Seperti banyak negara yang tingkat kemiskinannya relatif stabil, Filipina mulai bergantung pada pekerja luar negeri ini. Ada akronim resmi, sering disertai pujian untuk pengorbanan heroik demi bangsa dan keluarga: OFW atau overseas Filipino workers (pekerja Filipina di luar negeri). Sebuah pusat OFW khusus terdapat di bandara internasional Manila dan beberapa agensi publik lainnya hadir untuk memenuhi kebutuhan mereka di seluruh negeri.
Saat Luis berusia 22 tahun, dia sudah menikah dan memiliki seorang anak, tinggal di kota Filipina kumuh tempatnya dibesarkan, di selatan Manila. Dia bekerja di bidang konstruksi, mendapatkan upah sekitar Rp40.000 sehari, yang hanya cukup untuk bertahan hidup. Namun, tidak cukup untuk menghidupi keluarganya, tidak seperti cara ayahnya menghidupi keluarganya. Dalam bahasa Tagalog ada ungkapan, "katas ng Saudi", berarti "jus yang diperas dari Saudi". Itu adalah judul film populer pada 2007 tentang penderitaan seorang pekerja Filipina yang kembali dari Arab Saudi. Sampai sekarang pun warga Filipina masih menggunakannya untuk menggambarkan anugerah berkat uang dari luar negeri.
Kompleks keluarga Cruz, yang dapat dicapai melalui lorong sempit di samping jalanan komersial ramai yang berbatasan dengan lautan, kini menjadi permukiman kaya-raya berkat katas ng Saudi: sofa berbantal empuk, kamar yang luas, pemutar DVD di rak buku mewah, dermaga menghadap jala ikan bawah air permanen milik sepupunya. Dua adik perempuan Luis kini kuliah di perguruan tinggi. Salah satunya sedang mempersiapkan diri untuk menjadi dokter gigi.
Luis Senior langsung menyarankan agar putranya itu mencari pekerjaan dengan bayaran yang lebih baik di Dubai, saat mengetahui kehidupan putranya. Saran itu juga disampaikannya saat mengamati istri pertama pemuda itu kelihatannya mulai menyesali pernikahannya. "Dia tahu situasi saya," kata Luis. "Lalu, Ibu mengajak saya ke agen tenaga kerja."
!break!
Luis masih ingat jumlah uang yang pertama kali dikirimkannya ke Filipina, setelah bekerja selama beberapa minggu di Dubai: sekitar Rp3.500.000, hampir setara dengan upah tiga bulan yang diterimanya di pekerjaan lamanya. Dia langsung mengirimkan uang itu kepada ibunya, untuk menghidupi ibunya itu, putrinya, dan adik-adik perempuannya. Penghasilannya sangat besar, namun dia sangat kesepian. Di Dubai, dia ditemani ayahnya. Beberapa waktu kemudian, adiknya, Tomas, yang juga telah menikah, menyerah hidup di Filipina dan juga datang ke Dubai, meninggalkan istrinya dan seorang putri di kampung halamannya
Namun, kisah ini tetap tergolong cerita cinta, dan ceritanya cukup bahagia, dibandingkan dengan kisah buruh devisa lainnya. Sementara Luis bekerja di Teluk, Teresa mendapatkan nilai bagus dalam wawancara dengan agen tenaga kerja di Manila. Di Dubai, tempat kerjanya ber-AC dan, pada bulan-bulan pertama, dia tinggal di perumahan bersama seorang rekan kerjanya. Asrama itu adalah ruang tidur terbaik yang pernah dimilikinya.
Dia senang tidak terjebak dalam kehidupan sebagai pembantu rumah tangga yang kesepian akibat terisolasi dari dunia luar. Orang Filipina, dengan bahasa Inggris yang baik dan terkenal sebagai bangsa yang ramah dan dapat diandalkan, sangat diminati untuk dijadikan pengasuh, dan bukan hanya di negara-negara Teluk; hampir separuh buruh devisa yang meninggalkan Filipina adalah kaum wanita, sering direnggut dari keluarga mereka sendiri oleh permintaan menjadi pengasuh anak, suster, dan perawat orang tua di dunia internasional.
Namun, Teresa sudah sering mendengar cerita tentang kehidupan rumah tangga di luar negeri. Mereka yang beruntung akan mendapatkan majikan manusiawi yang memperlakukan mereka dengan hormat, tetapi sering kali ceritanya sungguh menyedihkan; tidak ada waktu istirahat, isolasi berlebihan, pelecehan lisan dari majikan wanita, pelecehan seksual dari majikan lelaki.
Teresa juga memiliki ponsel sendiri—sering terdengar cerita bahwa majikan menyita ponsel pembantunya untuk memaksa mereka lebih perhatian dan bergantung pada majikannya. Setiap kali mengirimkan gajinya dalam dirham Emirat untuk diterima di kampung halamannya, dia menyimpan sebagian kecil untuk membeli makanan dan kebutuhan lainnya. Dan, pada akhirnya, perhiasan emas kecil pun terbeli.
Dan, karena begitu banyak lelaki dan wanita Filipina bekerja di Dubai, Teresa menemukan teman-teman sebaya, anak-anak muda yang, seperti dirinya, pindah dari asrama pekerja ke apartemen yang dihuni lelaki dan wanita; apartemen yang padat, tetapi lebih menyenangkan. Hubungan romantis merebak dengan subur. Hubungan asmara yang terjadi memang rumit; sebagian besar lelaki masih terikat secara hukum dengan wanita yang mereka tinggalkan.
Ketika Teresa berkenalan dengan Luis di sebuah pesta ulang tahun, pemuda itu masih beristri. Namun, dia adalah lelaki tampan dan tinggi, dengan senyum manis dan rambut panjang hingga ke mata. Meski negaranya tidak mengizinkan perceraian, pembatalan bisa terjadi untuk orang yang gigih memperjuangkannya. (Ketika saya bertanya kepada Pastor Tom, berapa banyak permintaan pembatalan yang diterimanya di St. Mary, dia menarik napas panjang. "Banyak sekali," keluhnya.)
!break!
Jadi, inilah kisah Teresa, yang berada pada empat zona waktu dari kampung halamannya sehingga keluarganya dapat memiliki rumah. Dia menikah dengan seorang lelaki yang bisa menceritakan seperti apa rasanya bertemu ayahnya sendiri hanya setiap dua tahun sekali. Namun, Luis dapat beradaptasi. Ia juga seorang pria tangguh, begitu pula Teresa, dan sekarang Luis bekerja di dalam ruangan, di pabrik industri sebagai tukang las.
Penulis | : | |
Editor | : | Administrator |
KOMENTAR