Ketika kami mendekati kumpulan gubuk dan warung yang bersahaja, orang terlihat semakin ramai dan kami serasa masuk ke dalam dunia yang aneh bagi mata, telinga, dan hidung orang Barat. Deretan kios kecil itu—berdempetan tak teratur di kedua sisi gang sempit yang penuh sesak oleh orang yang menawarkan berbagai barang, mulai dari sekrup dan paku bekas yang telah berkarat, daging kambing yang dikerubungi lalat, hingga rokok Amerika.
Anak Kelaparan Terabaikan di Pasar yang Ramai
Beberapa kios di pasar itu menjadi saksi bisu perjalanan pasukan MacArthur di pulau-pulau bagian timur Hindia Belanda. Di kios-kios itu terlihat banyak barang dari toko intendans Angkatan Darat AS dan toko militer—dengan harga yang tak terjangkau siapa pun.
Di tengah kerumunan sesak yang ramah tersebut, untuk pertama kalinya saya melihat pemandangan getir: bocah-bocah penjaja yang tampak dewasa sebelum waktunya. Bocah kecil, beberapa terlihat berumur sekitar lima tahun, membawa kotak berisi rokok, buah, atau barang lainnya, berjalan dengan percaya diri dan cekatan di antara orang banyak, menjajakan barang dengan suara yang tipis, tetapi kencang.
Salah satu bocah yang kami temui mengidap kelaparan stadium lanjut. Dengan perlahan dan lesu, dia setengah berjalan setengah terhuyung-huyung. Tubuh kerempengnya yang memilukan tampak lewat sobekan besar pada baju compang-camping yang dia kenakan. Mata kuyunya penuh penderitaan. Tak seorang pun—termasuk penjual makanan yang banyak jumlahnya—memperhatikan anak yang sekarat itu.
Namun, pengemis mendapatkan bantuan di pasar itu. Ketika seorang pengemis buta—dituntun dua gadis kecil yang tampak sehat—melewati beberapa kios, saya lihat penjual melemparkan uang Republik yang kumal ke dalam keranjang pengemisnya. Akhirnya kami mulai tak tahan dengan ocehan nyaring yang tak kunjung berhenti dan sengatan bau busuk tempat itu.
!break!
Saat menyusuri jalan untuk mencari kendaraan, saya melihat bocah Tionghoa yang buncit dan telanjang menyalakan rokok dengan korek api besar yang digenggam tangan mungilnya. Bocah yang mungkin baru bisa berjalan itu bersembunyi di balik pintu sebuah toko Tionghoa yang bobrok. Dia curi-curi merokok. Lalu, Si ayah terlihat berjalan menyeret kaki ke pintu itu, menggoyangkan jari kepada anaknya, menegur dengan lembut sambil tersenyum.
Saya dan koresponden berita dari Australia Harry Summers memilih salah satu delman yang beroda dua dan dihela seekor kuda untuk perjalanan pulang. Kami berdua nyaris tidak muat di kursi yang dirancang untuk empat orang pribumi yang duduk berhadapan di bagian belakang delman. Bobot kami berdua membuat kereta mendongak dengan dahsyat sehingga kami mengira kuda delman yang kecil itu juga ikut terangkat.
Warga Pribumi Berjalan Berkilo-kilometer Memikul Beban Berat
Bagai langit dan bumi, esoknya saya naik Chevrolet anyar untuk tur satu hari ke wilayah yang dikuasai Belanda di sepanjang jalan raya Batavia-Bandung sebagai tamu dari Dr. Charles O. Van der Plas, penasihat urusan Islam bagi Gubernur Jenderal dan administrator veteran dalam pemerintahan Hindia Belanda.
Fajar baru saja menyingsing saat mobil kami meninggalkan Batavia dan ratusan lilin terlihat berkelap-kelip laksana kunang-kunang di pasar pribumi dan warung makan sepanjang jalan.
Petani dan kuli yang hanya bercelana pendek dan memikul keranjang penuh muatan berlari kecil di kedua sisi jalan untuk menuju atau meninggalkan pasar kota.
Saat melihat gaya para kuli itu berlari, saya melihat kemiripannya dengan gaya peserta lomba "jalan cepat" yang aneh tetapi cepat di AS. Ternyata teknik itu telah berabad-abad digunakan di tempat ini sebagai metode yang paling tidak melelahkan dalam mengangkut beban berat.
Menurut Dr. Van der Plas, para lelaki sawo matang yang kecil, pendek, lentur, dan berotot kawat itu membawa beban sampai sekitar 70 kilogram ke Batavia dari desa pedalaman sejauh 80 kilometer.
Penulis | : | |
Editor | : | Administrator |
KOMENTAR