Hampir setiap kekejaman sejarah memuat simbolisme geografis, tempat yang namanya mengingatkan kita pada trauma suatu kaum. Sebut saja, Auschwitz (Eropa), Pulau Robben (Atlantik), Nanjing (China). Bagi suku Lakota Oglala dari Reservat Indian Pine Ridge, tempat itu berada di dekat Wounded Knee Creek.
Di sini, di kuburan massal bagi semua orang yang tewas pada pagi musim dingin lebih dari seabad lalu, suatu energi—tindak kekerasan nan biadab sekaligus persembahan cinta yang luhur—melayang di udara selamanya.
Alex White Plume, aktivis Lakota Oglala berusia 60 tahun, tinggal bersama keluarganya di peternakan seluas 800 hektare di dekat Wounded Knee Creek. Tanah White Plume indah-permai, mulai dari bukit-bukit berselimut tumbuhan sage (sejenis tumbuhan semak), hingga anak-anak sungai yang berhias rerimbunan kecokelatan akhir musim panas. Dari beberapa tempat terlihat tanah yang tandus, tiang-tiang yang pucat terpanggang matahari, dan pilar-pilar yang terkikis bersih oleh angin. Ke arah lain tampak Black Hills di South Dakota.
Pada suatu hari yang panas dan lembap di awal Agustus, saya berkendara ke sana untuk mewawancarai White Plume di dapur luar rumah yang dikelilingi kawat nyamuk, yang baru saja dibangunnya untuk istrinya. Tanaman ganja tumbuh lebat di seluruh kebun mereka. “Silakan isap sebanyak yang kauinginkan,” White Plume menawarkan. “Saya selalu berkata begitu kepada semua orang: Isap sebanyak yang kauinginkan, toh kau tidak akan terlalu teler.” Tanaman itu adalah sisa-sisa dari perkebunan ganja industri—turunan dari tanaman Cannabis sativa yang memiliki kandungan rendah-tetrahydrocannabinol (THC). Keluarga White Plume pernah membudidayakan tanaman itu tahun 2000.
Selama Perang Dunia II, budi daya ganja digiatkan di AS, seratnya dimanfaatkan untuk tali, kanvas, dan seragam. Tetapi, pada 1970 ganja industri rendah-THC dilarang oleh hukum, di bawah Controlled Substances Act. Pada 1998 Suku Sioux Oglala mengesahkan peraturan yang memperbolehkan budi daya ganja rendah-THC.
!break!
“Warga Pine Ridge memiliki status berdaulat sebagai bangsa mandiri,” kata White Plume. “Dalam penafsiran saya, artinya saya bebas mencari nafkah dari tanah ini.” Menurut laporan, mereka telah beberapa kali diberi peringatan tegas oleh Robert Ecoffey, ketua Bureau of Indian Affairs (BIA) di Pine Ridge. Ecoffey mengingatkan bahwa kedaulatan Sioux Oglala bersifat terbatas dan tidak termasuk hak melanggar undang-undang federal. Tetapi, keluarga White Plume tetap menanam setengah hektare ganja industri menggunakan benih yang dikumpulkan dari tanaman yang tumbuh liar di rez (singkatan untuk reservat). Beberapa hari sebelum tanaman itu memasuki masa panen, pada akhir Agustus 2000, agen dari Drug Enforcement Administration, FBI, BIA, dan U.S. Marshals Service membanjiri tempat itu dengan helikopter dan SUV, lalu menutup operasi ganja tersebut. Tanaman itu pun tumbuh liar. “Ini tujuannya bereksperimen dengan kapitalisme dan menguji kedaulatan kami, tetapi tampaknya pemerintah AS tidak ingin mengakui bahwa kami berhak atas keduanya,” kata White Plume. Lalu dia tertawa, khas orang yang tahu bahwa dia tidak dapat dikalahkan oleh kekecewaan biasa.
Setelah itu, kami membicarakan soal perjanjian yang dibuat dan dilanggar antara AS dan bangsa Sioux, dan itu tentu saja berujung ke percakapan tentang Black Hills, yang dipandang suku Oglala sebagai axis mundi, pusat dunia spiritual mereka. Perjanjian Fort Laramie 1868 menjamin kepemilikan bangsa Sioux atas perbukitan itu, tetapi setelah emas ditemukan di sana pada 1874, pemerintah AS langsung menyita tanah itu. Bangsa Sioux tidak mau menerima keabsahan penyitaan itu dan melawan pengambilalihan tersebut selama seabad lebih. Pada 30 Juni 1980, dalam kasus negara versus bangsa Indian Sioux, Mahkamah Agung AS mendukung putusan pengadilan berupa imbalan senilai Rp165 miliar untuk nilai tanah itu pada 1877, ditambah bunga 103 tahun, dengan nilai total sekitar Rp995 miliar. Tetapi, bangsa Sioux menolak pembayaran itu, bersiteguh bahwa Black Hills tak akan pernah dijual.
White Plume meminta saya merenungkan penghinaan Gunung Rushmore yang seolah disengaja. “Para pemimpin dari bangsa yang telah melanggar setiap perjanjiannya dengan bangsa saya, wajah mereka dipahat di tempat tersuci kami. Apa yang setara dengan itu? Anda tahu yang setara dengan itu?” Saya tak terpikir satu pun. Lalu White Plume—yang sering menyela pandangannya yang tenang soal ketidakadilan sejarah dengan tertawa, juga dengan jeda untuk melinting rokok—mengangkat kepala dan bertanya apakah saya punya waktu luang dan cukup bensin di mobil.
Saya mengiyakan keduanya, lalu kami keluar melaju ke tanahnya yang agung. Sambil duduk di tepi kali yang dibatasi pohon poplar, kami bercakap-cakap tentang berbagai penyebab kematian di rez. Kami juga membicarakan tentang bunuh diri yang terjadi pada musim panas itu, seorang gadis Oglala Lakota yang berusia 15 tahun. Saya merasa ada kaitan sejarah antara tumpukan mayat di tengah salju di Wounded Knee pada 1890, dan jenazah Dusti Rose Jumping Eagle yang terbaring sempurna bak boneka berkilau dalam peti mati terbuka di dalam kemah di Billy Mills Hall di kota Pine Ridge pada awal Juli 2011. Selendang tersampir di lehernya untuk menutupi cara bunuh dirinya.
“Seluruh Bangsa Sioux terluka dalam pembantaian besar terakhir itu, dan kami menderita semenjak itu. Memang benar bahwa kami punya cara sendiri untuk menyembuhkan diri dari luka genosida, tetapi ada begitu banyak trauma sejarah, begitu banyak kepedihan, begitu banyak kematian,” kata White Plume, dan dia memang sepantasnya tahu.
!break!
Di tengah peternakannya ada sebuah dataran, yang konon merupakan tempat diadakannya Tari Arwah bersejarah yang memicu pembantaian Wounded Knee. Para peserta upacara spiritual yang diritualkan ini menari hingga mencapai tatar kesadaran lain dan konon menyatu dengan arwah leluhur dengan mudah, kesadarannya terlepas dari Bumi, dan menyentuh bintang pagi. Lalu ada fakta yang tak dapat dimungkiri bahwa tiga kerabat White Plume tewas pada hari musim dingin itu.
Pada 1890, kemarau parah mengakibatkan kemelaratan yang lebih daripada biasanya bagi berbagai reservat yang menyempit di Great Plains (Reservat Great Sioux telah dibagi-bagi menjadi enam reservat yang lebih kecil.) Pada saat yang sama, para agen BIA menjadi gugup melihat semakin seringnya Tari Arwah dilakukan oleh bangsa Sioux. Mereka kian kerap berkumpul di padang rumput terbuka dengan rasa semakin putus asa, memohon bimbingan dan petunjuk dari arwah leluhur dan dewa-dewa.
Pada tanggal 15 Desember 1890, polisi Indian AS menangkap Sitting Bull dalam upaya meredam “demam mesias” berupa upacara pribumi itu. Penangkapan ini kemudian melibatkan kekerasan, dalam cara-cara yang tampaknya tak terelakkan. Sitting Bull terbunuh, beserta tujuh pendukungnya dan enam polisi. Karena mencemaskan serangan balasan, seorang pemimpin lain, Big Foot, kabur ke selatan bersama sukunya untuk meminta suaka kepada Red Cloud di Reservat Pine Ridge.
Pada pagi 28 Desember, unit Kavaleri Ketujuh AS yang pongah menemukan suku Big Foot dan mengawal mereka ke Wounded Knee Creek. Esok paginya kavaleri ini berusaha melucuti senjata para Indian. Apa yang terjadi berikutnya tidak terlalu jelas. Katanya seorang dukun, Yellow Bird, mulai menari, melemparkan beberapa genggam tanah ke udara. Perkelahian menyusul, senapan meletus, Tentara mulai menembak, dan pada saat asap buyar, Big Foot dan setidaknya 145 anggota sukunya terbunuh (menurut orang Oglala, lebih dari itu), termasuk 84 lelaki bocah dan dewasa, 44 wanita, dan 18 anak. Dilaporkan 25 tentara AS juga tewas, sebagian mungkin akibat tertembak temannya sendiri.
Saat bersaksi kepada komisaris Indian Affairs pada bulan Februari 1891, ketua Oglala, American Horse, berkata tentang hari itu, “Ada seorang wanita yang menggendong bayi, dibunuh saat ia hampir menyentuh bendera tanda menyerah… Persis di dekat bendera itu, seorang ibu ditembak roboh bersama bayinya; anak itu, yang tidak tahu bahwa ibunya sudah meninggal, masih menyusu, dan itu pemandangan yang sangat memilukan… Tentu saja tidak masalah jika hanya lelaki yang dibunuh, mungkin kami malah bersyukur. Tetapi, fakta bahwa pembunuhan dilakukan terhadap kaum perempuan, dan lebih khusus lagi pembunuhan anak-anak yang semestinya membentuk kekuatan bangsa Indian di masa depan, adalah bagian paling menyedihkan dalam keseluruhan perkara ini. Dan, kami sangat merasakan pedihnya.”
!break!
“Mereka mencoba pemusnahan, asimilasi, dan mereka melanggar setiap perjanjian yang pernah dibuat dengan kami,” kata White Plume. “Mereka merampas kuda kami. Mereka menjadikan bahasa kami ilegal. Upacara kami dilarang.” White Plume sungguh meyakini bahwa kebijakan dan undang-undang yang digunakan pemerintah AS untuk menindas bangsa Pribumi Amerika sangatlah luas dan dalam, tetapi ia menyampaikannya tanpa emosi, tanpa keluhan. Para pemimpin suci kami terpaksa bergerak diam-diam selama hampir seabad.” Baru setelah Kongres mengesahkan Undang-Undang Kebebasan Beragama Indian-Amerika, pada 1978, gangguan terhadap praktik spiritual pribumi dijadikan sebagai tindakan pidana. “Namun, upacara kami masih selamat, bahasa kami pun selamat,” kata White Plume.
Terkubur dalam halaman rancangan undang-undang anggaran Pertahanan 2010, yang ditandatangani Presiden Barack Obama pada Desember 2009, terdapat permintaan maaf resmi “kepada semua Suku Pribumi atas berbagai kejadian kekerasan, perlakuan buruk, dan penelantaran terhadap semua Suku Pribumi, oleh warga Amerika Serikat.” Tetapi tidak disebutkan tentang ganti rugi, ataupun menepati perjanjian yang telah lama dilanggar.
White Plume menyalakan rokok lintingannya dan menyipitkan mata kepada saya melalui kepulan asap. “Tahukah Anda apa yang mencegah saya menjadi pembunuh berdarah dingin? Bahasa sayalah yang menyelamatkan saya. Tidak ada kebencian dalam bahasa saya. Bahasa yang begitu indah, lembut. Begitu damai.” Lalu White Plume mulai berbicara dalam bahasa Lakota, dan tidak dapat dimungkiri bahwa kata-kata itu terlantun lembut.
Di atas kepala, dua awan kecil di langit bersentuhan lalu sirna. White Plume bangkit dan berjalan ke arah kali, lalu terdengar ia berseru kaget. Ia telah menemukan pohon poplar yang tepat untuk upacara Tari Matahari-nya. Pohon itu akan ditebang oleh beberapa lelaki dari keluarganya, lalu diangkut ke tempat Tari Matahari dengan rasa hormat yang selayaknya ditujukan kepada makhluk suci. Di sana, pohon itu akan diikat dengan ikatan doa—buntelan tembakau dan sajen lain yang dibungkus kain aneka warna—lalu dipancangkan di dalam lubang di tanah, dan dibiarkan di situ sampai tahun berikutnya.
Pada 1974, White Plume masuk tentara dan dikirim ke Jerman. (Jumlah orang Pribumi Amerika yang masuk angkatan bersenjata tidak proporsional.) “Pada tahun saya berangkat untuk masuk angkatan bersenjata, Tari Matahari hanya diadakan tiga kali di seluruh reservat. Sekarang ada puluhan,” katanya. White Plume masih melaksanakan Tari Matahari bersama keluarga dekat dan keluarga besarnya dengan cara tradisional. “Hanya kami,” katanya, ucapan yang mungkin terasa eksklusif dalam tulisan, tetapi sebenarnya diutarakan dengan nada hangat. “Begitu indah, begitu spiritual.”
!break!
Upacara Tari Matahari kembali bergairah bukan hanya berkat disahkannya undang-undang 1978, melainkan juga berkat meluasnya gerakan aktivisme Indian yang dimulai sungguh-sungguh pada awal 1970-an. Sekarang, pada setiap musim panas, diadakan lebih dari 50 Tari Matahari di seluruh Pine Ridge, meningkat dari hanya beberapa yang dilakukan diam-diam pada beberapa puluh tahun silam. Pada setiap upacara, puluhan peserta undangan menari, bertapa, berdoa, disucikan dalam pondok-pondok “sauna”, dan berpuasa berhari-hari. Beberapa lelaki, yang dianggap mampu secara spiritual untuk menanggung tindakan simbolis pengorbanan-diri bersama, ditindik dengan pasak tulang di ujung tali yang diikatkan pada dahan pohon poplar yang dipanen secara ritual. Lalu mereka menyentakkan tubuh agar terlepas dari pasak itu, sehingga kulitnya terkoyak.
Sosok Alex WhitePlume bakal tergambar jika kita tahu bahwa Olowan Thunder Hawk Martinez—wanita 38 tahun yang tidak sempurna tetapi optimismenya menular—menganggap lelaki itu sebagai mentor. Sepanjang hidupnya Martinez pernah mengalami berbagai musibah, tetapi dia juga merupakan jiwa yang tangguh, berinisiatif menjadi pemimpin kaum muda, dan berbicara sangat blakblakan dan berani. “Anda ingin saya menjadi perempuan Indian pemabuk di pojok?” Seperti mentornya, Martinez memiliki kebiasaan meresahkan, yaitu tertawa saat sedang serius.
Menurut Martinez, pada malam dia mendengar kabar tentang bunuh diri Jumping Eagle, dia dapat merasakan kesakitan si korban—seakan-akan tubuh gadis yang sekarat itu sempat melepaskan diri dan merasuk ke tubuh wanita itu. “Saya tahu mengapa banyak gadis di rez mencoba bunuh diri,” kata Martinez. “Kami semua senantiasa terancam kehilangan diri, kehilangan identitas. Setiap hari kami semua berjuang agar dapat menjadi Lakota sejati. Dan, kadang-kadang kami kalah dalam perjuangan itu, lalu kaum lelaki melampiaskan rasa tak berharga itu pada kaum perempuan, kaum perempuan melampiaskan rasa tak berharga itu pada diri sendiri, dan semua orang melampiaskan rasa tak berharga itu pada anak-anak.”
Dalam kasus Martinez, dia dilecehkan secara seksual oleh seorang pamannya sewaktu usianya enam tahun, lalu saat usianya sepuluh tahun. “Setelah itu dia mencaci—saya disebutnya tidak berguna. Saya masih bisa merasakan kepedihan yang begitu mendalam, yang tak dapat diraih dan disingkirkan oleh apa pun dan siapa pun.” Tak lama setelah pelecehan kedua, Martinez berdiri sendirian di dapur di rumah ibunya. “Saya ingat memandang meja dapur dan melihat pisau. Dan, tiba-tiba pisau itu terasa seperti satu-satunya cara untuk memotong setiap kepedihan dalam diri saya. Jadi saya memungutnya dan mulai menyayat kulit pergelangan tangan saya.”
Sementara Martinez menuturkan cerita ini, terdengar gemuruh dari langit sementara awan guntur berkumpul—Wakinyan, demikian sebutan suku Lakota Oglala, Makhluk Guntur. “Kali keenam saya mencoba menyayat, lantai di kaki saya bergemuruh,” katanya. “Wakinyan berbicara kepada saya. Mereka mengatakan saya harus hidup. Saya pun melepaskan pisau itu.”
!break!
Dia menyalakan seikat sage, dan kami bergiliran mengarahkan asap yang menyucikan itu di sekitar rambut kami. Di luar terjadi kericuhan. Meskipun uang selalu pas-pasan, dan Martinez punya tiga anak (berusia 19, 11, dan 5), sering ada gerombolan remaja tanggung berkumpul di rumahnya, yaitu peserta “pelatihan” kepemimpinan Martinez. Hari ini tidak terkecuali. Beberapa remaja, berusia 14 ke atas, sedang berlari di kebunnya yang lembap dan tak terurus, bermain tembak-tembakan dengan senapan angin. Salah seorang pemuda itu tertembak pantatnya dan sekarang menangis meraung-raung. Martinez tertawa. “Oh pemuda pendekarku,” katanya. “Mari kita usut siapa yang menembak siapa.”
Mungkin wajar saja jika Martinez, yang besar di rez pada tahun 1970-an dan awal 80-an, memiliki kecenderungan radikal. “Masa itu masa edan,” kata Martinez. Orang-orang tak terlihat berkeliaran malam-malam, bersenjata api; banyak terjadi pembunuhan. “Tetapi keadaan pada masa itu terasa seperti perang bagi orang-orang yang terlibat,” katanya.
Pada bulan Februari 1973, 200 anggota American Indian Movement (AIM), kelompok pro-pribumi yang juga dianggotai orang tua Martinez yang masih muda, menduduki tempat pembantaian Wounded Knee untuk memprotes perjanjian yang dilanggar dan tata pemerintahan suku yang korup. Pemerintah suku menanggapinya dengan membentuk milisi swasta—Guardians of the Oglala Nation, demikian sebutan mereka (singkatnya, GOON)—dan bersama puluhan tentara Garda Nasional dan agen FBI, menghadapi para aktivis. Pada akhir pengepungan itu, 71 hari kemudian, 130.000 peluru telah ditembakkan, dan pihak berwenang menangkap lebih dari 1.200 orang.
Saya dan Martinez membicarakan hal ini pada suatu sore di Permakaman Wounded Knee. “Saya adalah anak kandung dari revolusi itu,” katanya. Kami sedang bersantai di bawah pohon teduh, yang juga menaungi makam ayahnya. Angelo “Angel” Martinez tewas dalam tabrakan mobil pada 1974, sewaktu Martinez masih bayi. “Di sini, di Wounded Knee,” kata Martinez, sambil menusukkan jarinya ke tanah. “Di sinilah gagasan diri saya lahir.”
Jika dinilai langsung, pengepungan pada 1973 tidak mencapai tujuannya. Perjanjian antara AS dan suku Sioux Oglala yang dilanggar tetap dilanggar, pemerintahan suku tetap korup, dan masa pemberontakan itu memiliki dampak yang panjang dan penuh kekerasan. Antara 1 Maret 1973 dan 1 Maret 1976, tingkat pembunuhan di Reservat Pine Ridge lebih dari 17 kali lipat rata-rata AS. Tetapi, aktivis AIM berhasil memperjelas dua hal. Pertama, pemerintah AS tidak dapat lagi mengabaikan bangsa Indian sebagai sekadar rintangan dalam mewujudkan mimpinya menguasai benua Amerika. Kedua, sebagai pribumi sejati, melawan kolonisasi dan asimilasi adalah hal yang layak diperjuangkan bangsa Indian sepanjang hayat dengan bangga.
!break!
Pada suatu sore beberapa minggu kemudian, saya dan Martinez berkendara dua jam ke barat laut untuk mengantar kue ulang tahun kepada keponakannya, yang diperkosa di rez dan kabur ke penampungan perempuan di Rapid City, South Dakota. Dalam perjalanan, Martinez menunjuk beberapa mobil polisi negara bagian yang tidak berlogo. Ketika saya bertanya bagaimana dia tahu, kata Martinez, “Saya bisa mengenali polisi dari jauh. Demikianlah saya dibesarkan oleh ibu saya.”
Memang, Victoria Thunder Hawk telah mempersiapkan anaknya untuk menghadapi penjara “Saya dibesarkan dengan uang mariyuana,” kata Martinez. “Demikianlah cara ibu saya menafkahi kami dan mendanai kegiatan perlawanannya. Jadi dulu dia sering berkata, ‘Pokoknya ingat, saat ditangkap polisi, tegakkan kepala dan tutup mulut.’” Kata Martinez, sewaktu dia kecil, sepertinya seluruh komunitas rez datang ke rumah mereka untuk membeli mariyuana, “guru, polisi, tetangga. Saya berpikir, semua orang merokok ganja.” Tetapi, Thunder Hawk tidak pernah menjadi kaya dari usaha itu, karena keuntungannya dibagi-bagikan kepada komunitas dengan royal. Dia juga memandang mariyuana sebagai obat untuk membantu kaumnya sembuh dari penindasan dan untuk mencapai kerangka pikiran kontemplatif yang kreatif. Pada saat Martinez berusia 30 tahun, dia telah terlibat dalam penjualan obat hampir sepanjang ingatannya. “Tinggal masalah waktu saja,” kata Martinez. “Begitu kan? Akhirnya kita menjadi egois, ceroboh, lalu tertangkap.”
Kami telah menyerahkan kue ulang tahun dan sedang melaju di pusat kota Rapid City, dihiasi karya seni publik yang menampilkan adegan klasik koboi-dan-Indian. Tetapi, seperti yang terus ditegaskan oleh Martinez, masa lalu belum berakhir. Masa itu masih berlangsung. Sehari sebelumnya, seorang lelaki Indian berusia 22 tahun yang berasal dari reservat, Daniel Tiger, menembak dan menewaskan seorang polisi dalam sebuah perselisihan. Tiger juga ditembak, lalu tewas akibat luka-lukanya, dan seorang polisi lain meninggal, dan seorang lagi dirawat di rumah sakit. “Orang kulit putih selalu berkata, kejadian seperti ini bukanlah rasialisme,” kata Martinez. “Tapi itu karena mereka bukan pribumi. Mungkin sudah waktunya kami menutup perbatasan di sekeliling rez. Indian tetap di dalam, orang kulit putih di luar. Lalu kita dapat bergerak maju. Tak ada lagi koboi dan Indian.”
Martinez menunjuk gedung persegi yang tegas di sebelah kanan. “Penjara County Pennington,” katanya. “Di situlah saya mengalami neraka selama 11,5 bulan.” Menurut Martinez, bagian terburuk dalam dirinya mati di penjara itu. “Martinez yang serakah dan egois mati di dalam tembok itu. Dia dikubur di sana.” Dia mengulurkan tangan, menepuk tangan saya, lalu tertawa. “Bukankah itu tempat yang cocok untuk mengubur keledai Indian yang terjajah? Di penjara orang kulit putih.” Mengikuti kelas rehabilitasi kecanduan, Martinez sepenuhnya bersih dari narkoba untuk pertama kalinya setelah berpuluh tahun. “Lalu, saat saya mendapat wangsit, saat saya merasakan dewa-dewa, saya tahu saya tidak berhalusinasi. Saya mulai memercayai terawangan itu.” Menurut Martinez, sewaktu duduk di sel tanpa jendela, dia melihat masa depannya. “Saya melihat puluhan kemah didirikan di padang rumput, dan pendekar muda di mana-mana, bendera, kepang rambut, dan kamuflase berkibaran. Saya berada di tengah-tengah mereka, dan anak-anak saya ikut.” Martinez memejamkan mata, dan sejenak semua kepedihan dan perlawanan surut dari wajahnya.
Pada awal musim semi 2011, Olowan Thunder Hawk Martinez melihat sekilas terawangan yang diperolehnya di penjara. Selama beberapa minggu, dia meminjam kemah dan mendirikannya di tanah warisan ibunya.
!break!
Menurut standar moral Barat konvensional, cita-cita Martinez tampak tidak ambisius, bahkan tidak bermakna. Namun, ibunya tentu merestuinya. Dan, Alex White Plume pasti menghormati hal seperti ini. “Segala sesuatu di AS berfokus pada uang,” katanya. “Jadi, bagaimana mungkin kami bisa hidup seperti itu—dengan rumah orang kulit putih, truk orang kulit putih, mata uang orang kulit putih—sambil tetap mempertahankan budaya kami?”
Di dalam kemah, Martinez memanaskan kacang merah panggang di atas api terbuka, dikelilingi dua putrinya yang belia, seorang putranya, dan setengah lusin pemuda Lakota Oglala. Seperti dalam visinya, para pemuda itu memakai kamuflase, sebagian besar mengepang rambut panjang mereka, pita berkibaran. Selama beberapa minggu yang suci, Martinez tidak tinggal di perumahan berlumut dari pemerintah. Dia meninggalkan listrik. Dia bangun pagi-pagi dan keluar dari kemah, langsung menerima rahmat bintang pagi, memanjatkan syukur.
Dan di luar kemah, dengan latar langit Great Plains yang resah, Martinez menaikkan bendera Amerika terbalik. Menurut aturan di AS, bendera itu tidak boleh dikibarkan dengan terbalik, kecuali sebagai sinyal bahaya besar, atau jika ada ancaman terhadap nyawa atau harta. “Memang kurang lebih begitu,” Martinez mengatakan. “Kami sedang dalam bahaya, tetapi kami tidak perlu orang datang dan menyelamatkan bangsa Indian. Saat kami menjunjung tradisi, mengadakan upacara, dan mendengarkan leluhur, segala sesuatu yang dibutuhkan untuk sembuh tersedia dalam diri kami.” Martinez berpikir sejenak. Lalu, ia menambahkan, “Kami akan bertahan.”
Penulis | : | |
Editor | : | Administrator |
KOMENTAR