopi di sebuah kafana (kedai) di dekat jalan raya menunjuk ke arah sebuah gang yang menanjak ke bukit, tak jauh dari tempat tersebut.
Di samping rumah terakhir di jalan itu, dua lelaki, satu muda yang satu tua, bekerja mengelilingi sebuah panci yang menghitam dan masih mengeluarkan asap serta aroma lumbung pertanian yang asam manis. Ostoja Stanic yang berusia 80 tahun memasukkan bahan bakar ke dalam kotak pembakaran, sementara Milan Stanic, 32 tahun, menuangkan berember-ember buah prem yang telah difermentasi ke dalam panci. Setengah jam kemudian, campuran tersebut mulai mendidih, dan cairan alkohol encer pun mengalir keluar. Manis dan berkadar alkohol rendah, cairan tersebut dinamakan rakija halus. Penyulingan yang kedua dapat menaikkan kadar alkoholnya. Aku bertanya kepada Milan Stanic apakah birokrasi UE dapat mematikan usaha penyulingannya yang kecil ini.
Ia bergegas berbicara dalam bahasa Inggris untuk menekankan argumennya: ”Kami menginginkan Uni Eropa.”
Ia memamerkan beberapa barel kayu ek yang baru—masing-masing menampung ribuan liter rakija—di dekat sebuah gedung beton yang setengah jadi. Keluarga Stanic akan memperluas kegiatan mereka, jelas Milan. Sebuah mesin penyulingan yang lebih besar tengah dipesan. Milan telah berkonsultasi dengan beberapa pakar pertanian tentang panenan prem keluarganya dan meneliti tentang proses penyulingan melalui Internet. Ia membayangkan sebuah botol yang seolah ada di depannya, menelusuri tulisan di label botol itu dengan jemarinya—”Sljivovica dari Sljivovica.”
!break!
Menurut Milan, dengan semakin merapatnya Serbia ke negara-negara Eropa yang lain, pasar-pasar baru akan terbuka, dan orang yang selama ini hanya dapat menemukan slivovitz pabrikan akan segera dapat mencoba minuman yang asli. Di gudang bawah tanah di dalam rumah, Milan menyedot rakija tua dengan selang plastik dan mengalirkan minuman keras tersebut ke dalam botol dua liter. Ia mengedipkan matanya, ”aku mempelajari hal ini ketika pengeboman NATO berlangsung; hanya ini cara satu-satunya untuk mendapatkan bensin.” Topik tersebut tidak pernah jauh dari pembicaraan. Ia lalu menyalami tanganku dan bergegas pergi untuk menghadiri pernikahan seorang pekerja di kafana milik keluarganya.
Ostoja Stanic memilih untuk menetap dan menjaga tempat penyulingan. Ia berkisah tentang peperangan yang terjadi di masa mudanya dan saling bunuh antara dua kelompok perlawanan anti-Nazi yang berseteru: Chetnik yang setia terhadap monarki Serbia dan pejuang komunis yang dipimpin Tito, si calon pemimpin Yugoslavia. Kelompok Chetnik sering menggorok leher warga di sekitar tempat tersebut, tutur Ostoja. Bagi Ostoja yang saat itu masih remaja, pahlawan yang sesungguhnya adalah partisannya Tito yang melakukan perlawanan heroik mematikan terhadap Jerman di kota Uzice yang letaknya tak jauh. Namun aku tahu bahwa dalam beberapa jam perjalanan dari tempat itu, ada sejumlah laki-laki tua lainnya yang akan mengatakan bahwa para pejuang Tito membantai warga tak berdosa di sana. Inilah penggalan cerita yang sempurna tentang sejarah bangsa Serbia—penuh dengan darah dan keberanian, dengan segelintir cerita yang berakhir bahagia ataupun kebenaran mutlak.
Namun Ostoja Stanic hanya berbicara sekedarnya. Bisnis utamanya adalah membuat rakija. Ia memberiku sebuah botol slivovitz berukuran dua liter, menepuk punggungku ketika aku berupaya membayarnya, dan pergi untuk memasukkan kayu bakar ke dalam mesin penyulingan yang tengah berasap.
Merkurius Capai Elongasi Terjauh pada 21 April 2025, Saat Terbaik untuk Mengamatinya
Penulis | : | |
Editor | : | Administrator |
KOMENTAR