Kelompok kecil kuli yang lain tampak perlahan mendorong dan menarik gerobak beroda dua yang besar dan sarat dengan kayu bakar atau batang bambu. Jarang sekali kami lihat lembu atau kuda asli yang kecil digunakan untuk menarik gerobak.
!break!
Sementara itu, pepohonan di kebun yang rimbun di sepanjang jalan menghasilkan berbagai jenis buah atau bahan makanan dan bahan baku lainnya. Kami melihat tebu, kedelai, nyiur, pisang, mangga, sukun, karet, kapuk, dan damar, serta banyak tumbuhan yang bermanfaat secara ekonomis lainnya, termasuk bambu yang ada di mana-mana.
Tionghoa Korban Kebencian Pribumi
Di Buitenzorg (disebut Bogor oleh Republik) kami menurunkan kecepatan untuk melihat istana mengesankan yang menjadi tempat tinggal Gubernur Jenderal Hindia Belanda sebelum perang. Akhirnya, kami berhenti untuk mencari tahu soal kerumunan orang berpakaian compang-camping yang mengantre tak teratur di depan sebuah bangunan kantor kecil.
Kami mendapati, orang-orang miskin itu dari etnik Tionghoa, kebanyakan peranakan, yang kehilangan rumah dan harta benda selama masa perang dunia dan revolusi. Mereka tengah menunggu pembagian bahan pokok mingguan dari organisasi bantuan Tionghoa yang bekerjasama dengan Palang Merah Belanda.
Dari Buitenzorg yang menyenangkan, tetapi penuh tanda-tanda bekas perang, jalan menanjak tajam memasuki panorama gunung pedalaman Jawa nan permai.
Sesekali kami berpapasan dengan truk tentara Belanda yang meluncur turun di jalan yang berkelok-kelok itu. Untuk memberi jalan bagi truk yang dikemudikan pemuda Belanda berpakaian khaki bertampang kasar itu, para petani kecil yang kekar berkeringat sengaja menepi sambil tetap mengusung beban berat mereka.
Petani Sibuk di Ladang yang Telah Lama Terbengkalai
Di beberapa lokasi, perkebunan teh di lereng gunung yang curam menunjukkan tanda-tanda bahwa perkebunan itu tak terurus selama pendudukan Jepang dan gonjang-ganjing revolusi setelahnya. Rusaknya sistem pengairan yang rumit juga menyebabkan beberapa petak sawah mengering.
Namun, kini di mana-mana terlihat petani sedang bekerja, mencari sedikit nafkah dari tanah yang kaya yang menampung banyak penduduk tersebut. Lelaki dan perempuan membawa padi yang menguning dari sawah dengan rengkong, pikulan bambu, yang terlihat di mana-mana.
Di satu desa kecil, pemuka desa tengah berkumpul untuk pertemuan mingguan di balai desa sederhana yang terbuka. Dengan rasa bangga yang kentara, sejumlah pengurus desa membawa tas kantor yang menggembung dan lusuh, seolah telah menempuh tak hanya satu tetapi banyak perang. Tas kantor dan pulpen tampaknya menjadi simbol kemakmuran dan martabat di kalangan orang Indonesia yang buta huruf.
!break!
Di puncak pas, satuan penjaga yang terdiri atas empat tentara Belanda yang muda tampak santai. Wajah mereka menyenangkan dan kelakarnya yang ramah mengingatkan saya kepada tentara AS yang saya temui di Eropa.
Sama seperti tentara AS di luar negeri, mereka juga rindu kampung halaman. Pemandangan indah, iklim gunung yang sejuk, dan kehidupan mereka yang sudah relatif mudah—setelah pos depan dan konvoi tak lagi ditembaki gerilyawan Republik—tak dapat mengusir kerinduan terhadap tanah air mereka yang kecil dan rapi. Tak jauh dari tempat itu terdapat makam tiga tentara Belanda yang tewas di tangan penembak jitu.
Ayam untuk Aduan, Bukan Makanan
Setelah makan siang di rumah pegawai kabupaten Cianjur yang punya istri cantik berambut pirang, mobil meninggalkan jalan raya menuju sekolah yang diasuh oleh kawan lama Van der Plas, seorang haji yang menjadi penghulu wilayah itu.
Penulis | : | |
Editor | : | Administrator |
KOMENTAR