Sesekali, pengemis memilukan yang bertubuh penuh koreng dan berpakaian kotor luar biasa, berhasil menghindari penjaga kereta api dan mengangkat keranjang kecilnya meminta-minta kepada penumpang. Orang yang terjangkit sifilis dan penyakit kulit meningkat tajam di Jawa karena bubarnya pelayanan kesehatan masyarakat Belanda pra-perang dan kurangnya obat-obatan.
Ibu Kota Kuno Republik Baru
Hari sudah gelap ketika kereta kami—setelah mendaki ke dataran tinggi pedalaman sepanjang sore—terengah-engah memasuki stasiun di Yogyakarta. Stasiun itu penuh hiruk pikuk orang Indonesia yang berkeringat dan saling dorong, ratusan di antaranya turun dari gerbong penumpang dari kayu yang padat, sementara ratusan lainnya yang menuju stasiun selanjutnya berebut tempat untuk duduk atau berdiri.
Dengan mengikuti pegawai muda Departemen Luar Negeri Indonesia, kami menerobos kerumunan orang banyak menuju sebuah mobil mungil buatan Inggris. Mobil yang nyaris baru itu termasuk salah satu mobil yang diimpor baru-baru ini melalui pelabuhan Cirebon. Hampir semua mobil adalah buatan sebelum perang. Kemampuan pihak Republik untuk dapat terus menjalankannya— walau tak punya suku cadang, sementara ban dan ban dalam sulit didapat—merupakan bukti keefisienan para montirnya.
Mobil kecil itu membawa kami dengan mulus di sepanjang jalan utama ibu kota Republik ke keraton pemerintahan Sultan Yogyakarta, Hamengku Buwono IX, tempat kami diberi kamar yang menghadap ke halaman yang terpencil dan tenang.
Saat makan di beranda menggunakan peralatan perak Sri Sultan, terlihat beberapa ekor tokek kecil merayap di langit-langit mencari serangga. Satwa melata itu terkadang menuruni dinding dengan kakinya yang berperekat untuk menatap para pengunjung kulit putih yang bertampang lucu ini dengan penuh rasa ingin tahu. Siang malam, selang sejenak, tokek mengeluarkan bunyi keras yang mengganggu, yang menyebabkan binatang tersebut dinamai sesuai bunyinya: "tok-kek, tok-kek."
Satu-dua hari kemudian kami mendapat kehormatan untuk mewawancarai sultan muda yang menarik dan berpandangan demokratis tersebut. Dia menjabat raja turun-temurun dan gubernur Provinsi Yogyakarta di bawah Republik serta memegang jabatan tinggi lainnya dalam pemerintahan dan angkatan bersenjata Republik. Sultan yang dididik di Belanda itu memiliki banyak gagasan modern dan berupaya memerintah melalui sebuah dewan perwakilan yang dipilih secara demokratis.
!break!
Pakaian Barat Menggantikan Busana Jawa
Di Yogyakarta, seperti di tempat lain di Jawa, sebagian besar lelaki dan anak laki-laki dari kelas terdidik telah mengganti busana Jawa tradisional yang sangat berwarna-warni—kain batik, baju lengan panjang berkancing di leher, ikat batik, dan tanpa sepatu—dengan pakaian informal Barat—kaus berkerah, celana pendek atau panjang, dan sepatu.
Pelajar putri dan perempuan muda kelas atas juga berpakaian sangat mirip dengan gadis-gadis di AS atau Eropa Barat, kecuali ketika mereka mengenakan busana Jawa yang indah dalam acara formal.
Melihat para pemuda modern yang berpakaian rapi dan pemudi yang mengendarai sepeda dengan bebas merdeka menyusuri jalanan nan padat, saya nyaris lupa bahwa sedang berada di salah satu ibu kota tertua dalam sejarah Hindia Belanda.
Namun, modernitas pemuda Indonesia bercampur baur dengan tanda-tanda zaman feodal yang sekarat—petani yang setengah telanjang, penjaja yang compang-camping, anak jalanan yang jongkok atau tidur di keteduhan trotoar, perempuan miskin yang mengenakan kain batik murah yang tampak kotor, dan anak-anak telanjang.
Yang paling menyedihkan adalah para perempuan kuli yang di tempat ini menjadi korban mengerikan dari slogan laki-laki primitif yang kuno, "Biarkan perempuan yang bekerja." Hanya dengan mengenakan kain goni compang-camping atau anyaman jerami yang tidak pas, para perempuan malang itu bolak-balik berjalan, punggungnya terbungkuk-bungkuk membawa karung beras atau barang lainnya, mata mereka yang kusam tampak menderita dan putus asa.
Slogan dari Revolusi Amerika
Penulis | : | |
Editor | : | Administrator |
KOMENTAR