Dari dalam pesawat yang telah empat jam meninggalkan Singapura, saya melihat dengan penuh harap saat Jawa yang warnanya hijau gelap muncul di belakang laut yang berkilau. Lima tahun lalu, Jepang menerkam Jawa yang menjadi kunci bagi kekayaan Hindia Belanda yang luar biasa dan kini, pulau itu berada di dalam pergolakan politik dan perubahan sosial.
!break!
Inilah saat yang menarik untuk mengunjungi Batavia—bekas ibu kota Hindia Belanda—dan daerah sekitarnya yang dikuasai Belanda, juga Yogyakarta—ibu kota negara belia Republik Indonesia—dan tempat-tempat lainnya di pedalaman. Saya datang untuk mengumpulkan bahan buku tentang perubahan penting yang terjadi di Hindia Belanda.
Sejak lawatan saya ke Jawa tahun 1947, Belanda dan Republik Indonesia telah menyetujui proposal PBB bahwa masa depan politik Jawa, Sumatra, dan Madura ditentukan melalui plebisit.
Hampir Semua Kulit Putih Adalah Eks Tawanan
Jaringan kanal, jalan yang lebar, dan nyiur yang melambai menyambut pesawat kami begitu mendarat di bandara Batavia. Meski didera perang dan revolusi selama lima tahun, kota tua itu masih menjadi bukti bagi usaha dan ketekunan sekian generasi orang Belanda yang membangunnya.
Hampir seluruh penduduk sipil kulit putih Batavia, baik laki-laki maupun perempuan, mendekam selama hampir empat tahun di kamp penjara Jepang yang mengerikan selama Perang Pasifik berlangsung. Orang-orang malang tersebut lalu diinternir dalam kamp itu selama beberapa bulan lagi oleh Republik Indonesia.
Meski demikian, ajaibnya sebagian besar di antara mereka tak tampak menderita akibat pengalaman yang dialami. Tentu saja, mereka yang selamat mewakili pihak yang kuat, sementara yang lebih lemah tewas atau keluar dari kamp dengan kesehatan yang buruk sehingga harus dikirim ke Belanda atau Australia untuk memulihkan kesehatan.
Termasuk ke dalam golongan yang terakhir adalah seorang Belanda tua yang tinggi dan ramah dari Bandung. Dia menjadi teman sekamar hotel, semalam sebelum si Belanda tua itu naik pesawat pulang ke negerinya. Ketika dia membuka pakaian, saya terkejut mendapati tubuhnya yang mirip tengkorak hidup, tinggal kulit dan secuil daging yang membalut tulangnya yang menonjol. Beberapa bulan istirahat dan makan di Bandung rupanya tidak berhasil menggemukkan tubuhnya dan dia pun dipulangkan, mungkin untuk mati di tengah keluarganya.
Sangat berlawanan dengan orang kulit putih yang tersisa di Batavia yang relatif cukup makan, banyak sekali bumiputra yang kurus kering. Beras sangat langka dan mahal karena Republik Indonesia melakukan blokade ekonomi terhadap kota-kota yang dikuasai Belanda.
Kawanan bocah yang terlihat telanjang, perempuan miskin, serta kuli yang compang-camping setengah telanjang merupakan bukti sangat kurangnya pakaian dan tekstil, warisan yang lain dari perang dan revolusi.
!break!
Tidak ada tempat yang lebih tepat untuk melihat kehidupan penduduk kota yang miskin di Jawa selain salah satu dari sekian banyak pasar bumiputra di Batavia. Untuk menuju salah satu di antaranya, kami menumpang becak pada Minggu siang yang terik.
Selain untuk urusan dinas, sangatlah sulit bepergian ke mana pun di Batavia. Mobil pribadi nyaris tidak ada. Bensin dijatah secara ketat oleh pemerintah Belanda. Trem dan bus yang bobrok nyaris tak terlihat bentuknya karena tertutup oleh warga bumiputra yang bergelantungan dan duduk di atap. Taksi langka, dan yang dioperasikan oleh Belanda harus dipesan 24 jam di muka.
Dengan begitu, pilihannya tinggal menumpang mobil dinas yang lewat (ini cara yang sangat tidak pasti); jalan kaki yang jelas berat mengingat panasnya Batavia; atau menyerah pada godaan untuk naik becak ataupun delman, kereta kecil reyot yang ditarik seekor kuda lokal yang kecil dan setengah kelaparan.
Penulis | : | |
Editor | : | Administrator |
KOMENTAR