Sungguh menakjubkan melihat peta ideal tempat semua habitat harimau Asia terhubung oleh koridor yang belum terwujud. Jalur hijau menghubungkan semua populasi inti sehingga membentuk jaringan yang meliputi berbagai habitat ekstrem nan menakjubkan yang membuktikan kemampuan adaptasi harimau. Tetapi, kenyataan di lapangan menghancurkan gambaran itu. Dalam dasawarsa berikutnya, proyek prasarana—jenis pembangunan yang sering merusak habitat—diproyeksikan rata-rata sekitar 6.750 triliun rupiah per tahun di Asia.
“Saya belum pernah bertemu dengan kepala negara yang mengatakan, ‘Begini, kami negara miskin, jika harus memilih antara harimau dan manusia, tentu saja harimau harus tersingkir,” kata Alan Rabinowitz, pakar terkemuka mengenai harimau dan CEO Panthera. “Pemerintah tidak ingin kehilangan hewan perkasanya. Mereka menganggapnya unsur pembentuk negara, bagian dari warisan budaya. Mereka tidak akan berjibaku untuk menyelamatkannya, tetapi jika menemukan jalan, biasanya mereka bersedia melaksanakannya.”
Menemukan jalan telah terbukti sulit di tengah banyaknya strategi, program, dan prakarsa harimau yang berebut minta perhatian. “Setiap tahun sekitar 45-54 miliar rupiah dihabiskan untuk harimau dari semua organisasi filantropi,” kata Mahendra Shrestha, mantan direktur Save the Tiger Fund, yang memberikan hibah lebih dari 150 miliar rupiah sejak 1995 sampai 2009. “Sering terjadi LSM dan pemerintah tempat suaka harimau itu bertengkar sendiri.”
Konservasi jangka panjang harus memperhatikan aspek lanskap harimau: Populasi pembiakan inti, suaka yang tak terganggu, koridor margasatwa, serta komunitas manusia di sekitarnya. “Sejak 1990-an, telah terjadi hal yang saya sebut sebagai pergeseran misi,” ujar Ullas Karanth, salah satu pakar biologi harimau yang terpandang, dari Wildlife Conservation Society (WCS). Penyimpangan kegiatan konservasi harimau seperti program sosial dan pembangunan ramah lingkungan telah mengalihkan dana dan energi dari tugas terpenting: melindungi populasi pembiakan inti harimau. “Jika populasi ini hilang,” kata Karanth, “kita akan memiliki lanskap harimau tanpa harimau.”
Pengalaman dan kegagalan sekian dasawarsa telah menghasilkan strategi konservasi yang, menurut Rabinowitz, “memungkinkan setiap tempat atau lanskap memperbanyak harimaunya jika diikuti dengan benar.” Inti dari protokol ini adalah patroli dan pemantauan lapangan secara terus-menerus dan sistematis, baik untuk harimau maupun mangsanya, di tempat yang dinilai dihuni oleh populasi harimau inti yang secara realistis dapat dilindungi. Jika protokol ini diikuti, populasi yang hanya terdiri atas enam betina produktif masih dapat pulih.
!break!
Lembah Hukawng, Myanmar
Pertemuan pertama saya dengan Suaka Margasatwa Lembah Hukawng tidaklah membesarkan hati. Sesampainya di permukiman luas Tanaing di bagian utara Myanmar, saya terbingung-bingung melihat pasar besar yang meriah; halte bus, generator, dan tiang telepon; kios dan restoran yang ramai—semuanya berada di dalam kawasan suaka tersebut.
Permukiman ini mengambil porsi besar dari zona penyangga yang mengelilingi suaka margasatwa asli seluas 6.500 kilometer persegi. Lahan 80.000 hektare untuk perkebunan singkong ditebang dan dibakar sangat cepat. Permukiman pertambangan emas Shingbwiyang di barat, tempat tanah dikeruk dan sungai diubah menjadi lumpur, dihuni oleh sekitar 50.000 migran, sementara bangunan beton permanen serta kabel listrik bermunculan di antara gubuk kayu sederhana beratap rumbia.
Namun, suaka harimau seluas 17.373 kilometer persegi itu dapat menerima gangguan semacam ini. Hingga 1970-an penduduk desa Hukawng masih biasa bertemu dengan harimau saat beraktivitas, dan mendengar aumannya pada malam hari. Jarang sekali harimau menyerang manusia, biasanya yang menjadi korbannya kambing atau sapi.
Ketakutan terhadap kucing terbesar di dunia ini membangkitkan rasa hormat sehingga mereka mengabadikan harimau dalam mitologi lokal. Di kalangan suku Naga di barat laut Hukawng, cerita harimau jadi-jadian masih santer. Harimau adalah Rum Hoi Khan—Raja Hutan, yang memiliki thitsar, perjanjian atau ikatan alami, dengan manusia. “Suku Naga dulu menyebut harimau jantan sebagai Datuk, dan harimau betina Nenek,” tutur seorang pria tua suku Naga kepada saya. “Mereka meyakini bahwa harimau adalah nenek moyang suku ini.”
Keyakinan tersebut menghilang bersama harimau. Kaum muda Myanmar mengetahui harimau lebih banyak dari pendidikan konservasi daripada dari kehidupan langsung. Departemen Kehutanan Myanmar, misalnya, mensponsori tim pendidikan keliling yang mengunjungi desa-desa untuk mementaskan drama pendek tentang harimau yang dibunuh oleh pemburu jahat. Kesedihan “janda” harimau kabarnya membuat semua wanita yang menonton meneteskan air mata.
Dua hari sejak tiba di Tanaing, saya bergabung dengan tim jagawana dan kesatuan Harimau Terbang Departemen Kehutanan Myanmar yang mudik melalui Sungai Tawang menuju Pos Jaga Depan. Di Lembah Hukawng terdapat gajah, macan dahan, banteng seladang, dan rusa sambar; serta sebaran harimau.
Di hulu, di Pos Jaga Depan, kepala jagawana Zaw Win Khaing, memberikan gambaran tentang pekerjaan survei tim untuk musim ini. Tim harimau menghabiskan sepertiga dari setiap bulan untuk melakukan patroli, mencari jejak atau kotoran harimau, dan mencari tanda kegiatan manusia. Bulan sebelumnya mereka menghancurkan satu kamp pemburu, dan mengusir atau menangkap 34 orang yang terlibat dalam pembukaan lahan dan bertani.
Saw Htoo Tha Po, seorang veteran berpengalaman di medan berat ini, menggambarkan patroli mereka. “Kadang-kadang jika cerah, kami dapat melihat langit,” katanya, menggambarkan bagaimana rasanya beroperasi di bawah hutan bertajuk-tiga-tingkat selama enam minggu. Yang terburuk saat hujan, air bercucuran dari daun pohon yang lebar, sementara kabut terasa dingin sampai ke tulang. Jenis malaria lokal sangat ganas dan telah menewaskan beberapa anggota tim. Total, 74 personel departemen kehutanan dan petugas polisi margasatwa secara bergantian bertanggung jawab meronda hutan lebat strategis seluas 1.800 kilometer persegi.
Penulis | : | |
Editor | : | Administrator |
KOMENTAR