Apa yang dikeluhkan Rachmat sukar dibantah, sebab dengan mudah dapat dideteksi betapa jarang nama-nama tokoh budaya dan ilmu pengetahuan diekspresikan dalam nama-nama jalan di Jakarta. Meski ada Jl. Dr Soepomo dan Jl. Prof. Dr. Latumeten, itu menampakkan bahwa Jakarta tidak punya tradisi budaya keilmuan yang panjang. Padahal, dulu pernah hidup Johann Moritz Mohr, ahli astronomi yang membangun observatorium bintangnya di Batavia pada 1750.
Pada zamannya, observatorium itu tidak saja sangat maju, tetapi juga menandakan gairah ilmu pengetahuan di Batavia yang tidak kalah dengan kota-kota pusat ilmu pengetahuan di Eropa. Sebab itu, Kompeni mengabadikan observatorium Mohr sebagai nama jalan, yaitu Torenlaan. Penduduk Betawi menyebutnya Gang Torong, mengacu pada pengucapan yang keliru dari kata toren atau menara observatorium Mohr. Kini, dua gang itu diganti menjadi Jl. Kemurnian, di kawasan Glodok.
Jangan lupa Hollelaan yang mengacu kepada K. F. Holle, ahli sejarah Sunda penyelamat dan pembuat salinan peta Ciela. Peta yang ditemukan pada 1858 di sebelah selatan Garut itu, dan diperkirakan dibuat pada 1560 adalah peta tertua di Jawa yang menyebutkan nama Nusa Kalapa, tempat yang kemudian menjadi Jakarta sekarang. Akan tetapi, jasa Holle yang menunjukkan cikal bakal Jakarta pun tak menjamin kelanggengan Hollelaan yang pada akhirnya diubah menjadi Jl. Haji Agus Salim, di daerah Sabang, Jakarta Pusat. Ironisnya, hampir bersamaan dengan lenyapnya Hollelaan, salinan peta Ciela buatan Holle yang tersimpan di Museum Sejarah Jakarta pun ikut hilang.
!break!
Di dekat rumah seorang jenderal pahlawan revolusi yang dijadikan museum oleh pemerintah Orde Baru melintang Jl. Latuharhari. Dahulu nama jalan itu adalah Breenweg, sebuah penghormatan kepada H. van Breen. Breen adalah sosok yang menginspirasi M. H. Thamrin, terutama dalam mengatasi banjir yang menjadi salah satu masalah paling tua dan musuh terbesar Batavia. Saking sukarnya menanggulangi banjir di Batavia sampai-sampai terdapat Kampung Aer dan Kampung Kebanjiran. Meskipun nama kampung itu sekarang sudah hilang tetapi banjirnya tetap saja ada. Derita rakyat korban banjir di kampung itu dulu menginspirasi Breen dan Thamrin untuk tidak menerima banjir sebagai takdir yang tidak bisa dilawan.
Atas ide Breen pada 1917, Thamrin menggolkan proyek kanal banjir raksasa di barat Batavia. Ironisnya—apalagi mengingat ide kanal banjir Breen sekarang tengah direalisasikan—semua jasa itu tidak serta merta meloloskan nama jalan Breenweg dari pemberangusan.
banyak warga jakarta—warga Betawi asli sekalipun—mungkin tak mudah memahami tentang apa yang disebut ahli antropologi budaya Peter J. M. Nas dari Leiden University sebagai “ekologi simbolis”, teori tentang lingkungan hunian dengan segala macam medium yang dianggap sebagai pembawa simbolnya. Nama tempat adalah salah satu contohnya.
Nas—yang sudah lebih dari 30 tahun mempelajari Jakarta—membuat tiga kategori penting untuk melihat bagaimana sebuah kota mempertahankan kenangan: kolektif, historis, dan budaya. Kenangan kolektif berisi kenangan yang berkaitan dengan seseorang, sekelompok atau sesuatu lembaga yang telah hadir dan beraktivitas di tempat tertentu yang dipakai sebagai nama kampung, jalan, atau gang. Namun, yang menarik tentang Jakarta adalah sejarahnya dipenuhi peristiwa di mana pada masa-masa tertentu kenangan kolektif dianggap perlu dihapus sama sekali.
!break!
Perasaan ini oleh Nas disebut sebagai kenangan historis, sesuatu yang menandai atau menyimbolkan sesuatu—orang atau peristiwa—dari masa kolonial yang mempunyai arti penting dalam sejarah nasional atau internasional. Sebagian orang ingin mengabadikannya, sebagiannya lagi ingin mengenyahkannya selama-lamanya.
Kehilangan kenangan historis yang besar dirasakan Sangkot Marzuki, ilmuwan sekaligus Ketua Akademi Ilmu Pengetahuan Indonesia. “Jakarta pernah ‘punya’ ilmuwan kaliber dunia, bahkan meraih Nobel. Tetapi nama-nama mereka dihilangkan,” tuturnya. Dalam hal ini, Jakarta tertinggal dari Bandung “yang mempertahankan nama-nama jalan seperti Pasteur, Ehrlich, Otten, Marconi, Westhoff, atau Junghuhn,” ungkap Sangkot.
Ironisnya, Sangkot menambahkan, Eijkman sebagai nama jalan masih awet di Bandung, sementara di Jakarta Eijkmanlaan malah diubah menjadi Jl. Kimia. Begitu juga Eijkmanpark yang entah ke mana. “Tindakan itu bukan saja menghapus kenangan pencapaian dan sumbangan Hindia Belanda yang penting kepada dunia, tetapi juga sumber inspirasi serta kesempatan untuk melihat pergaulan yang demokratis antara ilmuwan Indonesia dan Belanda dalam sejarah kolonial.”
Sosok ilmuwan penting yang juga mesti rela dilupakan adalah dr. W. Bosch, pemimpin dinas kesehatan Hindia Belanda yang pada 1853 memprakarsai penerbitan majalah kedokteran yang sangat berwibawa, Geneeskundig Tijdschrift voor Nederlandsch-Indie. Pada pertengahan abad ke-19, Bosch memprakarsai vaksinasi cacar terhadap lebih dari satu juta orang. Untuk tindakan heroiknya itu, nama Bosch diabadikan menjadi nama jalan, Boschweg, di daerah Petojo, Jakarta Pusat. Sayangnya, nama ini pun diganti jadi Jl. Balikpapan I.
!break!
Batavia pernah punya reputasi sebagai kota paling tidak sehat di dunia pada pertengahan abad ke-18. Bahkan, orang-orang Eropa yang datang sudah bisa mengendus dan merasa ketakutan oleh berbagai penyakit tropis. Sebab itu, kesehatan dalam pikiran mereka sangat berharga dan termanifestasikan dalam banyak nama jalan. Selain dokter-dokter kaliber dunia, masih tercatat sejumlah dokter biasa dan sesuatu yang berkait dengan dunia medis. Sebut saja Dokter van Breemenweg, Dokter Kredietweg dan Dokter Ouwehandweg yang sekarang dipukul rata semua dengan satu nama Jl. Kesehatan 8, 9, dan 3. Lantas ada Gang Dokter yang menjadi Jl. Petojo Binatu 4; Hospitalweg berubah jadi Jl. Abdurachman Saleh Raya; Gang Obat berganti Jl. Kenari I.
Penulis | : | |
Editor | : | Administrator |
KOMENTAR