Nationalgeographic.co.id—Flinders Petrie (1853-1942) kerap disebut-sebut sebagai seorang yang berjasa atas penelitian arkeologi di Mesir dan Palestina. Ahli arkeologi dan budaya Mesir kuno asal Inggris itu dikenal sebagai sosok yang memberikan kontribusi berharga pada teknik dan metode penelitian arkeologi.
Dia memberikan teladan untuk penggalian lapangan dan metode penanggalan yang memungkinkan rekonstruksi sejarah dari sisa-sisa budaya kuno.
Pada 1880, Petrie memulai survei dan penggalian Piramida Besar di Giza, yang memulai empat dekade penjelajahannya di Timur Tengah. Petrie menerbitkan Methods and Aims in Archaeology, karya definitif pada masanya, di mana ia dengan gamblang mendefinisikan tujuan dan metodologi yang lebih praktis pada 1904. Banyak orang mengenang perkataannya bahwa hasil penelitian tergantung pada kepribadian arkeolog, yang selain memiliki pengetahuan luas, juga harus memiliki rasa ingin tahu yang tak terpuaskan.
Petrie memimpin penelitian di sekelompok makam Mastaba di Tarkhan pada 1912. Lokasinya sekitar 60 kilometer sisi selatan Kairo. Timnya mengamati, merekam, menggali, dan memetakan secara sistematis permakaman Dinasti Awal itu. Ketika memasuki ruang permakaman dia menyadari bahwa isinya telah dijarah. Namun, ada yang tidak dibawa oleh para penjarah: sejumlah kain linen di bawah pasir yang tersimpan di samping beberapa toples batu putih, tutup panci, dan gagang kayu untuk peralatan.
Saat itu temuan kain linen dianggap tidak berharga oleh sebagian besar arkeolog. Akan tetapi, Petrie menyimpan semua bukti material dan artefak itu. Dia yakin kelak artefak itu dapat menjelaskan kehidupan sehari-hari orang Mesir kuno.
Janet Johnstone, anggota Friends of the Petrie Museum, mengungkapkan kisah temuan kain linen itu dalam catatannya bertajuk “Lost and found: The Rediscovery of the Tarkhan Dress”. Tulisan Janet itu terbit dalam kumpulan tulisan buku The Petrie Museum of Egyptian Archaeology: Characters and Collections.
Baca Juga: Berusia 4.500 Tahun, Patung Kayu Bermata Kristal Ditemukan di Mesir
“Bundel linen yang diselamatkan dari Mastaba 2050 dikemas dengan temuan lain dan dikirim kembali ke UCL untuk analisis lebih lanjut,” tulis Janet, “ yang tidak tersentuh selama enam puluh lima tahun.” Kini, kain itu berada di The Petrie Museum of Egyptian Archaeology di London, yang menjadi bagian dari University College London Museums and Collections.
Sejak Petrie menemukannya, kain linen itu terjalin dalam bundel kain kotor dan terabaikan selama beberapa dekade. Manurut Janet, kain itu baru ditemukan kembali oleh Rosalind Janssen, Asisten Kurator di Museum Petrie dan ahli tekstil, pada 1977.
Baca Juga: Temuan Makam Ungkap Kehidupan Pekerja Piramida di Mesir Kuno
Janet melukiskan gaun berlengan panjang itu memiliki lengan berlipit dan berkorset. Berleher “V” dan hanya terbuat dari tiga potong linen tenunan tangan yang kuat. Coraknya hanya garis abu-abu pucat alami. Gaun itu mirip dengan rancangan pakaian di butik busana modern.
“Ujungnya tidak ada sehingga kami tidak tahu apakah gaun itu pendek atau panjang,” ungkapnya, “tetapi ukurannya akan menunjukkan bahwa gaun itu cocok untuk remaja muda atau wanita langsing.”
Gaun Tarkhan, di sisi lain, adalah trend mode Mesir kuno yang jarang ditemukan. Sejumlah pakaian dari usia yang sama telah bertahan sampai hari ini, tetapi hanya untuk membungkus atau disampirkan ke seluruh tubuh. Sementara beberapa potong pakaian awal terbuat dari serat tanaman atau kulit binatang.
Baca Juga: Arkeolog Menemukan Mumi Putri Bertato Berusia 2.500 Tahun di Siberia
Alice Stevenson dan Michael W. Dee mengungkap usia gaun Tarkhan ini dalam tajuk “Confirmation of the world’s oldest woven garment: the Tarkhan Dress” yang terbit di jurnal Antiquity.
Mereka menyimpulkan bahwa gaun linen yang ditemukan Petrie di makam Mastaba itu berusia 5.000 tahun. Artinya, inilah pakaian tenun tertua di dunia. “Jelas bahwa bahan untuk Gaun Tarkhan diperoleh di puncak Dinasti Pertama, atau sekitar awal periode Naqada III,” ungkap mereka.
Tekstil selamat dari situs arkeologi umumnya tidak lebih dari 2.000 tahun, demikian ungkap Alice Stevenson, kurator Petrie Museum London bagian Arkeologi Mesir.
Detail halus seperti itu, hanya bisa dikerjakan oleh pengerajin khusus. Orang-orang seperti itu muncul hanya dalam masyarakat yang sejahtera dan hirarkis, seperti Mesir kuno 5.000 tahun yang lalu. Saat itu kerajaan pertama kali bersatu di bawah satu penguasa tunggal.
Baca Juga: Praktik Peternakan Domba Arab Kuno Terungkap Berkat Mumi Domba
Lipatan di siku dan ketiak juga mengisyaratkan bahwa seseorang pernah mengenakan gaun itu bukan hanya untuk upacara. Hanya lapisan atas sudah bisa dikatakan seperti gaun. Batu nisan tempat ditemukannya gaun, memiliki usia yang sama seperti gaun yang digambarkan serupa jubah.
Pernyataan itu disampaikan Jana Jones dari Universitas Macquarie Australia kepada Traci Watson untuk National Geographic. Dia juga menambahkan bahwa tulisan rahasia (hieroglyph) mengungkapkan bahwa selain untuk mode dan kosmetik, kain Tarkhan juga dibawa hingga seseorang dikubur.
Atas dedikasinya dalam ilmu arkeologi, Petrie dianugerahi gelar kebangsawanan pada tahun 1923. Dia wafat di Jerusalem dalam usia 89 tahun. “Dalam beberapa jenis pekerjaan, hasilnya sangat tergantung pada kepribadian pekerja saat mereka menggali,” demikian kata-kata Petrie yang kerap dikenang.
Baca Juga: Hatshepsut, Sang Ratu Mesir Kuno Pertama Yang Memiliki Jenggot
Penulis | : | Mahandis Yoanata Thamrin |
Editor | : | Mahandis Yoanata Thamrin |
KOMENTAR